Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Cerita Nobietea...
. . . selamat pagi . . .
Alasan apa lagi yang harus aku berikan jika mereka menanyakanku tentang sesuatu hal yang selalu mereka ingin tahu jawaban?! Apakah aku harus mengatakan yang sesungguhnya bahwa aku tidak menyukai keberadaan mereka disekitarku? Apakah aku harus menulikan pendengaranku ini? Apakah aku harus berpura-pura tidak mendengar apa yang mereka katakan? Atau aku harus pergi jika mereka ingin menanyakan hal itu? Lalu bagaimana caranya agar aku tahu kapan mereka akan menanyakannya? Bodoh, aku tak mungkin bisa mengetahui jalan pemikiran mereka.
Jika aku tahu siapa pemilik rahim dimana aku pernah berada disana sembilan bulan lebih lamanya, agar aku tahu apa yang dia rasakan ketika aku bermukim disana. Jika saja aku mengetahui siapakah penyumbang gen kepada si pemilik rahim, agar aku juga mengerti apa yang sedang mereka pikirkan saat itu. Jika saja aku mengetahui siapa mereka, apa yang akan aku lakukan? Mereka, pemilik dan penyumbang, adalah orangtuaku. Mereka, yang kalian sebut orangtuaku adalah orang yang telah membuatku lebih najis dari ternak yang kalian haramkan. Ingin rasanya aku memakinya, tapi tidak… aku hanya mampu memaki diri sendiri.
Aku, yang selalu ingin tahu, terkadang seperti orang yang tak mau tahu. Setidaknya itu adalah pendapat mereka tentang diriku. Tapi tahu apa mereka tentang aku? Ya, ini adalah bagian diri dari ketidakmautahuanku tentang apa yang orang lain pikirkan. Begitu egoiskah aku? Sekali lagi, aku tidak mau tahu jawabannya, itu menurut mereka. Sejujurnya aku tidak tahu bagaimana caranya menjadi apa yang mereka pikirkan. Aku yang belum tahu bagaimana caranya agar aku bisa menjadi apa yang mereka inginkan. Agar aku bisa menjadi manusia yang mereka anggap normal.
Aku pernah bertanya kepada ibu yang telah mengasuhku tentang keberadaan orangtuaku. “Bu, dimana kedua orangtuaku? Apakah mereka masih hidup?”
Ibu diam.
“Bu, apakah aku dapat bertemu dengan mereka? Aku hanya ingin bertemu, aku hanya ingin melihat rupa mereka.”
Ibu masih terdiam.
“Setidaknya, aku masih bisa menyisakan sedikit cerita untuk anak cucuku nanti tentang moyang mereka. Jika orangtuaku sudah tiada, apakah aku bisa menemui nisan mereka?”
Lagi-lagi ibu masih diam.
“Ibu, adakah ibu mendengar perkataanku?” Aku sedikit kesal. Aku kesal ibu seperti menganggapku tak ada.
Melihat aku yang sudah terlanjur kesal ibu hanya dapat menarik nafas. Seakan-akan ingin memberitahukanku bahwa ia masih mendengar apa yang aku tanyakan. Tapi ia masih saja diam.
Aku bertekad, jika ada yang orang yang menanyakan sebuah pertanyaan yang tak ku inginkan mungkin baik bagiku melakukan apa yang ibu lakukan saat ini. Diam.
* * * * *
Di panti ini aku hidup entah sudah berapa tahun lamanya. Aku tidak tahu apakah hari pertama kali aku datang ke dunia ini yang selama ini kami rayakan adalah tepat. Aku tidak tahu apakah nama yang selama ini aku gunakan adalah pemberian terakhir kedua orangtuaku atau ibu ini yang memberikannya. Aku tidak tahu dari suku bangsa mana aku berasal. Aku tidak tahu apakah aku masih punya sanak saudara di luar sana. Yang aku tahu, aku tidak tahu apaapa. Seandainya aku bisa mengirim pesan kepada yang punya kuasa, akan kutanyakan siapakah pemilik darah yang mengalir ditubuhku ini?
Ibu, sang pemilik panti, yang telah lama mengabdi kepada kami anak yang tahu diri, tak pernah memberikan kami ASI. Mahkotanya yang selalu memutih sejak aku melihat rupanya, kulitnya yang mengerut menyisakan kecantikan dimasa mudanya. Lalu apa yang membuatnya ingin terus mengabdi kepada kami? Apakah ia juga bagian dari kami? Ibu, wanita yang mengasuh kami, tak pernah mendapatkan gaji. Ibu, yang terkadang ingin kami caci, seberapa hebatkah ia punya hati?
Sore, setelah tiga hari aku menanyakan kabar orang tuaku, aku melihat ibu memasuki sebuah ruangan yang selalu terkunci. Aku terus membuntutinya, aku menahan nafasku dalam-dalam. Aku meringankan langkahku. Aku tak ingin dia tahu. Pintu tertutup, aku mendekatinya perlahan-lahan. Dibalik lubang kunci aku tak dapat melihat apaapa. Aku pun mengendap-endap mencari jalan lain. Seketika aku teringat sebuah lubang dari ruang sebelah. Disana aku dapat melihat ibu terduduk melipat tangan. Disudut ruangan dan didepan sebuah kitab suci, aku melihat bibir ibu yang terus meracau. Adakah ibu memohon kepada Dia yang mereka sebut Tuhan? Adakah Dia pedulikan aku? Aku tak mengenalnya, adakah Ia mengenalku? Mengapa ibu menyebut namaku? Tahu apa Ia tentangku?
Mungkin benar, aku harus menemui Dia, Sang Penguasa. Tapi bagaimana caranya? Mereka bilang Ia hanya ada disurga, surga yang aku tahu adalah komunitas bagi jiwa yang tak punya raga. Jika aku membunuh diriku saat ini, apakah aku benar-benar akan dapat bertemu denganNya? Atau aku harus membuat janji terlebih dahulu? Tapi kepada siapa? Adakah ibu mengenalNya? Atau ibu juga bagian dari Dia? Tak mungkin, ia masih punya raga. Kemarin ibu masih menyentuh pipiku walau dengan sedikit menyisakan tanda merah karena ulahku. Baik bagiku untuk menanyakan hal ini setelah ibu keluar dari ruangan itu.
* * * * *
“Bu, apakah ibu kenal denganNya?” tanyaku disuatu sore seraya memandang ke langit. Ya, mereka bilang surga ada diatas. Entah atas milik siapa, tapi ketika mereka mengatakan atas, mereka selalu memandang ke arah langit. Aku hanya mengikuti apa yang mereka lakukan agar aku sama seperti mereka.
Lagi-lagi aku merasa bahwa ibu tak mendengar apa yang aku katakan. Tangan ibu masih saja sibuk dengan sulamannya. Sesekali ia bergerak, ia hanya sekedar memperbaiki letak kacamatanya saja. Ibu sudah renta. Terdengar sebuah tarikkan nafas panjang, apakah ibu letih mendengar pertanyaanku atau ini hanya sekedar pertanda bahwa ia tidak menyukai kehadiranku?
“Bu, jika ibu pergi nanti kepada siapa aku bisa bertanya?”, aku juga tak mengerti kenapa aku bertanya seperti ini. Aku merasa bahwa pertanyaan ini sedikit seperti pernyataan bahwa aku mulai tidak menyukai kehadirannya dihidupku. “Bukannya aku berharap agar ibu cepat kembali kesana.” Aku kembali berkata sambil terus memandang langit.
Kali ini ia menyeruput teh hangatnya yang tak lagi hangat. Aku memperhatikan caranya mengambil gelasnya. Tampak sikap ibu yang begitu halus, gelas itu sangat hati-hati sekali diraihnya. “Kenapa akhir-akhir ini kau begitu banyak bertanya?” tanya ibu tiba-tiba.
Aku sedikit terkejut, terkejut ibu akan bertanya bukan menjawab dan terkejut dengan pertanyaan ibu.
Aku diam.
Sama seperti sikap ibu sewaktu aku bertanya padanya.
“Kenapa kau tidak menghadapi kehidupan ini semampu yang kau bisa tanpa banyak mempertanyakan ini itu?” tanya ibu lembut namun tajam seraya mengelus punggung tanganku. Aku tidak dapat mengelak dari pertanyaan ibu kali ini. Aku sedikt merasa tersudutkan
“Aku iri, bu.”
“Iri pada apa? Iri pada siapa?”
“Aku iri dengan yang lainnya. Aku iri dengan teman-temanku yang selalu bercerita tentang keluarga mereka. Aku iri dengan kebahagian mereka.”
“Apakah hanya itu alasanmu sehingga membuatmu terus bertanya?”
“Tidak bu.”
“Lalu apa lagi?”
“Rasa iri itu nyaris saja membuatku membenci mereka. Aku juga merasakan sebuah ketidakadilan dalam hidupku, bu.”
Ibu tersenyum simpul. “Ketidakadilan? Apa maksudmu?”
“Bu, kenapa mereka selalu bahagia dan aku selalu saja dirundung duka.”
“Tidak, nak. Semua manusia diciptakan sama oleh sang Pencipta.”
“Tidak bu. Aku berbeda dengan mereka. Aku tidak mempunyai keluarga. Aku tidak mengenal siapa ibu dan ayahku. Bagaimana mungkin aku bisa sama dengan mereka? Lagi pula mereka bilang aku berbeda dengan mereka.”
“Apakah jika sekarang ini kamu bertemu dengan kedua orang tuamu, kamu akan merasa bahagia?”
Aku menarik nafasku dalam-dalam. Aku merasa sedikit sesak diruang yang terbuka. Entah apa yang membuatku ingin berteriak. Aku juga tak mengerti, kenapa seketika aku ingin berlari. Aku ingin bersembunyi dari pertanyaan ibu. Memang benar apa yang ia katakan, apakah aku akan bahagia jika aku sudah bertemu dengan kedua orangtuaku? Namun mengapa aku menjadi seperti ini? Entahlah…. Pertanyaan ibu kali ini membuatku bertanya pada diriku sendiri apa yang sebenarnya yang kuinginkan, pertemuanku dengan orang yang telah membuatku ada didunia ini atau kebahagian yang sepertinya tidak pernah kurasakan. Aku berusaha menghapus pertanyaan itu dari otakku. Dan aku berhasil.
Pertanyaan itu baru saja hilang dari otakku, namun seketika muncul pertanyaan lain yang membuatku gelisah. “Bu, apa yang ibu lakukan diruangan yang selalu terkunci itu?” Aku gelisah, aku takut ibu merasa bahwa aku mengawasinya.
“Apa pedulimu?”
Aku tertawa getir. Ada sebuah pernyataan yang kudengar, aku merasakan sebuah pendapat ibu selama ini yang belum tersampaikan oleh bibirnya. Aku yang selalu dianggap manusia yang tak punya rasa peduli. Inginku teriakkan betapa pedulinya aku akan dirinya. Tapi aku takut, aku takut dia merasa bahwa aku sedang berbohong. Inginku katakan betapa pentingnya ia dalam hidupku. Dan aku masih saja takut, aku takut dia merasa aku sedang membual.
Pertanyaan ibu tak dapatku jawab, aku tidak mempunyai alasan yang tepat untuk menanyakan lebih jauh kecuali rasa penasaranku. Harus dengan cara apa aku dapat menunjukkan rasa peduliku yang tak pernah mereka lihat selama ini? Mengapa mereka selalu berpendapat bahwa aku manusia yang tanpa rasa? Inginku teriakkan aku pun punya rasa. Aku punya rasa ingin memiliki keluarga seperti mereka, aku punya rasa sedih ketika aku bersama duka dan aku punya rasa sakit ketika aku terjatuh. Tapi yang aku tak punya cara bagaimana aku menyampaikan pada kalian! Aku juga tak punya cerita ketika ku masih kecil dulu.
Didalam ingatanku, aku hanya bisa menceritakan kebaikan-kebaikan ibu yang telah mengasuh bukan ibu yang telah melahirkanku. Aku tak punya cerita bahagia ketika pertama kali aku bisa berjalan. Aku tak punya cerita bahagia ketika ibu yang melahirkanku mendengar kata pertama dari bibirku. Aku tak punya cerita bahagia ketika pertama kali aku masuk sekolah. Hingga aku pun tak bisa membagikan kebahagiaanku ketika pertama kali aku jatuh cinta. Aku pun pernah menceritakan sedikit kebahagianku pada suatu hari ke ibu. Tapi apa yang kudapatkan? Tarikan nafas yang panjang. Tidak seperti yang ku harapkankan, aku kecewa.
“Sekarang ini ibu sudah renta dan sering sakit-sakitan, aku hanya takut sesuatu terjadi pada ibu diruangan yang selalu terkunci itu dan aku tidak mengetahuinya. Apakah aku harus membiarkan bangkai ibu membusuk disana?”
Ibu tak langsung menjawab, seorang gadis kecil yang juga adikku dipanti ini mendatanginya dan membisikkan sesuatu ditelingannya dengan manja. Melihatnya pun aku begitu iri, aku tak pernah membisikkan sesuatu dengan manja ditelinga itu. Menyentuhnya pun aku tak pernah. Bisikkan gadis itu hanya dijawab ibu dengan senyuman, senyuman seorang ibu. Senyuman yang sudah lama sekali tidak ditujukan untukku. Aku ingin menjadi gadis kecil lagi.
“Apakah aku sudah cukup tua bagimu?” tanya ibu. Ibu kembali bertanya bukan menjawab.
“Tidak, bu.”
“Lalu?”
“Seperti yang tadi sudah kukatakan, aku takut terjadi sesuatu diruangan yang selalu terkunci itu.”
Sejujurnya yang inginku katakan adalah apakah ibu menyembunyikan sesuatu diruangan itu? Tapi tetap saja aku tidak tahu bagaimana caran menanyakannya. Aku takut ibu tersinggung. Aku takut ibu kecewa karena kelancanganku telah mengintipnya diruangan itu. Aku, walau pun selalu dianggap manusia yang tak pernah peduli setidaknya tak pernah mengganggu kenyamanan orang lain. Aku takut ibu merasa tidak nyaman karena aku mengawasinya. Aku takut.
“Apakah kau sadar bahwa ketakutanmu itu terlalu berlebihan. Ibu yakin, kau sudah mengetahui apa yang ibu lakukan diruangan itu.”
“Maafkan aku, bu…” jawabku tercekat.
Aku bingung, apakah aku sedang menyesal karena telah lancang atau aku malu karena ibu mengetahui kelancanganku.
“Tak perlu meminta maaf, hanya saja kau harus berjanji takkan mengulanginya lagi.”
Satu hal yang amat kubanggakan dari ibu adalah kebijaksanaanya yang luar biasa. Ibu tidak kecewa karena ulahku, ia juga tidak marah tapi ia memberikan aku sebuah nasihat yang tidak membuatku seperti menjadi terdakwa. Apakah ia benar seorang manusia atau manusia yang menjelma menjadi malaikat? Cih, mungkin itu hanya cerita dongeng yang ibu sering ceritakan untukku ketika aku masih kecil dulu.
Ibu masih saja mengelus tanganku dengan lembut dan aku sangat menikmatinya. Aku merasakan kehangatan, sejenak pertanyaan-pertanyaanku tentang keberadaan orangtuaku menghilang.
“Sekarang kau bukan gadis kecil lagi, Raya. Kau harus mengerti bagaimana kehidupan diluar sana..”
Raya, itu nama yang ibu sebutkan untuk memanggilku, entah siapa gerangan yang telah memberikannya padaku. “Apa maksud ibu?” tanyaku tak mengerti.
“Ibu tak mungkin terus menjagamu, selain usia ibu yang sudah uzur tapi baik juga untukmu untuk mengecap dunia luar.”
“Aku tak mau, bu…”
“Ibu tak memaksamu, ibu hanya sekedar menyarankan saja. Ibu merasa kamu terlalu banyak bertanya, kenapa kamu tidak mencari jawabannya sendiri?”
“Aku takut, bu…”
“Takut apa? Ibu tidak memelihara seorang pecundang. Diluar sana kamu akan mendapatkan jawaban dari semua pertanyaanmu.”
“Bu, bagiku mengenal dunia yang selama ini aku jalani saja sudah cukup. Aku tak ingin pergi dari panti ini, bu…” mataku sedikit berkaca-kaca. Aku sedih mendengar saran ibu. Bagiku itu bukan sebuah saran, tapi bentuk lembut dari sebuah pengusiran. Jika aku tidak tinggal lagi di panti ini, lalu dimana aku akan tinggal? Jika aku harus hidup jauh dari ibu, lalu kepada siapa aku berkeluhkesah? “Aku janji tidak akan menanyakan ini itu lagi, bu...”
Ibu tersenyum lembut mendengar janjiku. Aku berjanji dan aku harus menggenapinya, itu adalah ajaran ibu selama ini. “Nak, sadarkah berapa usiamu kini? Tidakkah kau khawatir ketika aku sudah tiada?”
Ketika ibu sudah tiada? Benar, selama ini aku hanya takut ketika berada jauh dari ibu. Lalu bagaimana jika ibu benar-benar tiada? Kembali aku berpikir untuk membunuh diriku sendiri. Kali ini bukan untuk bertemu dengan sang penguasa, aku ingin selalu bersama ibu.
“Di dunia ini tidak ada yang abadi, jadi rancanglah masa depanmu.”
“Kenapa?”
“Terkadang hidup tak perlu alasan. Jalani saja… Tak perlu kau tanyakan mengapa ibu mengasuhmu, mengapa orangtuamu menyianyiakanmu, mengapa dan kenapa lainnya yang ada dipikiranmu. Hargai saja apa yang sudah kamu dapatkan saat ini.”
Aku terdiam.
“Kau pun tak perlu melihat ke belakang apa yang sudah dan yang pernah terjadi. Syukuri saja apa yang sudah kamu peroleh, apakah itu beban bagimu?”
Ingin rasanya aku mengatakan bahwa aku terlalu mendendam dengan segala perbuatan kedua orangtuaku. Aku merasa menjadi orang yang tersisih di dunia, jika mereka saja tidak menginginkan aku dan kali ini ibu yang selama ini mengasuhku pun sudah merasa jenuh akan keberadaanku lalu bagaimana mungkin orang yang di luar sana dapat menerima keberadaanku? Apakah aku memang tercipta hanya untuk menjadi yang tersisih, menanti ditepi hingga akhirnya aku mati?
* * * * *
Kini ibu tak ada lagi di sisi, ibu telah pergi seperti apa yang aku takuti selama ini. Ibu pergi terlebih dahulu dari pada aku. Dan sekarang, aku pun berjalan sendirian mencari seseorang yang dapat mengasihi atau mengasihani. Mungkinkah aku harus menemui Tuhan yang selama ini ibu temui? Haruskah aku masuk kedalam ruang itu? Atau aku ikut masuk kedalam liang kubur ibu?
Gundukan tanah dihadapanku ini masih sangat basah. Tanah yang memberikan batas dua dunia. Duniaku dan dunia ibu. Sebelum mereka menutup peti dan kemudian menguburnya kedalam liang itu, aku masih sempat merekam senyum ibu untuk terakhir kalinya diotakku. Ibu benar-benar malaikat yang dikirimkan dari surga untukku. Mungkin benar, aku tidak benar-benar mengenaskan dengan kesedihanku. Setidaknya aku masih bisa merasakan sedikit kebahagian. Sedikit lebih baik dari pada tidak sama sekali.
Ada suatu hal yang lupa kutitipkan pada ibu sebelum kepergiannya. Aku ingin menitipkan sebuah pesan kepada Dia yang telah menciptakanku. Jika saja aku tahu ibu akan segera pergi mungkin aku masih bisa menyempatkan diri memeluknya sebelum jiwa dan raganya benar-benar terpisah. Otakku kembali mengirimkan sebuah pertanyaan, mengapa Tuhan memanggil umatNya yang baik dengan cepat? Ah, seandainya saja aku kenal baik denganNya…
* * * * *
Sebelumnya aku mencari kata yang tepat untuk memperkenalkan diriku kepadaNya. Tapi tak kutemukan… Ada sedikit rasa malu diantara ketakutanku, aku malu jika Dia tahu aku akan menemuiNya disaat aku benar-benar telah sendiri. Aku pun takut jika Ia bertanya kemana saja aku selama ini. Aku khawatir jika Ia tidak menerima dengan tangan terbuka dan berbalik badan kemudian pergi menjauh dariku. Adakah Ia benar-benar telah mengenal seperti apa yang pernah ibu katakan padaku tentang diriNya?
Hari telah senja, dan aku masih tetap berdiri didepan pintu menuju ruangan tempat ibu bertemu denganNya. Hatiku semakin miris, andai saja ibu masih ada, inginku tanyakan kalimat apa yang harus aku katakan. Aroma tubuh ibu yang dibawa oleh angin masih terasa disepanjang lorong ini. Suasana hatiku semakin mencekam. Hari ini adalah tepat keseratus hari kepergian ibu, aku tak tahu dengan cara apa mereka menyebutnya. Seperti ketidaktahuanku mengapa mereka merayakan kepergian seseorang ke alam baka dengan cara itu. Merayakan atau pun sedang mengenang atau entah apa pun itu, bagiku semuanya itu tidak akan membuat ibu kembali ada disini.
Hari ini, ketika semua penghuni panti sedang melantunkan doa-doa mereka dihadapan potret ibu dan Kitab Suci diterangi tiga buah lilin putih, aku hanya dapat menahan air mataku. Mereka tidak membuat ibu kembali ada disini, tetapi mereka membuatku kembali merasakan sebuah kepedihan sama seperti pertama kali aku mendengar kepergian ibu untuk selamanya. Dibalik sebuah pilar aku berusaha untuk terus menahan tangisanku.
Gigiku saling beradu menahan dinginnya angin malam, setetes air mata tak tertahankan lagi oleh mataku. Lututku tak dapat menopangku lagi, dengan mulus aku terduduk bersandarkan dinding ruangan itu. Mungkin sebelumnya aku bisa memperkenalkan diriku kepada dinding ini. Inginku tanyakan padanya apa yang terjadi selama ini didalam ruangan itu. Ah tidak, mengapa aku segila ini?
Aku mulai meraba setiap inci dinding itu, mungkin dulu ibu pernah menyentuh dinding-dinding ini sebelum masuk ke dalam ruang itu. Mungkin aku bisa merasakan sisa-sisa sentuhan ibu. Atau mungkin masih ada sisa-sisa kisah ibu yang belum terbawa oleh angin?
Bulan telah menampakkan dirinya, tinggi diatas sana, bersembunyi dibalik pohon beringin yang usianya jauh lebih tua dari usiaku, ditambah lagi dengan longlongan anjing yang semakin membuat tenagaku menghilang. Entah sejak kapan pintu itu terbuka, apakah ibu yang membukakannya untukku atau Tuhan yang ibu sembah didalam ruangan itu mempersilahkanku masuk kedalam ruangan itu? Perasaanku semakin mencekam, nafasku mulai tersengal-sengal menahan emosi yang semakin berkecamuk. Aku menenggelamkan kepalaku dan menghimpitnya diantara dua lutuku kemudian menutupinya dengan kedua tanganku. Aku melakukannya dengan harapan tenagaku dapat kembali normal.
Dua belas jam sudah aku menunggu Tuhan keluar dari ruangan itu dan mempersilahkanku untuk masuk. Tanpa suguhan yang bisa membuatku tidak merasakan kejunuhan, dan anehnya aku tidak merasakan itu. Aku yang tidak terbiasa menunggu, hari ini sanggup menunggu hal yang tidak pasti. Bagiku lima menit saja menunggu sesuatu adalah beban, tapi tidak kali ini. Aku menunggu Tuhan yang tidak ku kenal, yang aku sendiri tidak yakin apakah Dia akan mengenaliku. Setidaknya aku masih punya harapan karena aku adalah ciptaanNya dan aku yakin Ia masih punya ingatan yang tajam akan setiap ciptaanNya. Tak terbayangkan seberapa besar kapasitas memory diotak Tuhan. Dia sanggup menghapal setiap nama ciptaaNya. Mungkin benar, Dia memang agung.
* * * * *
Ayam jantan sudah terbangun dari tidurnya yang lelap. Suaranya membangunkan aku, dan hari masih gelap. Lebih tepatnya subuh, biasanya ibu akan masuk kedalam ruangan itu setiap kali mendengar sapaan sang ayam jantan. Entah apa yang ia lakukan disana. Tidak, lagi-lagi keingintahuanku semakin membuat kakiku melangkah tepat didepan pintu.
Tok…tok…tok…
Berulang kali aku mengetuk pintu namun aku tidak mendengar jawaban dari dalam sana. Ini meyakinkanku bahwa ruangan itu benar-benar kosong. Sejenak aku merasa lega, didalam sana aku tidak akan bertemu dengan siapa-siapa. Ini berarti aku tidak akan merasa malu kepada siapa pun. Perlahan-lahan aku memberanikan diri membuka pintu. Gelap, itu adalah kalimat pertama yang keluar dari mulutku diantara ketakutanku. Aku takut akan gelap dan aku semakin takut karena sepi. Bodoh, mengapa baru kali ini aku merasakan ketakutan itu?
Dengan segera aku meraba setiap dindingnya, bukan untuk merasakan sisa cerita-cerita ibu. Aku ingin menemukan sesuatu yang dapat memberi cahaya ruangan ini. Dan aku berhasil menemukannya disamping sebuah potret wanita muda yang cantik. Siapakah wanita ini? Aku merasa seperti pernah bertemu dengannya. Lama aku mengagumi kecantikan wanita itu. Air wajahnya sungguh memberi ketenangan bagiku. Tunggu… aku tahu senyum itu, aku masih mengingat senyum itu sebelum para penggali liang melakukan tugasnya untuk terakhir kalinya untuk panti ini. Ibu.
Ini benar-benar ibu, ibu dengan mahkotanya yang masih berwarna hitam legam dan mempesona. Aku semakin mengaguminya, aku mengagumi kecantikan wajah dan kecantikan hati ibu. Disamping potret itu ada sebuah salib. Tak jauh dari sana ada sebuah Kitab Suci. Apakah ini tempat pertemuan ibu dengan sang pencipta? Apakah disini ibu mencurahkan seluruh hatinya kepada Tuhan? Lalu bagaimana caranya bila aku juga ingin melakukan hal itu?
Aku berusaha mengingat apa yang pernah ibu ajarkan semasa aku masih kecil. Sebagian otakku memaki perbuatanku, aku yang tak mau peduli dengan apa yang selama ini ibu ajarkan padaku. Dan kali ini aku baru merasakan betapa pentingnya setiap hal yang ibu ajarkan padaku. Lipatlah tangan dan tutuplah matamu, kalimat itu seperti pernah kudengar namun dari mana asal suara itu. Aku tidak mempedulikan dari mana kalimat itu datang, aku mulai melipat tangan dan menutup tanganku.
Pertama-pertama aku menyebut kata ibu, namun suara itu lagi-lagi mengingatkanku untuk terlebih dahulu berdialog kepada yang empunya kehidupan. Mungkin suara itu benar karena aku datang bukan untuk berbicara dengan ibu, aku ada disini karena ingin berkenalan denganNya. Seketika aku tidak dapat bersuara, aku tercekat nyaris saja tersedak. Dengan sebutan apa aku memanggilNya dalam doaku? Aku membuka mataku mencari petunjuk dari segala penjuru diruangan ini. Bapa, ya… mungkin sebaiknya aku memanggilNya Bapa. Sama seperti doa yang pernah ibu ajarkan disaat aku berusia tujuh tahun.
“Selamat pagi, Bapa…”, sapaku terbata.
Ruangan ini masih hening, aku tidak mendengar ada jawaban dari lawan bicaraku. Aku sedikit goyah dengan keingintahuanku, apakah Dia benar-benar ada? Tapi ya sudahlah, mungkin sebaiknya aku mencoba kembali menutup mataku dan melipat tanganku. Aku mengulangi sapaanku. Aku mulai meracau, aku seperti ibu. Aku melafalkan kata-kata, aku sama seperti mereka kemarin siang. Seketika aku seperti telah lama mengenalnya. Jiwaku merasakan sebuah ketenangan, jauh lebih tenang dari pada duduk diatas gedung tertinggi sekalipun ketika aku mencari ketenangan diantara kejenuhanku. Entah sudah kisah apa saja yang telah kuceritakan padaNYa. Mungkin hingga rahasiaku yang terkecil pun sudah kukatakan padaNYa. Dan anehnya aku tidak merasakan kejengahan, melainkan aku merasa sudah terbebaskan. Ini hebat. Tapi tidak, mengapa airmataku mengalir seperti hujan dengan derasnya seperti dimusim penghujan? Apa arti semuanya ini?
* * * *
Pagi ini bukanlah pagi pertama aku datang ke tempat seperti ini. Pagi ini adalah pagi pertama aku datang ke tempat ini dengan perasaan seperti ini. Pagi ini juga aku datang dengan membawa banyak rasa. Aku seperti kembali ke rumah. Rumah? Cih, aku seperti seseorang yang pernah mengenal rumah saja. Pada kenyataanya aku hanya mengenal panti, tapi setidaknya aku bisa merasakan kehangatan rumah dari kisah-kisah yang disampaikan ibu sebelum aku tidur sewaktu aku masih berusia tujuh tahun. Kali ini aku seperti sedang memasuki suatu kejadian yang benar-benar tidak pernah ku bayangkan, dan aku menikmatinya.
Pagi ini aku tidak mempedulikan apa yang sedang mereka pikirkan, bukan berarti aku tidak punya rasa peduli. Aku tidak ingin perasaan ini hilang hanya dengan tatapan mata mereka. Aku berterimakasih kepada mata, terlebih kepada yang menciptakannya. Dengan mata aku bisa melihat dunia, dengan mata aku bisa merasakan keramahanNya subuh tadi dan kali ini dengan mata pula aku bisa meyakinkan diriku bahwa aku membutuhkanNya. Pagi ini adalah awal hidupku yang baru tanpa ibu. Tanpa kehadiran ibu aku mampu melanjutkan kehidupanku, tanpa adanya ibu aku mampu menikmati apa yang akan terjadi didepanku nanti. Tapi tidak denganNya, aku tidak mampu hidup tanpaNya. Aku pernah melakukannya dan aku berjanji tidak akan mengulanginya lagi.
Pagi ini aku melipat tanganku dibawah kayu salib tanpa harus merasa tertekan karena ibu akan memperingatkanku jika aku tidak benar-benar melipat tanganku dan menutup kedua mataku. Aku menyimak dengan seksama apa yang sedang hambaNya sampaikan kepada kami umatNya. Dan pagi ini aku semakin merasakan keberadaanNya dihidupku.
Tiga bangku dibelakangku, aku melihat seorang nenek tua yang mungkin lebih tua dari sepedaku diluar sana, bibirnya meracau dengan suara berbisik lirih. Ada sebuah kerinduan yang tak kunjung datang dalam hidupnya. Disampingnya seorang pemuda, matanya menerawang entah kemana. Aku tidak melihat kerja sama yang baik antara mata, bibir, hati dan pikirannya. Terkadang tangannya sibuk menggurat penanya diwarta ibadah. Mengapa mereka sangat berbeda sekali, apakah karena nenek tua itu akan segera menemui ajalnya hingga ia melafalkan doa-doanya setiap waktu dengan khusyuk dan pemuda itu hanya menganggap remeh kehidupan ini? Aku tidak berani menarik kesimpulan, aku masih merasa malu akan diriku sendiri.
Tiga bangku dibelakang nenek itu duduk sebuah keluarga kecil yang mungkin nan bahagia. Mungkin bahagia karena ada seorang anak laki-laki berusia sembilan tahun diapit ayah dan ibunya. Mungkin tidak bahagia karena ada sedikit duka terpancar dari wajah ibu. Adakah ibu muda itu merasa tersakiti oleh suaminya atau mungkin kehidupan yang telah menyakitinya? Atau hanya sebuah kegalauan seorang ibu sajakah?
Tiba-tiba saja aku berandai aku berada diposisi anak itu. Aku duduk dan beribadah bersama dengan kedua orangtuaku. Aku berdoa dan menyembah kepada Tuhan yang sama. Jika saja aku pernah berada dikondisi itu, apakah aku dapat merasakan kebahagian yang sempurna dan berhenti untuk mengeluh? Nyaris saja aku kembali tidak mensyukuri apa yang pernah dan sedang terjadi pada hidupku. Mungkin ibu tidak meninggalkan harta warisan yang melimpah padaku, tapi aku sangat berterimakasih atas segala hal yang telah dilakukannya padaku.
Pagi ini juga untuk pertama kalinya aku memutuskan melafalkan doa untuk kedua orang tuaku. Aku mengirimkan banyak pesan kepada Tuhanku agar mereka bisa merasakan kerinduanku selama ini. Aku, yang tak pernah mengetahui keberadaan mereka, mengirimkan kebahagian melalui doa-doaku.
Jemaat tlah membaur dengan yang lainnya, waktu untuk terus meracau sudah selesai. Kini aku memulai hidupku yang baru walau bukan waktunya lagi. Tapi itu lebih baik dari pada aku harus melarutkan diri atas segala pemahamanku selama ini. Pagi ini adalah awal yang baru. Begitu juga dengan pagi-pagi berikutnya…
Selamat pagi semuanya…
maaf.. bie kurang pintar
- nobietea's blog
- 3336 reads
panjang banget...
panjang banget... namana jg
maaf.. bie kurang pintar
wow
kayak doraemon
@lihardo
maaf.. bie kurang pintar