Biarkan aku mencintaimu!
Entah aku harus marah dengan cara bagaimana, sementara kecewa mengoyakkan mimpiku. "Kau tak pernah mengatakannya!"
Air mataku meleleh turun. Begitu pedih. "Sudahlah! Kita memang tak berjodoh!"
"Tapi.... aku mencintaimu!"
Entah aku harus marah dengan cara bagaimana, sementara kecewa mengoyakkan mimpiku. "Kau tak pernah mengatakannya!"
Air mataku meleleh turun. Begitu pedih. "Sudahlah! Kita memang tak berjodoh!"
"Tapi.... aku mencintaimu!"
Sudah sejak berangkat dari rumah perasaanku tidak enak. Apakah ini firasat? Akankah terjadi sesuatu? Terus terang aku takut. Aku takut jatuh. Aku takut pesawat yang kunaiki jatuh. Sebenarnya aku takut terbang. Apalagi berita tentang pesawat yang jatuh sudah beberapakali kudengar.
Begitu selesai pelajaran kedua para petugas memasukkan meja-meja lipat ke aula untuk merubahnya menjadi ruang makan. Itulah saat makan siang bagi para siswa Sekolah Lansia. Mereka membuka bekalnya dan kayaknya sudah jadi tradisi mereka bertukar lauk. Miss Anita ikut membuka bekalnya. Ia duduk di sebelah Kepsek, Ibu Kartika.
Panti werda itu terletak di tepi kota Semarang, dekat dengan sebuah komplek perumahan besar yang bisa disebut satelit kota. Menjelang pukul 8 pagi berdatangan orang-orang tua ke panti itu. Ada yang diantar oleh anaknya dengan mobil, ada juga yang diboncengkan motor. Ada yang masih bisa berjalan sendiri, ada yang sudah bertongkat, ada juga yang berkursi roda. Mereka bukan penghuni panti, tetapi para siswa Sekolah Lansia yang diselenggarakan oleh Panti Werda. Masuk pagi, pulang sore, lima hari dalam seminggu. Belum setahun sekolah ini sudah memiliki sekitar 30 siswa.
Aku terbangun. Seorang pria berdiri di depanku mengacungkan tangannya, mulutnya bersuara keras : "Dor...!" Dan dia tertawa terbahak-bahak. Dia merapat ke tempat tidurku dan menjabat tanganku, "Selamat datang di kehidupan kedua!"
Suatu hari kebetulan dia melihat anak tetangganya berangkat ke sekolah. Matanya melihat anak itu tidak mengenakan pakaian seragam dan hanya bersandal jepit. Tetapi hatinya melihat Yesus dalam diri anak itu, berjalan dengan kepala tertunduk ke sinagoge.
Ada siswi baru di kelasnya. Dia duduk sebangku dengannya. Anaknya pendiam bahkan tepatnya pengantuk terlebih bila jam-jam pertama sehingga kadang ia harus menyikut rusuknya agar terbangun. Setiap jam istirahat dia tak ikut keluar kelas sehingga suatu ketika dia bertanya, "Mengapa kamu tidak pernah keluar kelas waktu jam istirahat?"
Apek setelah anak-anaknya menikah tinggal berdua saja dengan istrinya di desa. Suatu hari ketika mencari kayu di hutan, saat menyeberangi jembatan batang kelapa, gara-gara jari-jarinya sudah kurus mengikuti tubuhnya, cincin kawinnya terlepas dan jatuh ke sungai. Dia sedih, sedih sekali, walaupun itu hanya dibuat dari tembaga tetapi melambangkan ikatan pernikahannya. Dia takut istrinya curiga bila dia pulang tanpa cincin kawin. Saking sedihnya dia menangis keras sekali dan suaranya mengganggu ketentraman surga.
"Kamu ini!" sergahku