Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

The Beauty and The Beast

Inge Triastuti's picture

the taxi driver

Ketika untuk pertama kalinya aku pergi ke Kuala Lumpur, warning yang diberikan teman kantor adalah be careful dengan orang Keling, especially the taxi driver. Malam pertama aku harus pergi ke sebuah gedung untuk keperluan dinas. Celakanya, semua taksi yang mangkal di depan hotel supirnya berkulit hitam legam. Apa boleh buat. Aku masuk ke sebuah taksi dan memberikan catatan alamat gedung itu kepada supirnya. Diam-diam aku menghafal nama supir dan nomor taxi itu yang tertera di kartu yang tertempel di dashboard. Baru berjalan sepuluh menit ia menghentikan taksinya di sebuah pertigaan. Ia berkata tak ingat benar lokasinya. Ia mau bertanya kepada orang di pertigaan itu. Aduh, pasti ia akan ngerjain aku, seperti yang sering dilakukan oleh supir taksi bila tahu penumpangnya tidak tahu jalan.

Aku mengeluarkan hape. Astaga, aku belum beli kartunya. Sesaat kemudian ia kembali dan berkata: “Ternyata saya tak salah. Gedung itu ada di sebelah bangunan ini. Miss jalan kaki saja. Dekat-dekat saja. Miss lihat, dari sini nama gedung itu sudah tampak. Kalau tetap naik taksi, karena jalan itu one-way, taksi harus putar jauh dan ongkos bisa tambah 10 ringgit.” Aku tercengang. Sama sekali tak aku sangka ia supir taksi Keling yang begitu baik. Wow, “terima kasih Tuhan, saya bertemu orang Keling yang baik hati.” Tak sayang aku memberi tip besar kepadanya.

Hari kedua teman-teman dari Indonesia sudah datang dan aku tidak perlu kuatir karena ada di antara mereka yang hafal jalan-jalan di KL. Hari ketiga sekitar pukul 8 malam ketika akan makan di resto hotel aku bertemu dengan 5 orang rekan sekantor di lobi yang baru pulang dari wisata kuliner. Canda ria mereka mendadak terhenti ketika seorang mengatakan handbagnya tertinggal di taksi. Mereka panik karena 5 passport mereka ada didalamnya. Segera saja pembagian tugas dilakukan. Mereka membagi diri dalam 2 taksi untuk melacak beberapa pangkalan taksi, sedang aku disuruh melapor ke kantor polisi yang ada di sebelah hotel dan kemudian standby di lobi hotel. Siapa tahu supir taksi berbaik hati datang mengembalikan handbag itu. Setelah pulang dari kantor polisi aku duduk gelisah di lobi hotel. Satu jam telah berlalu.

Aku membayangkan kemarahan boss karena rencana pekerjaan berantakan gara-gara hilangnya passport ini. Bila passport itu hilang berarti mereka harus kembali ke Indonesia. Padahal rencananya ada di antara kami yang akan langsung mengikuti pelatihan di Singapura. Seorang bapak separoh baya yang duduk di seberangku senyum-senyum genit kepada aku. Hii, menjijikkan. Aku mengambil kursi dan membawanya dekat piano. Kepada gadis yang memainkannya aku berbisik bahwa aku ingin menikmati permainannya sambil melihat gerakan jarinya.

Ketika satu jam berikutnya hampir berlalu, seorang berkulit hitam legam masuk ke lobi hotel. Ia melihat berkeliling. Di tangannya ada handbag temanku. Segera aku menghampirinya. Aku berkata kepadanya itu handbag teman aku yang tertinggal di taksi dan berisi 5 buku passport. Aku minta ia membuka tas itu, mengambil passportnya dan aku akan menyebut satu-persatu nama yang tertera di passport itu. Setelah semua cocok, ia menyerahkannya barang-barang itu kepadaku disaksikan petugas front office hotel. Aku mengucapkan terima kasih. Ia langsung saja berjalan keluar hotel. Aku teringat sesuatu. Segera aku berlari menyusulnya, membuka dompet, dan mengambil beberapa lembar uang untuknya. Wow, “terima kasih Tuhan, ternyata orang Keling itu baik hati.”

Satu jam berikutnya teman-teman kembali. Wajah mereka yang kuyu berubah cerah ketika melihat handbag di pangkuan aku yang nyaris tertidur di kursi lobi. Aku menunggu di lobi karena aku tak suka kalau sudah tidur dalam kamar dibangunkan mereka. “Supir taksinya kamu beri tip berapa?” tanya mereka. Aku memeriksa isi dompetku untuk menghitung sisa ringgitku karena tadi waktu memberi tip aku asal comot saja. “Tiga puluh ringgit,” jawabku.
“Kamu ini memang pelit. Tiga ratus ringgit pun tidak kebanyakan jika dibandingkan susahnya kita bila handbag ini tidak kembali.”
Aku diam saja. Juga ketika kami masuk ke lift hotel sementara mereka ramai bergurau. “Kok kamu diam? Nggak sempat makan malam ya? Yok, aku antar,” kata seorang teman.
“Aku tadi sempat makan. Aku lagi mikir ternyata orang yang berkulit gelap itu jauh lebih baik daripada orang yang berkulit cerah. Supir Keling itu mengembalikan passport kamu tanpa berharap mendapat tip. Sedangkan kamu-kamu ini, jangan kata 300 ringgit, hutang 30 ringgit saja enggak kepikir bayar.”
“Aduh sis, beramallah. Kita-kita ini habis uang banyak sewa taksi 3 jam raung-raung siti.”

Aku diam bukan memikirkan uang 30 ringgit, karena kami sudah biasa saling traktir. Tetapi tentang penilaian manusia terhadap sesamanya berdasarkan warna kulit. Apakah dua pengalaman dengan the black taxi driver yang baik hati bisa meyakinkan teman yang memberiku peringatan menyesatkan tentang supir taksi Keling di KL? Apakah betul kegelapan warna kulit seorang manusia menunjukkan kedekatannya dengan dunia kegelapan yang berisi banyak hal-hal negatip? Jahat, tidak dapat dipercaya, bodoh, jorok, malas? Dan sebaliknya, kecerahan warna kulit seseorang menunjukkan kedekatannya dengan hal-hal yang positip? Jangan-jangan sebentar lagi akan muncul iklan kosmetik di tivi yang bercerita tentang pertobatan seorang playgirl dalam 7 hari setelah memutihkan warna kulitnya dengan krim merek tertentu. Who knows?

the angel face

Kelas Sekolah Minggu heboh. Seorang anak kehilangan arlojinya. Kelas itu kecil, dan selama kegiatan berlangsung tidak ada satu pun anak yang keluar kelas. Jadi, ini bukan kasus kehilangan, tetapi pencurian. Tapi tak ada yang mengaku. Marahlah sang guru. Banyak ayat Alkitab yang dikutipnya dalam menasehati anak didiknya untuk mengembalikan arloji itu. Anehnya, selama berbicara pandangan matanya hanya tertuju kepada anak-anak yang ketampanan wajahnya di bawah normal. Kepada anak yang berwajah osram, pandangannya lebih lama singgah. Di kelas ini anak-anak punya satu macam warna kulit. Mereka pun dari strata ekonomi yang sama.

“Baik, kakak akan memeriksa isi tas kalian. Ingat, Tuhan tidak suka anak yang mencuri. Ini dosa, dosa, dosaaaaaaaa sekali !”
Seorang anak laki yang wajahnya cool abis, menjawab,
“Jangan marah dong, kak. Kita nggak mencuri kok. Cuma godain aza,” ia mengeluarkan arloji dari tasnya dan memberikan kepada anak yang kehilangan.
“Aduh Deni, Deni, kalau godain teman jangan kelamaan dong, apalagi kalau dia cengeng. Kan kasihan kalau air matanya habis,” kata gurunya. Tak ada lagi not-not kemarahan dalam irama kalimatnya.

Di perusahaan tempat aku bekerja penilaian para executive dan manajer dilakukan setiap semester secara tatap muka. Seorang executive wanita yang mengepalai divisi riset konsumen keluar dari kamar bosnya dengan wajah butek.
“Pasti kamu dapat nilai A plus,” sapaku menggoda, “lalu bulan depan dikirim training keluar negeri. Tapi luar negerinya itu Bangla Desh, bukan Hongkong.”
“Boro-boro A plus, gue dapat C. Itu pun masih diembel-embelin kata minus.”
“Kok? Kamu buat blunder di mana?”
“Waktu tugas di Jogja menjelang Lebaran, gue pulang ke Jakarta terlambat satu ari karena naik bis. Habis, pesawat penuh. Ini yang dipermasalahkan. Padahal si Marta dari Denpasar ke Jakarta terlambat 3 hari sampai-sampai meeting dewan direksi ama biro advertising diundur, malah dapat nilai B. Gue sih nggak mau usil ame nilai orang lain. Tapi lu tau kenape die molor 3 hari? Dia salah naik pesawat! Itu yang cerita die sendiri. Waktu turun baru die nyaho itu bukan Cengkareng, tapi Narita.”
“Narita bandara di Tokyo?” tanyaku tercengang.
“Mana lagi? Kalo yang deket Serang itu Carita, bukan Narita!” dia melengking. “Emangnya bandara Ngurah Rai itu kayak terminal bis Pulo Gadung, orang mau ke Probolinggo bisa nyasar ke Purbalingga? Orang buta sejak lahir aja nggak bakal salah naik pesawat di bandara gede. Ini desersi, MIA – minggat in action.”

Segera aku mengontak seorang yang aku tahu kupingnya ditempel di mana-mana. Informasi yang aku dapat, Marta sengaja nglencer ke Tokyo karena sudah terlalu stres. Dia ambil cuti mendadak. Itu jauh lebih baik daripada ia jatuh sakit karena minggu depannya ada event-event sangat penting yang harus ditanganinya. Walaupun Marta meminta cuti mendadak setelah tiba di Narita, dan ini menyalahi prosedur, atasannya bisa memaafkannya.

Aku ke ruang riset. “Aku tahu kenapa Marta nggak dipenalti. Dia ‘kan orang promosi, badannya bagus, wangi, seksi, cantik, sering kumpul selebritis. Dia itu pretty lady sedangkan kamu ini ........ ,” aku ragu menyelesaikan kalimatku.
“Gue apaan? Ayo ngomong!” sergahnya.
“Kamu itu piggy lady. Kalau kamu pretty orang nggak sayang kasi excuse (maaf). Tapi kalo badan kamu macam VW kodok begini, kamu lebih berhak dapat accuse (tuduhan). Bagusan sekarang kamu ke personalia tanya apa perusahaan mau bayarin kamu sedot lemak.”
Bukannya marah, dia malah terkekeh-kekeh. “No way, no way. Gue udeh hepi punya badan begini. Hughes aja yang macam truk tronton bisa jadi selebritis.” Dan ia berbisik, “Badanku ini memuliakan Allah lho. Ini jadi iklan berjalan kalo ikut Tuhan Yesus bisa hidup ayem tentrem loh jinawi.”

Adalah manusiawi, walaupun tidak benar, menganggap orang-orang yang punya angel face pasti memiliki kepribadian yang jauh lebih positip dibandingkan dengan mereka yang kecantikan wajahnya atau postur tubuhnya di bawah standar atau sedikit cacat. Mereka membawa citra malaikat - cantik, tampan, berpostur sempurna.

Kepada mereka kita tak pernah pelit memberi maaf apabila mereka melakukan kesalahan. Kita sulit percaya bila melihat seorang pemuda berwajah ganteng ditangkap polisi dengan tuduhan pengedar narkoba. Apa iya sih orang itu bersalah? Waktu membaca kasus perceraian di surat kabar, segera saja kita menyalahkan pihak yang kurang tampan. Mereka yang tidak punya angel face lebih berhak mendapat tuduhan (accuse) daripada maaf (excuse). Kita sering mengherani seorang pemuda ganteng mau menikah dengan gadis yang wajahnya pas-pasan. Lalu kita berbisik-bisik, “Kasihan co-nya ya. Apa dia nggak rugi kawin ama itu ce. Lain kalo bo-nyok ce itu kaya raya. Yakin gue, ce-nya pakai guna-guna.” Aku juga sering terjebak dalam pemikiran yang salah ini bila memperkirakan watak orang yang baru aku kenal. Bahkan Samuel juga terpeleset ketika mencari kandidat pengganti raja Saul.

the nobody child

Dalam sebuah ritrit remaja gereja, aku ditugasi ronda malam. Malam terakhir setelah dedication service, aku berkeliling. Ada seorang remaja puteri masih duduk di luar. Dalam kelompok doa tadi ia ada di kelompokku, dan minta didoakan Tuhan mengangkat beban jiwanya tanpa memberi rinciannya. Walaupun wajahnya manis, ia sulit bergaul. Ia gadis pendiam, bahkan sangat pendiam.


Aku duduk di sampingnya. Aku pikir lebih baik mengajaknya bicara daripada menyuruhnya masuk ke kamar tidur. Akhirnya aku berhasil mengetahui apa yang tadi disebutnya beban jiwa. Ia melihat mama papanya tidak pernah menyayanginya selama ini. Kok?

“Saya tidak sama dengan kakak-kakak perempuan saya. Kulit saya hitam, kakak-kakak saya kulitnya putih.” Yang dia maksud dengan hitam sebetulnya sawo matang.
“Sepupu saya juga hitam, padahal abang adiknya tidak ada yang hitam,” jawabku. “Kamu tahu kenapa begitu? Nenek mereka kulitnya hitam.”
“Kakek nenek saya tidak hitam kulitnya. Saya ini anak babu.”
Aku terperangah. “Siapa yang bilang begitu?”
“Kalau lagi bertengkar, kakak-kakak saya mengatai saya begitu.”
“Lalu papa mamamu bilang apa?”
“Mereka diam saja.”

Astaganaga, ia telah menjadi anak yatim piatu dalam keluarganya sendiri. Orang tuanya tidak berkomentar karena mungkin berpikir adalah hal yang lumrah saling mengatai dalam pertengkaran anak-anak. Tetapi mereka tidak menyadari kata-kata kejam ini telah meninggalkan luka batin yang dalam. Apalagi bila selama ini mereka tidak mengungkapkan kasih sayangnya kepada setiap anaknya dengan adil.

Kita membenci adanya diskriminasi dalam kehidupan masyarakat dan dunia kerja yang didasari warna kulit dan ketampanan wajah atau postur tubuh seseorang. Tetapi tanpa sadar kita melakukan apa yang kita benci itu terhadap orang-orang yang paling dekat dengan kita – anggota keluarga kita. Orang tua lebih suka membawa anaknya yang paling cantik pergi kondangan. Hatinya berbunga-bunga bila orang-orang melontarkan pujian atas kecantikan anaknya. Mereka memberi perhatian dan fasilitas lebih banyak kepada anaknya yang tampan daripada yang kurang tampan.

Bapak-ibu, tidak pernahkah Anda tersentuh melihat seorang ibu tanpa risih menggandeng anaknya yang pincang berjalan tertatih-tatih? Tidak pernahkan Anda terharu melihat seorang bapak tanpa malu menggendong anaknya yang bukan balita lagi yang terus-menerus meneteskan air liurnya?

Bapak-ibu, luangkanlah waktu sejenak. Kumpulkan anak-anak Anda. Perhatikanlah mereka baik-baik. Adakah dari antara mereka yang telah menjadi yatim-piatu di rumahnya sendiri?***

jesusfreaks's picture

JADI INGAT AYAT

Jadi ingat sebuah ayat, MANUSIA MELIHAT RUPA, TETAPI TUHAN MELIHAT HATI.

Jesus Freaks,

"Live X4J, die as a martyr"

__________________

Jesus Freaks,

"Live X4J, Die As A Martyr"

-SEMBAHLAH BAPA DALAM ROH KUDUS & DALAM YESUS KRISTUS-