SAYANG ANAK, SAYANG ANAK

Submitted by Purnomo on

                Siang tadi di pelataran halaman depan sebuah SD Swasta aku membagikan santunan kepada 10 orang. Sekolah libur karena hari Minggu seluruh siswa dari kelas 1 sampai 6 piknik ke Jogja dan pulang pk.01.00 malam. Tetapi ortunya datang karena sudah aku kirimi sms.

                Seorang bapak yang anaknya siswa kelas 6 bertanya, "Nanti anakku waktu smp masih bisa dibantu ndak, boss?"

 

Di Tepi JALAN DAENDELS (4) Lemak Nian

Submitted by Purnomo on

            Setelah wawancara selesai dan anggota jemaat pulang, pak pendeta Kholiq mempersilakan kami menyantap makan siang. Pemilik rumah di sebelah gereja tempat kami melakukan wawancara ini adalah seorang janda tua. Aku duduk di sebelahnya dan bertanya,

         “Mbah, sekarang umur berapa?”
         “Tujuh puluh lima tahun.”
         “Sehat, tidak ada penyakit?” tanyaku macam petugas posko bencana alam saja.
         “Sehat walafiat.”


Di Tepi JALAN DAENDELS (3) Between gadhuh and gadhuk

Submitted by Purnomo on

             Di Gereja Ngombol ada 4 orang anggota jemaatnya yang menemui kami. Kami berbincang di sebuah rumah sederhana di sebelah gedung gereja. Kami bertukar informasi tentang menanam padi, jagung, semangka serta melon. Ketika pertemuan akan berakhir seorang dari mereka berkata,

            “Saya ini kalau sedang mutar-mutar desa dan melihat rumput-rumput tumbuh subur, ingin sekali turun dari motor untuk memotongnya dan membawa pulang. Tetapi untuk apa? Di rumah saya tidak punya sapi.”


Di Tepi JALAN DAENDELS (2) Gereja kita payah ya.

Submitted by Purnomo on

                    Untuk urusan diakonia atau kespel (kesaksian & pelayanan) banyak orang punya ide cemerlang. Mereka membicarakannya dengan majelis gerejanya sambil berharap idenya dilaksanakan oleh gereja. Jika kemudian gereja belum juga melakukannya, mereka mempergunjingkan pengurus gerejanya. “Gereja kita payah ya.”



 

Di Tepi JALAN DAENDELS (1) Gereja dengan Bisnisnya

Submitted by Purnomo on

            Februari 2013. Beberapa menit setelah menyusuri Jalan Daendels ke arah barat, mobil kami berbelok ke kanan memasuki jalan kecil. Di sisi kanan ada ladang jagung yang hampir panen. Cerita temanku ladang yang terletak tepat di pinggir jalan Daendels ini luasnya 1 ‘iring’ (ini terminologi lokal = 1/4 hektar = 2500 meter persegi) dan pernah ditawarkan dengan harga 100.000 rb.



KUE GANJEL REL dan ES KOMBOR

Submitted by Purnomo on

           Suatu ketika di toko kue aku melihat kemasan roti bertuliskan “Koewih Tempo Doeloe Ganjelrel”. Astaganaga, kue masa kecilku masih ada sampai sekarang. Melihat price tag-nya, ternyata kue ini harus dimasukkan ke kategori bakery karena di atas 30 ribu rph. Padahal dulu ini adalah kue termurah di pasar tradisional, bahkan harganya di bawah jajan pasar. Tetapi demi nostalgia aku beli satu kotak.



Subscribe to SABDA Space