Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Di Tepi JALAN DAENDELS (2) Gereja kita payah ya.

Purnomo's picture

                    Untuk urusan diakonia atau kespel (kesaksian & pelayanan) banyak orang punya ide cemerlang. Mereka membicarakannya dengan majelis gerejanya sambil berharap idenya dilaksanakan oleh gereja. Jika kemudian gereja belum juga melakukannya, mereka mempergunjingkan pengurus gerejanya. “Gereja kita payah ya.”



 

                 Aku pikir bila memang ide mereka itu bagus top markotop mengapa tidak dikerjakan oleh mereka sendiri? Siapa berani mengatakan sebuah pemikiran yang tidak bagus bila ada yang ingin gereja menyantuni semua anggotanya yang berkekurangan? Tetapi bila gereja belum juga bisa melakukannya mengapa si pemikir itu tidak mulai dari dirinya sendiri? Tentu dia tak mampu menyantuni SEMUA yang butuh bantuan. Tetapi apalah beratnya setiap bulan dia memberikan uangnya sendiri 50 ribu rupiah kepada SEORANG saudara seimannya yang miskin itu? Jadi? Kalau gereja kita payah, ya kita tak perlu ikutan payah dong. Dan tak perlu ngomel ke sana ke mari menjelek-jelekkan berbagai lembaga, apalagi lewat sosmed, woooow sereeeem. Mengapa tidak mengmeli diri sendiri, he he he.

                 Mungkin begitu juga yang dipikir oleh temanku ini. Entah sejak kapan dia diam-diam menitipkan sapi kepada anggota gereja di desa Ngombol selatan kota Purworejo. Dia berulang kali mengajakku ke desa itu, bila berminat bisa bawa sapi sekalian, bisa satu bisa setengah. Aku menolak karena aku tidak berminat. Aku tidak berminat karena harga seekor sapi paling murah 10 juta rupiah dan bisnis ‘gadhuh sapi’ resikonya tinggi. Lalu bagaimana kalau ‘gadhuh kambing’? Gaklah. Nanti saja kalau ada yang mau terima ‘gadhuh bebek’.

                 Seorang dosen UKSW pernah bercerita kepadaku dulu bapaknya bermisi melalui bisnis ‘gadhuh kambing’. Setidaknya sebulan sekali bapaknya pergi ke desa-desa mengunjungi mitra bisnisnya untuk menengok kambingnya serta memberi penyuluhan perawatan kambing. Tetapi selain itu beliau juga membawa SULUH yang lain.

                Ketika temanku ini menjadi penatua gereja, agaknya dia berhasil meyakinkan rekan-rekannya apa yang selama ini dilakukannya layak dilakukan oleh gereja. Maka kemudian dalam rencana kerja tahunan gereja muncul mata anggaran baru: pemberdayaan jemaat pedesaan. Dengan adanya modal dari gereja ini maka ‘bisnis’ temanku harus diperluas, jumlah mitra bisnis harus ditambah. Karena tidak ada rekan penatua yang punya waktu untuk menyertainya mewawancarai calon prospek, aku diajaknya, tentunya sepengetahuan ketua majelis karena aku tak punya jabatan apa-apa dalam organisasi gereja. Punyaku hanya waktu, ya aku berikan. Apakah WAKTU kalah berharganya dengan UANG? Belum tentu. Dengan kesediaanku menemaninya, proyek ini tidak tertunda terlalu lama yang sial-sialnya malah bisa batal dilaksanakan.

                Rencana semula kami hanya ke Gereja Ngombol karena temanku sudah kenal baik dengan Pak Kholik pendetanya. Pendeta ini bisa dipercaya dan besar tanggungjawabnya kalau dipinjami modal. Maksudku, kalau dipinjami uang pasti mengembalikan sesuai perjanjiannya. Susah ‘kan cari pendeta model begini karena sering pendeta kalau disodori uang dianggap ‘berkat’ dari Tuhan yang tak perlu dikembalikan kepada manusia yang meminjaminya. Sebel deh kalau ketemu pendeta model begini. Rata-rata hadir dewasa di ibadah Minggu gereja ini 35 – 38 orang. Rata-rata jumlah persembahan yang masuk dalam sebulan sekitar 1500 rb. Kelak setahun dengan adanya proyek ini jumlah persembahan naik menjadi 2000 – 2500 rb. Tetapi mendekati Purworejo Pak Kholik menelepon meminta kami mampir di sebuah gereja di desa Jenar. Dia merekomendasi anggota gereja itu untuk dimasukkan ke dalam proyek ini.

 
             
Dalam pertemuan di gereja Jenar yang dilangsungkan di ruang ibadah dengan dihadiri belasan anggotanya, temanku terlebih dahulu menjelaskan garis besar proyek gereja kami yaitu memberi pinjaman modal kepada anggota-anggota jemaat yang wajib dikembalikan pada waktu yang telah disepakati. Gereja kami tidak mengambil bagian keuntungannya, tetapi dianjurkan mereka menyisihkan 10% dari laba bersihnya untuk kas gerejanya. Untuk keperluan ini mereka diminta mengisi formulir yang telah disediakan yang merinci rencana usaha mereka, perkiraan besaran modal, perkiraan laba bersih. Pinjaman modal diberikan seluruhnya apabila diperuntukkan menambah inventori warung dan pengembaliannya dengan cara angsuran. Tetapi akan diberikan parsial apabila untuk menanam padi misalnya dan pengembaliannya sekaligus. Sewaktu mereka akan menyewa lahan, mereka menerima uang sebesar harga sewa lahan itu. Kemudian pinjaman bagian ke-2 diberikan untuk membeli bibit dan pupuk, dan seterusnya. Penerimaan parsial ini untuk menghindari terpakainya uang itu untuk keperluan konsumtif. Bisa saja istri di rumah begitu melihat suaminya punya uang banyak langsung dibelikan kipas angin atau kulkas.

                 Kemudian sambil menikmati jajan pasar kami bertanya-jawab. Ada yang bercerita tentang keinginannya menambah modal untuk usaha jual beli ikan. Ada yang bertanya mana yang lebih baik menanam semangka atau melon. Kedua usaha ini butuh durasi waktu yang sama. Semangka modalnya lebih kecil dan resiko kerugian juga kecil tetapi laba bersihnya juga kecil. Sebaliknya dengan melon modalnya besar, resiko kerugian besar tetapi labanya juga besar. Aku lebih banyak jadi pendengar saja. Pertanyaan yang aku ajukan kepada mereka adalah mengenai peran bank desa kepada masyarakat: berapa nominal maksimumnya, apa anggunannya, berapa persen bunganya, berapa “biaya lain-lainnya”-nya.

                 Pertanyaan krusial dari mereka adalah bagaimana bila panen gagal sehingga mereka tidak bisa mengembalikan modal pinjamannya? Pinjamannya dicatat sebagai hutang dan cara pelunasannya akan dirundingkan, jawab temanku. Ybs masih bisa mendapat pinjaman kedua, tetapi untuk usaha yang kecil resikonya.

                  Kami berpamitan setelah pertanyaan mereka tuntas terjawab. Kami menuju gereja Ngombol, di tepi jalan Daendels.

 

** gadhuh = meminjami hewan kepada orang lain supaya dipelihara dan kala beranak anaknya dibagi dua.

** Februari 2013