BERGAUL ITU MUDAH – 5 – Three Egos
Di warta gereja aku membaca majelis menerbitkan sebuah peraturan baru menggantikan yang lama tentang tim pelawatan. Aku tidak menyukainya. Karena itu aku mencari penatua untuk menyampaikannya.
Di warta gereja aku membaca majelis menerbitkan sebuah peraturan baru menggantikan yang lama tentang tim pelawatan. Aku tidak menyukainya. Karena itu aku mencari penatua untuk menyampaikannya.
Sebuah panti asuhan yang tidak di bawah organisasi gerejaku membuat sumur bor dalam karena air pdam kadang-kadang saja mengalir. Tidak ada masalah dengan uang karena banyak yang berdonasi sehingga rencana pembiayaan tertutup. Sewaktu aku ke sana pengurus memberitahu anggaran yang dibuatnya salah karena biaya pembelian mesin pompa yang ditulisnya untuk sumur dangkal, bukan yang dalam yang jauh lebih mahal. Mencari tambahan donasi sudah tidak ada waktu lagi karena besok pompa itu sudah harus dipasang.
“Sudah lama bergereja di sini?” tanya seorang yang baru aku kenal.
“Belum, belum ada 10 tahun,” jawabku.
“Kerja di mana?”
Aku jawab tidak bekerja karena aku pensiun 10 tahun yang lalu.
“Masih muda sudah tidak bekerja. Pasti pensiunnya banyak ya. Dulu pensiunnya dapat berapa juta?”
“Yaaa, cukuplah buat hidup sederhana sehari-hari sampai saya mati nanti.”
Rasanya tidak hanya sekali aku mendengar orang bercerita mendapat kesan negatip ketika untuk pertama kalinya datang ke gerejaku. “Orang gereja sini cuek, saya datang tidak disapa. Saya didiamkan, orang-orang di sini sombong.”
Banyak masalah yang kita hadapi dalam hidup ini. Kesulitan bergaul adalah salah satunya. Jika Anda kebetulan sedang menghadapi masalah ini, mungkin ada dua hal yang perlu diingat.
Pertama, pergaulan itu erat kaitannya dengan kemampuan.
Minggu 08 Nopember 2015 usai ibadah pagi aku nongkrong di kantin gereja. Seorang ibu menggandeng anak kecil menghampiri mejaku.
“Duduk Bu,” kataku mempersilakan dia duduk semeja denganku. “Ini anak ketiga? Berapa umurnya?”
Sewaktu memulai penyantunan siswa sebuah SD Swasta, saya meminta daftar siswa yang layak disantuni dari kepsek. Kemudian saya berkeliling mengunjungi alamat-alamat itu untuk mengetahui apakah saya dan Kepseknya sudah sama persepsi untuk kriteria "layak disantuni". Ada yang hanya saya lewati saja karena melihat bentuk rumah dan lingkungannya saja sudah pasti masuk kriteria. Tetapi ada juga yang saya kunjungi rumahnya.
Beberapa hari kemudian saya kembali menghadap Kepsek.
Mei 2013. Setelah menurunkan istri di Gang Baru untuk belanja, aku membelokkan motorku ke gang sebelahnya. Di seberang rumah kecil aku memarkirkannya. Seorang lelaki keluar dari rumah itu karena melihat aku.
”Koh Ping Liang ya?” tanyaku.
”Iya betul. Mau cari apa, Oom?”
Dia tidak tanya ‘mau cari siapa?’ karena dia jual barang rongsok, begitu yang tercatat dalam databaseku. Baru sekali ini aku ke rumah ini.
Ada tradisi di Semarang yang berhubungan dengan bulan puasa, yaitu Dugderan. Sejarah mencatat Dugderan untuk pertama kalinya diselenggarakan tahun 1881 oleh Bupati Semarang Raden Mas Tumenggung Aryo Purboningrat. Untuk menandai dimulainya ibadah puasa bedug di Mesjid Agung dibunyikan (dug, dug, dug) kemudian meriam disulut (der, der, der). Sekitar dua minggu sebelum acara itu, para pedagang menggelar komoditinya di sekitar Mesjid Agung.
Rabu pagi tadi aku berkeliling kota mengumpulkan laporan dari para penyalur beasiswa SD. Waktu pengambilan santunan Senin dan Selasa. Seorang dari mereka memberitahu ada 3 yang tidak diambil. Mereka dari satu keluarga dan baru sekali ini tidak mengambilnya. Biasanya yang mengambil ibunya. Jika sebelumnya kepseknya memberitahu aku penyebabnya (siswa sakit, orang tuanya keluar kota), uang santunan itu aku simpan dan bisa diambil bersamaan dengan santunan bulan berikutnya. Tanpa pemberitahuan dari kepsek, santunan yang tidak diambil aku hanguskan. Tetapi sampai pagi tadi tidak ada berita dari kepsek. Jumlah santunan untuk 3 anak itu 340 rb sementara uang sekolahnya 395 rb.