Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Inge Triastuti's blog

Inge Triastuti's picture

Prasangka

Hari Kasih Sayang tahun ini tampaknya akan menjadi lembaran hitam bagi kelas teater yang dipimpinnya. Ia akan mementaskan drama 2 babak “Kekasihku Seorang Dewi.” Pemain-pemain terbaik dari kelas teater telah dipilihnya. Ia memegang peran utama, Narto menjadi suaminya, lalu Fredi dan Rini menjadi anak-anaknya. Cerita ini terjadi karena Narto kemarin harus masuk rumah sakit. Operasi usus buntu, yang bila ditunda bisa membawa maut.
Inge Triastuti's picture

Pilihan dalam sebuah kurungan ayam

Asih duduk dalam kurungan ayam yang berisi berbagai mainan dan barang. Ia diharap mengambil satu di antaranya. Ia menoleh berkeliling kepada orang-orang yang duduk mengelilingi kurungan itu. Ayahnya menunjuk-nunjuk Alkitab berharap puterinya kelak jadi pendeta. Tetapi ibunya menunjuk stetoskop berharap Asih menjadi dokter. Tante-Oomnya tak mau ketinggalan ikut menunjuk barang-barang lain. Riuhlah suasana dan Asih menangis.

Inge Triastuti's picture

Racun 100 hari

Konon, di sebuah desa hidup seorang perempuan tua bersama putera tunggal dan menantunya. Ia membenci menantunya karena mulutnya jahat. Kepada setiap orang yang ditemuinya ia selalu menjelek-jelekkan dirinya. Ia disebut si tua bangka yang tidak tahu diri, tidak berguna, berhati ular, bermulut usil, jorok, pemalas dan sebagainya. Ia tidak mungkin mengusirnya dari rumahnya, karena puteranya sangat mencintai setan betina ini.
Inge Triastuti's picture

Ketika cinta bersemi

Anita,

ketika kutulis surat ini gerimis sedang menebar tirai sutera di atas kotaku. Titik airnya menjentiki dedaunan di kebun. Bunga mawar di depan jende­la kamarku meliuk gemulai bermain air. Batang-batang bambu kuning bergesekan menyiulkan lagu seolah ingin mengiringinya.

Inge Triastuti's picture

Betapa malasnya Tuhan,

“Aku setuju kisah tentang ‘Anak Yang Hilang’ menjelaskan bahwa selama manusia masih bernafas pintu taubat tidak pernah tertutup,” kata Lestari ketika kami makan bareng di kantin. “Tetapi kisah yang memeras air mata ini, seperti juga cerita-cerita sedih sinetron, punya cacat dari penalaran akal sehat.”
Inge Triastuti's picture

Tewas tenggelam dalam makanan babi

Teman kerja di sebelah mejaku menelepon suaminya, “Yang, urusan asuransi mobil sudah beres dan jaminannya berlaku mulai jam ini. Nanti sore kamu coba jemput aku pakai mobil. Tak perlu kuatir tabrakan. Asuransinya all risk.” Begitu ia meletakkan telepon, aku bertanya kepadanya. “Mira, kalau yang ditabrak suamimu yang baru belajar menyetir itu gerobak mi ayam it’s okey-okey saja. Tetapi bagaimana kalau yang ditabrak itu kereta api? Biar asuransi yang menanggung semua biayanya apa kamu senang menjumpai suamimu di rumah sakit rapat terbungkus perban seperti pepesan kodok?”
Inge Triastuti's picture

HILANGNYA SEBUAH PENGHARAPAN

Ibuku bercerita kepadaku. “Mbah Sarju meninggal tadi pagi di rumah singgah. Anak ketiganya yang tukang becak mengabari gereja. Anak pertamanya yang merahasiakan alamat rumahnya selama ini dari Mbah Sarju muncul, karena diberitahu oleh adiknya. Ia tidak mau ibunya tahu alamatnya karena kuatir dimintai uang. Siang tadi ia mengubur ibunya di pemakaman dekat rumahnya agar ia setiap hari dapat menengoknya. Andai saja ia mau menengok ibunya, sebulan sekali saja, waktu ibunya masih hidup, betapa bahagianya hati Mbah Sarju.”

Inge Triastuti's picture

Nilai sebuah lambang

“Inge, bulan depan aku mau libur di Indonesia. Aku ke Jakarta dulu untuk satu urusan. Setelah itu, aku langsung naik kereta ke Jogja. Kereta kelas murah, karena aku mau dengar lagi orang-orang pakai bahasa Indonesia kelas ekonomi. Buat bingung, tapi variatif dan inovatif. Plis, temani aku ke Jogja. Aku mau nostalgia di sana. Aku mau tidur di tempat kosku dulu. Sore hari duduk di belakang rumah tunggu ayam dan anak-anaknya berbaris pulang masuk kandang. Breakfast gudeg di Plengkung. Makan jagung di alun-alun keraton. Kamu mau aku bawa satu arloji dari sini? Arloji Swiss terkenal indahnya. Atau kamu mau yang lain?,” sepotong kalimat imel dari Angela terbayang kembali ketika aku menanggalkan arlojiku sepulang dari kerja.

Inge Triastuti's picture

Seorang abdi di lereng Merapi

Dua tahun yang lalu ketika Gunung Merapi kena batuk pilek, setiap pembicaraan tentang sakitnya pasti satu nama manusia ikut disebut. Bukan Presiden bukan Sri Sultan. Yes, kamu tak salah. Mbah Maridjan. Namanya meroket ketika semua manusia di lereng Merapi diungsikan, ia bergeming tak bergerak. Bahkan sejak tanggal 16 Mei 2006 ia menghilang. Ada yang melihat ia bersama 3 orang mendaki ke arah pos pengawas terdepan yang hanya berjarak 2.5 kilometer dari pucuk Merapi. Ia ingin memanjatkan doa di pintu gerbang Paseban, menyampaikan rasa syukur karena awan panas yang menyembur 4 hari terakhir tidak menimbulkan korban jiwa.

Inge Triastuti's picture

The Beauty and The Beast

the taxi driver

Ketika untuk pertama kalinya aku pergi ke Kuala Lumpur, warning yang diberikan teman kantor adalah be careful dengan orang Keling, especially the taxi driver. Malam pertama aku harus pergi ke sebuah gedung untuk keperluan dinas. Celakanya, semua taksi yang mangkal di depan hotel supirnya berkulit hitam legam. Apa boleh buat. Aku masuk ke sebuah taksi dan memberikan catatan alamat gedung itu kepada supirnya. Diam-diam aku menghafal nama supir dan nomor taxi itu yang tertera di kartu yang tertempel di dashboard. Baru berjalan sepuluh menit ia menghentikan taksinya di sebuah pertigaan. Ia berkata tak ingat benar lokasinya. Ia mau bertanya kepada orang di pertigaan itu. Aduh, pasti ia akan ngerjain aku, seperti yang sering dilakukan oleh supir taksi bila tahu penumpangnya tidak tahu jalan.

Inge Triastuti's picture

Haruskah perempuan bekerja?

Jika tidak, lalu buat apa sekolah tinggi-tinggi? Memangnya gelar sarjana yang biayanya sekian puluh juta hanya untuk pajangan di surat undangan pernikahan saja? Bukankah saat ini di Indonesia hak-hak perempuan sudah hampir setara dengan pria? Presiden dan menteri sudah ada yang perempuan. Pendeta perempuan yang dulu untuk waktu lama diharamkan, sekarang sudah ada di setiap kota. Di tempat kerjaku, salesgirl juga sudah ada sejak 10 tahun yang lalu. Jangan membayangkan ia dikawal ketika melakukan pekerjaannya. Ia menyetir mobil sendiri di Jakarta tanpa membawa asisten. CEO wanita bisa ditemukan di banyak perusahaan besar.

Inge Triastuti's picture

Sang Juragan

Seseorang pernah menulis sebuah kesaksian dan menyebut Tuhan dengan kata “Juragan”. Bagi saudara kita yang hidup dalam budaya Jawa kata ini tepat sekali untuk menggambarkan Kolose 3:24b “Kristus adalah tuan dan kamu hambaNya.” Juragan memberikan gambaran seorang tuan yang berkuasa atas hidup-mati pegawainya. Dengan demikian status pegawainya tidak berbeda dengan hamba yang harus bekerja tanpa cerewet, tanpa mempertanyakan haknya. Istilah ini tidak lagi terdengar karena dianggap berbau feodal, walaupun orang Jawa tahu juragan yang baik masih ada. Dia adalah orang yang tidak akan membiarkan pegawainya kelaparan atau menderita. Ia tidak sewenang-wenang mengambil anak gadis pegawainya jadi selirnya. Pintu gerbang rumahnya tetap terbuka bagi mantan pegawainya yang sekarang sudah sepuh dan tak lagi mampu bekerja.

Inge Triastuti's picture

Dipermuliakankah Allah di tempat kerja?

Aku bersyukur kepada Tuhan karena menuntunku melalui seorang seniorku yang Kristen ketika aku mulai bekerja. Bekerjalah dengan jujur, katanya. Jangan membawa pulang pinsil kantor biarpun panjangnya sudah seperti jempol kakimu. Walaupun kamu melihat ada orang melibas kertas kantor sampai satu rim, selembar pun jangan kamu pergunakan untuk menulis puisi cinta untuk pacarmu. Jangan minta surat istirahat dokter jika kamu hanya sakit kepala. Jika berhalangan masuk karena keperluan pribadi, mintalah ijin mengambil cuti sehari. Jangan bilang kepada bos tetanggamu meninggal dan kamu harus pergi melayat. Habis nanti penduduk seluruh RT-mu jika setiap kakakmu yang di luar kota datang menyambangimu, tetanggamu kamu laporkan meninggal. Jangan mencuri milik kantor biarpun itu hanya waktu semenit untuk mencat kukumu.

Inge Triastuti's picture

“Bapak Pimpinan Perusahaan

yang terhormat, saya memohon kebesaran hati Bapak untuk menerima saya bekerja. Saya bersedia bekerja apa saja,” begitulah penutup sepucuk surat lamaran kerja. Kalau proses seleksi surat lamaran memakai cara Idola Cilik, surat ini pasti lolos karena memancing banyak simpati sementara skilnya tidak perlu lagi dicermati. Surat itu aku singkirkan agar aku tak kena marah atasanku.

Inge Triastuti's picture

HARGA OBRAL : FRESH GRADUATE

Ibu tetangga ini datang lagi ke rumahku menanyakan lowongan kerja untuk puteranya yang sudah bergelar sarjana 2 tahun yang lalu. Kembali aku menjelaskan kalau perusahaan tempat aku bekerja sekarang lebih suka mengambil tenaga honorer yang bisa dipecat kapan saja tanpa banyak prosedur. “Tolonglah. Arian bolehlah. Yang penting dia kerja daripada di rumah ngadepin tivi mulu nonton sinetron,” jawabnya. Kebetulan perusahaan butuh tenaga pengatur gudang. “Di gudang? Anak aku itu insinyur. Sekolahnya mahal, kerjanya di gudang?” teriaknya sambil mendelik. Insinyur teknik sipil, perkapalan, apa elektro, tanyaku. “Insinyur pertanian!” Aduh Ibu, kalau insinyur pertanian memang tidak boleh kerja di gudang. Cocoknya dia kerja di desa bantu-bantu petani membuat saluran irigasi, gorong-gorong atau reparasi mesin giling padi sama mesin semprot wereng, jawabku asal.

Inge Triastuti's picture

Duduk manis di gereja, emangnya gampang?

Aku bukan paranormal. Tetapi aku berani menaksir sedikitnya 4 dari 10 orang yang menghadiri ibadah Minggu di gereja pernah berpikir begini, “Aku ke gereja setiap Minggu, tapi aku lebih sering merasa tidak dapat apa-apa. Selama ibadah aku sulit konsen. Pikiran melayang kemana-mana. Jika begini terus, apa masih ada gunanya aku ke gereja?”

Inge Triastuti's picture

Majelis dedudo-dida

Sering kali kritik lahir berawal dari komunikasi yang tidak tuning akibat kita tidak peduli minat orang lain. Di gereja, susah kita membicarakan rencana pelayanan jangka panjang jika lawan bicara kita lebih berminat pada “whatever will be will be.” Sama susahnya bila mendiskusikan lagu kontemporer dengan orang yang minatnya hanya ada di lagu himne.

Inge Triastuti's picture

Cuka di atas luka

Selama aktif di gereja, baru sekali itu aku hepi banget. Artikelku dimuat di majalah pemuda gereja. Di rumah aku masih menyimpan 4 artikel yang siap kirim, tinggal moles dikit. Agar lebih kinclong, aku menemui pimpinan redaksi majalah itu dan bertanya, “Apa yang menarik dari artikel saya sehingga dimuat?”’

Inge Triastuti's picture

Injih, Injih, Injih

Sinyo

“Aduh,” kata bik Ipah, “pagi tadi Sinyo ditampar dedinya ampe terjungkir dari kursi.”
“Apa sebab?”
“Abis, Sinyo bertanya kenapa dedinya lama di kamar kecil.”
“Tapi tak seharusnya ia ditampar sampai terlempar dari kursi.”

Inge Triastuti's picture

Hutaaaang lagi

Wajahnya memelas banget. Ayahnya mendadak masuk rumah sakit, ampir kena setruk. Sekarang ia butuh uang untuk menebus resep, yang diletakkannya di meja kerjaku. “Separoh resep ini harganya 200 ribu rupiah. Aku tahu aku masih punya utang sama kamu. Tapi ke mana lagi aku cari pinjaman? Kamu satu-satunya sahabatku. I’in, mati idup bokap gue tergantung kebaikan ati lu.”