Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

SEEKOR SAPI

Purnomo's picture

          Kadang orang menganggap pelayanan massal lebih efisien daripada pelayanan pribadi. Kadang anggaran atau ‘biaya’ pelayanan yang dikeluarkan dianggap pemborosan bila jumlah orang yang dilayani tidak seberapa.



         Cerita ilustrasi berikut ini mungkin telah sering Anda baca.

         Di sebuah desa bersalju ada sebuah gereja. Pada suatu hari Minggu yang sangat dingin, hanya pendeta dan seorang petani yang datang untuk beribadah. Setelah menunggu beberapa saat dan tidak ada lagi jemaat yang datang, pendeta berkata kepada petani itu, “Tampaknya hari ini tidak ada kebaktian karena tidak ada lagi orang lain yang datang.”

         Petani yang sudah siap beribadah itu protes, “Pak Pendeta, menurut pengalaman saya bila hanya hanya ada 1 sapi saja yang datang pada jam makan, saya tidak membiarkannya, saya tetap memberinya makan.” Saking rindu mendapat makanan rohani, si petani mengibaratkan dirinya sebagai “seekor sapi yang butuh diberi makan”.

         Pernah saya bertanya kepada seorang pendeta mengapa acara mingguan PA di gerejanya dihapus.
         “Yang datang sedikit,” jawabnya.
         “Berapa orang?”
         “Hanya sekitar 50 orang.”
          Saya melongo keheranan. 50 orang hadir di acara PA itu jumlah yang cukup besar bagi gereja saya. Tetapi bagi gereja yang 3 kali ibadah Minggunya dihadiri hampir 2000 orang memang sangat sedikit secara prosentasi. Saya tidak berani bertanya lebih lanjut karena itu bukan gereja saya walau satu denominasi.

          Tetapi ketika gereja saya mengumumkan acara bidston pagi yang ada dari hari Senin sampai Sabtu setiap pk.05.30 dirubah menjadi hanya 3 hari saja, saya protes tanpa peduli perubahan ini sudah ditulis di warta gereja dan diumumkan dalam ibadah Minggu jam pertama dalam bentuk warta lisan. Selesai ibadah saya langsung ke ruang konsistori dan bertanya kepada para penatua apa alasannya. “Karena yang datang paling banyak 10 orang dan itu membuat para pengurusnya kecewa,” jawab mereka.

          Saya bertanya bila pengurusnya mau meliburkan 3 hari, apakah boleh yang 3 hari itu saya yang mengurusnya. Saya mau mengurusinya walau yang datang hanya 3 atau 5 orang. Saya mengingatkan mereka walau hanya sedikit yang hadir, mereka adalah orang-orang yang tahu pentingnya sebuah doa sementara di rumah mereka tidak punya tempat untuk memanjatkan doa  dengan tenang. Mungkin saja rumah mereka seperti rumah saya kala saya masih SMA, hanya punya 1 ruang tamu dan 1 kamar tidur untuk seluruh anggota keluarga. Setiap hari saya berangkat ke sekolah pk.05.00 pagi karena mampir bidston dulu di gereja. Syukurlah pada ibadah ke-2 dalam pengumuman lisan diberitakan keputusan ini dicabut dan bidston pagi tetap dilangsungkan dari hari Senin sampai Sabtu. Lebih bersyukur lagi pengurus acara ini kemudian tidak menugasi saya untuk jadi pengkotbahnya selama 3 hari.

          Saya bisa memaklumi perasaan seorang pengkotbah bila ibadah yang dipimpinnya dihadiri banyak orang. Dia akan berkotbah dengan bersemangat sekali. Dia merasa susah payahnya berhari-hari menyiapkan materi kotbah tidak sia-sia. Ketika saya masih berkeliling menjadi ‘pengkotbah’ persekutuan doa rumah tangga juga mengalami ‘kesenangan’ ini bila yang hadir 40 orang. Namun demikian dalam menyiapkan materi renungan, saya selalu membayangkan yang hadir paling banyak 10 orang sehingga tidak akan menjadi kecewa bila yang hadir memang segitu saja. Dan memang berulang kali terjadi yang saya hadapi tidak banyak tetapi saya menemukan ‘kesenangan’ yang lain, yaitu ‘kotbah’ berubah menjadi acara diskusi yang memberi banyak masukan kepada saya.
 
          Kadang orang menganggap pelayanan massal lebih efisien daripada pelayanan pribadi. Kadang anggaran atau ‘biaya’ pelayanan yang dikeluarkan dianggap pemborosan bila jumlah orang yang dilayani tidak seberapa. Seumpama saja pemikiran ini dipraktekkan oleh Yesus ketika berada di dunia, tak akan ada cerita ‘Yesus berbincang-bincang dengan SEORANG perempuan Samaria di tepi sumur’. Yesus sengaja memilih jalan yang melintasi Samaria untuk menjumpai SATU perempuan berdosa yang sangat membutuhkan pengampunan dan pembaruan hidup dari-Nya.
       
          Cerita ilustrasi di awal tulisan ini muncul di benak saya ketika pada hari Jumat 19-Nopember-2015 datang ke sebuah SD Swasta di mana gereja saya menyelenggarakan acara pesekutuan Jumat siang bagi siswa Kristennya. Saya melihat acara persekutuan untuk kelas 2 hanya berisi 3 anak. Kelas itu tidak digabung dengan kelas lain walau ini berarti “biaya operasional per kepala”-nya jadi tinggi. Semoga semangat ini tetap terus dipertahankan oleh para aktivis gerejaku.