Di Tepi JALAN DAENDELS (4) Lemak Nian

Submitted by Purnomo on

            Setelah wawancara selesai dan anggota jemaat pulang, pak pendeta Kholiq mempersilakan kami menyantap makan siang. Pemilik rumah di sebelah gereja tempat kami melakukan wawancara ini adalah seorang janda tua. Aku duduk di sebelahnya dan bertanya,

         “Mbah, sekarang umur berapa?”
         “Tujuh puluh lima tahun.”
         “Sehat, tidak ada penyakit?” tanyaku macam petugas posko bencana alam saja.
         “Sehat walafiat.”


Di Tepi JALAN DAENDELS (3) Between gadhuh and gadhuk

Submitted by Purnomo on

             Di Gereja Ngombol ada 4 orang anggota jemaatnya yang menemui kami. Kami berbincang di sebuah rumah sederhana di sebelah gedung gereja. Kami bertukar informasi tentang menanam padi, jagung, semangka serta melon. Ketika pertemuan akan berakhir seorang dari mereka berkata,

            “Saya ini kalau sedang mutar-mutar desa dan melihat rumput-rumput tumbuh subur, ingin sekali turun dari motor untuk memotongnya dan membawa pulang. Tetapi untuk apa? Di rumah saya tidak punya sapi.”


Di Tepi JALAN DAENDELS (2) Gereja kita payah ya.

Submitted by Purnomo on

                    Untuk urusan diakonia atau kespel (kesaksian & pelayanan) banyak orang punya ide cemerlang. Mereka membicarakannya dengan majelis gerejanya sambil berharap idenya dilaksanakan oleh gereja. Jika kemudian gereja belum juga melakukannya, mereka mempergunjingkan pengurus gerejanya. “Gereja kita payah ya.”



 

Di Tepi JALAN DAENDELS (1) Gereja dengan Bisnisnya

Submitted by Purnomo on

            Februari 2013. Beberapa menit setelah menyusuri Jalan Daendels ke arah barat, mobil kami berbelok ke kanan memasuki jalan kecil. Di sisi kanan ada ladang jagung yang hampir panen. Cerita temanku ladang yang terletak tepat di pinggir jalan Daendels ini luasnya 1 ‘iring’ (ini terminologi lokal = 1/4 hektar = 2500 meter persegi) dan pernah ditawarkan dengan harga 100.000 rb.



MALAM INI AKU MERINGIS

Submitted by Purnomo on

                 11 September 2015 malam aku memandangi spreadsheet di layar monitor komputer setelah memasukkan data transfer donasi ke 5 pendeta pedesaan, 4 Guru Wiyata Bakti, dan 1 mahasiswa Teol, yang berjumlah Rp.3.205.090,- Naik bila dibandingkan Agustus yang Rp.2.754.572,- karena mulai September “Pdt EME” masuk dalam daftar penerima donasi.


PDT EME-4 – PEJUANG PANTANG BERHENTI BERPERANG

Submitted by Purnomo on

            Karena anggota gereja Sekaran yang tinggal di dusun Ndelik jarang datang, Bpk Soemardiyono melakukan jemput bola. Minggu sore dia bersepeda ke sana mengumpulkan mereka bersekutu dalam doa dan pembacaan Firman. Tuan rumah berganti-ganti dan anggotanya makin bertambah sehingga terpikir oleh Pak Mar untuk memiliki tempat bersekutu yang tetap. Dusun ini betul-betul ‘ndelik’ (tersembunyi) karena terpencil di tepi hutan jati. Dengan uang tabungan istrinya dia membeli sepetak kecil tanah di sana. Tidak mahal kok. Lalu dari mana biaya pembangunannya?

PDT EME-3 – PANGKUR PALARAN

Submitted by Purnomo on

             Pada tahun 1960-an guru sekolah dihormati, terlebih di desa. Walau ‘hanya’ guru SD, bagi orang desa dia adalah orang hebat karena bisa membaca, menulis dan berhitung. Selain menjadi penolong penduduk membacakan surat-surat yang diterima dari sanak keluarga yang tinggal jauh dan kemudian menuliskan surat-surat balasannya, dia juga menjadi tempat bertanya tentang apa saja. Dan kehormatan yang lama disandang oleh Bpk Soemardiyono ini lenyap setelah dia diasramakan oleh pemerintah selama 2 tahun sebagai tahanan politik. Orang yang selalu disapa dengan hormat oleh setiap penduduk kini dihindari seperti orang berpenyakit menular. Bukan karena mereka membencinya, tetapi bila tampak akrab dengannya takut didatangi tentara untuk diperiksa apa punya “kuman penyakit” yang sama.

PDT EME-2 – KETURUNAN CIU PEK TONG

Submitted by Purnomo on

               Bpk Soemardiyono badannya bukan kecil, tetapi langsing. Gerak tubuhnya masih lincah. Waktu menyalami istrinya aku bertanya “Ibu pensiunan pegawai negeri?”
              “Yg pegawai negeri itu istri Bapak yg dulu. Saya istri sambungan, hanya bidan desa.”
              Begitu duduk di kursi tamu istrinya segera menyajikan minuman air mineral cup, sesisir pisang dan setandan kecil buah anggur. Padahal dia belum tahu tamunya ini datang bawa berkat atau laknat. Kepada Pak Mar aku menjelaskan maksud kedatanganku ke gerejanya.

PDT EME-1 – MEMANGNYA purnomo SUDAH GOBLOK?

Submitted by Purnomo on

            Setelah 60 menit bermotor melintasi batas kota timur Semarang, Mranggen, Karangawen aku sampai ke pasar Tegowanu. Mencari alamat di pelosoknya bagiku cukup berbekal nama kelurahan dan nomor RT & RW-nya. Aku tidak mengandalkan ji-pi-es, tetapi pangkalan ojek. Dari mereka aku mendapatkan keterangan rinci plus nasihat, “Nanti kalau mau lewat lintasan rel kereta api berhenti dulu, lihat kiri kanan sebelum menyeberanginya. Dua bulan yang lalu ada yang mati tersambar kereta.”


Subscribe to gereja pedesaan