Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Sekolah Lansia (2) - AFTER LUNCH TIME
Begitu selesai pelajaran kedua para petugas memasukkan meja-meja lipat ke aula untuk merubahnya menjadi ruang makan. Itulah saat makan siang bagi para siswa Sekolah Lansia. Mereka membuka bekalnya dan kayaknya sudah jadi tradisi mereka bertukar lauk. Miss Anita ikut membuka bekalnya. Ia duduk di sebelah Kepsek, Ibu Kartika.
“Semula, setelah acara makan siang acara sekolah sudah selesai. Ada yang langsung pulang, ada yang menunggu sore dijemput anaknya yang pulang kerja,” cerita Kartika kepada Anita yang dari Solo dan diutus gerejanya untuk mempelajari sekolah ini. “Sebetulnya, tujuan sekolah ini sederhana sekali, yaitu tidak meninggalkan lansia sendirian di rumah. Selain berbahaya bila ia mendadak sakit, juga bisa membuat mereka frustasi karena merasa kesepian atau tersingkir. Sekolah ini membuat mereka memiliki sebuah komunitas, walau kecil tapi akrab.”
“Lalu apa yang dikerjakan oleh yang pulang sore, Bu?”
“Panti werda menyediakan 2 bangsal dengan tempat tidur lipat bagi mereka yang mau tidur siang. Ada yang main karaoke. Dulu di ruang ini juga bisa karaokean dengan tivi kecil. Sekarang karaokenya pindah ke ruang depan panti werda dengan home theatre.”
“Wooow, sekolah ini kaya ya Bu,” bisik Anita.
“Hussh, itu sumbangan Bu Dokter,” jawabnya sambil jarinya menunjuk seorang tante berambut putih berbaju putih berwajah sumringah. “Dia yang memimpin tim die Angels keliling kampung memantau kesehatan anak-anak balita. Ketika kali pertama dia datang ke mari dia tak punya semangat hidup. Bahkan untuk berjalanpun malas sehingga memakai kursi roda. Kata anaknya, di rumah dia selalu bertanya kapan diabsen Tuhan. Sebuah peristiwa di sini telah merubahnya secara drastis sehingga anaknya menitipkan – dalam tanda petik – sebuah home theatre untuk karaokean.”
“Seorang dokter jadi siswa di sini?”
“Dia bukan dokter, tetapi masyarakat di sekitar panti ini memanggilnya Bu Dokter karena kiprahnya di bidang kesehatan masyarakat sekitar. Kisahnya panjang, nanti saya ceritakan. Mereka yang tidak tidur siang tidak karaokean, dolan ke kamar-kamar penghuni panti werda atau dolan ke panti asuhan di sebelah. Ada yang numpang tidur di terasnya, ada yang memberi bimbel, ada yang main gitar atau kibod bersama anak-anak panti. Panti werda juga menyediakan kebun-kebun mini untuk . . . .”
Bu Kepsek menghentikan ceritanya karena seorang lelaki tua menghampiri meja mereka.
“Bu Tika, ada sms dari RW 5, toa masjid mereka bermasalah dan minta saya melihatnya. Saya berangkat dulu saja. Nanti setelah selesai saya langsung bergabung dengan de Jumbo.”
“Silakan, silakan Pak. Tetapi kalau merasa capek pulang saja ke sini ya, jangan memaksakan diri.”
Lelaki tua menganggukkan kepala dan berjalan keluar ruangan. Di halaman sudah menunggu sebuah motor viar dengan supirnya.
“Kayaknya bapak ini pendiam dan tidak mudah berteman ya Bu,” kata Anita.
“Begitulah kesan orang yang baru mengenalnya. Di sini dia dijuluki de Mechanic Ranger karena lebih senang kerja sendirian. Tetapi tanpa dia tim de Jumbo bisa lumpuh.”
“de Jumbo?”
“Siswa di sini memang kalau memberi nama suka-suka saja. Tim itu berkeliling memberi penyuluhan dan bimbingan pemelihara ikan lele. Dulu mereka beri nama Dobel L, dari kata lele. Tahu-tahu kemudian berubah menjadi de Jumbo. Tim yang membimbing masyarakat membudidayakan tanaman organik punya nama de Bionik. Entah ‘gimana kaitannya.”
“Apa mereka tidak kecapaian?”
“Tugas mereka dalam tim keliling ini bukan keharusan. Stamina mereka sedang tinggi dan hatinya senang, mereka berangkat. Kalau malas, boleh absen. Yang utama di sini adalah kegiatan ini harus memberi kesenangan bagi mereka. Kesenangan berbagi. Rasa senang karena masih dibutuhkan orang lain. Rasa girang karena kehadirannya masih dinantikan.”
Seorang siswi menghampiri meja mereka. “Maaf ya Bu tika, saya mengganggu sebentar. Anak saya di Lampung tadi sms mengirimi saya video ulang tahun cucu saya. Saya minta tolong videonya didonlot biar saya bisa nonton bareng teman-teman di ruang karaoke.”
“Coba Mak Giok minta tolong sama Pak Daryat,” kata Bu Kepsek.
“Pak Daryat? Pak Daryat yang mana ya?”
“Itu, yang sedang ngakak-ngakak sama teman-temannya di depan komputer.”
“O itu. Itu ‘kan Fernando Sotosop.”
“Itu julukannya Pak Daryat.”
Setelah siswi itu pergi, Anita berbisik, “Fernando Sotosop? Apa dia mantan pemilik warung makan?”
“Maksudnya Photoshop. Pernah dia hampir saya DO gara-gara menggunakan komputer sekolah untuk pesbukan dan memasang foto-fotonya yang sudah diolah dengan program itu sehingga menimbulkan kesan dia duda tua kaya raya. Beberapa perempuan muda ke sini mencari dia. Saya jengkel, malu, sekaligus geli. Lalu saya panggil teman yang punya toko komputer untuk membuat komputer sekolah tidak bisa untuk internetan. Dia bilang begini. ‘Tika, kalau anakmu baru sekali naik sepeda lalu nyungsep masuk got mana yang kamu pilih. Merantai sepeda itu atau mengajarinya naik sepeda?’ Temanku lalu membawa 6 komputer baru untuk mengajari mereka main internet dan pesbukan. Itu komputer pinjaman tetapi sampai sekarang pemiliknya selalu lupa mengambilnya kembali. Kalau aku ingatkan dia selalu menjawab entar, entar, entar.”
Anita batal mengajukan pertanyaan berikutnya karena Pak Fernando melambaikan tangan ke arahnya. “Miss, coba lihat foto Miss Anita yang mau saya pasang di grup pesbuk Forever Young. Setuju ndak kalau yang ini.”
Bergegas Anita melangkah ke belakang kursi Pak Fernando. Di monitor dia melihat fotonya ketika tadi berdiri di depan kelas saat matanya mendelik sementara mulutnya tersenyum. Sekarang dia baru tahu mengapa tadi sewaktu mengajar beberapa hape diangkat tinggi untuk memotretnya.
“Boleh, boleh saja. Silakan Pak.”
“Nah, sekarang kita kasi tek. Ayo Kong Tjwan, pakai bahasa Inggris biar keren,” katanya kepada tetangga duduknya.
“Fer, kamu tulis begini. This is my teacher. You look she is beautiful very full. Don’t hurry hurry come here because she will angry if your age not yet 55 years. So you wait your turn please.”
“Itu Inggrisnya sudah benar, Kong?”
“Mau benar mau salah, yang penting yang baca ngerti maksudnya,” jawab Kong Tjwan sewot.
Pak Fernando menoleh ke arah Miss Anita, sepertinya minta pengesahan.
“Ya betul, betul, selama yang baca ngerti artinya, tulis saja,” jawab Anita sambil berusaha menahan tawanya.
(30.03.2014)
- Purnomo's blog
- Login to post comments
- 3697 reads
Lucu
Sy suka ceritanya lucu & asyik
Seperti pembalakan liar, dosa menyebabkan kerusakan yang sangat parah dan meluas. Akibatnya sampai ke generasi-generasi sesudah kita. Aku akan menanam lebih banyak pohon!
Singlish
Inggrisnya seperti Singlish :)