Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Malu
Sore di kampung Margahayu. Lik Joni sedang asyik baca koran di lincak depan rumahnya. Sesekali ia tampak mengerenyitkan dahi, menggeleng-nggelengkan kepala sambil mengepalkan tangannya. Saking seriusnya, ia tak menyadari kedatangan den baguse Wiryo di sebelahnya.
"Ckckckckck.... yang lagi serius, sampe nggak tau situasi kiri kanan..," celetuk den baguse Wiryo sambil tangannya menepuk pundak lik Joni. "Lagi baca apa to Lik?" sambungnya.
"Oalah... kamu to Yo... ngagetin aja..!" seru lik Joni. "Ini lho... lagi baca berita soal para koruptor yang bebas karena mendapat grasi dan remisi dari Presiden. Kok bisa-bisanya ya... padahal mereka itu kan sudah menyengsarakan rakyat? Uhhh... bikin ati kesel saja!" tambahnya.
"Hehehe... itulah Indonesia, Lik," sambar den baguse Wiryo. "Daripada mikirin itu terus... mending Lik Joni jawab pertanyaanku saja... " tambahnya.
"Pertanyaan apa Yo... kok kayaknya misterius banget?" tanya lik Joni penasaran.
"Lik Joni mau ndak, besok siang, jalan-jalan di pasar tanpa memakai apa pun alias telanjang bulat?"
“Wus… pertanyaan ngawur! Aku ndak bakalan mau walau dibayar berapa pun!” jawab lik Joni dengan nada tinggi.
“Kenapa, Lik?”
“Ya, malulah. Lha wong masih waras kok disuruh jalan sambil telanjang. Ada-ada saja kamu Yo…”
“Jadi karena malu ya Lik? Tapi kok, kita-kita yang berpakaian lengkap ini malah sering tidak punya malu?”
“Maksudmu?”
“Coba Lik Joni liat dalam kehidupan sehari-hari, berapa banyak dari kita yang suka membuang sampah sembarangan dan mengotori tempat umum tanpa perasaan bersalah sedikit pun. Tengok pula di jalanan, banyak juga yang masih suka seenaknya sendiri; kebut-kebutan, nyelonong sembarangan tanpa mengindahkan lampu lalu lintas, parkir tidak pada tempatnya, tidak mau mematuhi peraturan lalu lintas, tidak sabaran, dan sikap tidak mau mengalah. Sering juga kita nggak mau antre dengan tertib. Yang penting aku terlebih dahulu… orang lain mah EGP. Trus orang-orang yang dikaruniai kepandaian, sering malah menggunakan kepandaiannya itu untuk ’ngibulin’ orang lain dan mencari keuntungan untuk diri sendiri. Kita-kita yang jadi wakil rakyat atau pemimpin juga sering tidak menepati janji. Bilangnya (dulu) pengen mensejahterakan rakyat.. eee la kok sekarang malah suka ribut sendiri dan ngurusi hal-hal yang nggak penting. Parahnya lagi banyak di antara mereka yang menggunakan kekuasaannya untuk memperkaya diri sendiri. Gilirannya ketangkep, masih bisa senyam-senyum karena merasa punya becking. Ahh… benar-benar enggak punya malu…” jelas den baguse Wiryo.
“Ohhh… gitu to… baru dong aku sekarang…” ujar lik Joni sambil manggut-manggut. ”Tapi, kita bisa apa dengan segala situasi tersebut?” sambungnya.
”Wah... pasti banyak Lik. Tapi kalau mengharapkan mereka berubah itu malah bisa bikin kita stress. Yang bisa kita lakukan adalah merubah diri kita sambil terus mendaraskan doa agar Tuhan memberi jalan terang untuk mereka. Juga, menumbuhkan kembali ’kemaluan’ dalam diri kita masing-masing. Malu kalau tidak bisa buang sampah pada tempatnya. Malu kalau tidak bisa tertib, entah di jalan atau di manapun. Malu kalau tidak menepati janji. Dan, malu jika hidup hanya menjadi batu sandungan untuk orang lain.”
Lik Joni terus manggut-manggut mendengar penjelasan den baguse Wiryo. Dalam hati ia berjanji untuk lebih merasakan rasa malunya agar hidupnya semakin berarti dan berguna bagi sesama dan lingkungan.
- cahyadi's blog
- Login to post comments
- 4167 reads
soal kemaluan
kemaluan, eh... maksudnya rasa malu, memang salah satu pendorong terbentuknya sikap moral dalam diri manusia, tapi itu baru tahap ketiga dari enam tahap pertumbuhan moral yang diusulkan oleh Kohlberg. lengkapnya begini:
tahap pertama: ketaatan karena hukuman, di mana seseorang terdorong berbuat baik karena teringat akibat buruk dari tindakan buruknya di masa lalu ("bagaimana supaya aku tidak kena hukuman lagi?")
tahap kedua: dorongan kepentingan pribadi, di mana seseorang berbuat baik dengan harapan akan mendapat kebaikan juga dari hal tersebut ("apa untungnya buat aku?"). tahap pertama dan kedua ini biasanya terdapat pada kanak-kanak.
tahap ketiga: dorongan norma sosial, di mana seseorang berbuat baik untuk mendapat persetujuan sosial, agar diterima lingkungannya, atau agar tidak dipermalukan. ini yang diungkapkan dalam blog ini.
tahap keempat: kesadaran hukum dan tatanan sosial, di mana seseorang sadar bahwa untuk menjalankan masyarakat yang baik dia harus melakukan kontribusi. tahap ketiga dan keempat ini biasanya sudah terbentuk pada orang dewasa.
tahap kelima: kontrak sosial, ketika seseorang memandang dunia sebagai tempat yang berisi banyak pendapat, nilai, pandangan dan kebenaran. hukum tidak dianggap sebagai aturan yang kaku, melainkan berupa kontrak sosial antar berbagai kebenaran tersebut. di tahap ini baru bisa terjadi masyarakat yang demokratis.
tahap keenam: prinsip etis universal, ketika seseorang bisa menggunakan pemikiran abstrak untuk menemukan kebenaran umum di balik setiap hukum dan peraturan. dalam tahap ini terjadi masyarakat universal yang saling menerima dengan baik.
nah, sekarang setelah kita menemukan di mana kita berada dalam skala ini, bagaimana caranya agar kita, baik sebagai pribadi, maupun sebagai masyarakat, termasuk masyarakat blogger di situs ini, bisa meningkat dalam pemahaman kita? kalau masih terus di level tiga, apa gak malu? hehe :)