Sedih sekali, saat berkali-kali pertanyaan yang kuhadapi adalah pertanyaan yang serupa: kapan menikah? Bukan sedih karena belum menikah. Sedih karena mereka menanyakannya.
Aku orang yang cukup tahu waktu (bukan berarti selalu tepat waktu). Aku cukup berpikir untuk menentukan waktunya melakukan ini dan itu. Aku tidak tiba-tiba melakukan sesuatu dan tiba-tiba berhenti. Aku punya alasan untuk melakukan atau tidak melakukan ini dan itu.
Lama sebelum pertanyaan ‘kapan menikah’ itu, orang sudah mendesakku dengan pertanyaan sejurus, “Mana pacarmu?”
Senyuman setipis Monalisa menjawabnya, dengan pernyataan yang selalu kuucapkan dalam hati, “Aku tak akan pernah pacaran selama masih sekolah.”
Begitu kuliahku selesai dan aku terlihat sering keluar rumah dan menghabiskan berjam-jam di warnet, orang pun bertanya, “Bekerja di mana sekarang?”
Dengan menyesal segera kusadari, aku pengangguran! Tak punya pekerjaan yang menghasilkan uang. Cuma mondar-mandir ke warnet, untuk menghabiskan uang, bukan untuk menghasilkannya. Lalu kukirim lamaran pekerjaan ke beberapa perusahaan, tanpa niat yang sesungguhnya, cuma untuk sedikit menentramkan hati orangtuaku. Kukirim juga sebuah cerita pendek ke sebuah majalah remaja dengan pemikiran: siapa tahu bisa jadi penulis terkenal se-Indonesia Raya. Namun tulisanku dikirim kembali dengan catatan: tema kurang cocok untuk remaja. Aku sudah tahu sebelumnya. Aku tak pernah mengirim tulisan lagi ke media cetak manapun sampai sekarang.
Akhirnya aku mendapatkan pekerjaan. Bukan dari perusahaan ke mana kukirimkan lamaran. Tapi perusahaan itu yang melamarku. Melalui sebuah tempat kursus yang kuikuti di sela-sela waktu kuliah. Tanpa surat lamaran. Tanpa ijasah. Cuma wawancara dan tes yang sebenarnya tak seperti tes. Aku cuma disuruh mengetik, lalu diterima!
Sedih sekali, saat orang-orang di sekelilingku mulai menyodokku dengan pertanyaan, “Kapan menikah?” Kalau tidak bertanya, akan mencoba mengaturku dengan, “Kan sekarang kamu sudah bekerja, mau nunggu apa lagi kalau tidak cepat-cepat menikah?”
Bukan sedih karena belum menikah. Bukan juga sedih karena belum bertemu jodohku. Aku sedih untuk mereka, yang seakan tak pernah lelah menanyakan hal itu, sedih karena aku tak punya jawaban yang bisa menyenangkan mereka.
Lima tahun bekerja. Belum menikah. Belum punya calon. Betapa lebih galau hati orangtuaku. Apakah anak gadis mereka satu-satunya ini memang tak ingin menikah? Tapi aku cuma belum menikah! Dan aku tahu kapan akan menikah.
Tak ingin membuang waktu, kedua orangtuaku segera menodong teman lelakiku yang saat itu dekat denganku, supaya dia segera menikahiku, sekaligus menentukan waktunya. Teman lelakiku menyerah dan hengkang, karena dia tidak punya waktu untuk itu. Maksudku, dia tidak tahu kapan akan menikah. Sedangkan aku, kepadanya kubilang, “Aku sudah tahu kapan akan menikah, tapi aku belum tahu dengan siapa.” Lalu kami berpisah.
Lima tahun lebih bekerja. Waktunya untuk mengepakkan sayap dan terbang. Lagi-lagi sebuah perusahaan mencari orang sepertiku. Teman lelaki mengabarkan kesempatan ini. Aku hengkang. Ke tempat baru, jauh, asing, dan cukup menghiburku karena tak akan ada pertanyaan ‘kapan menikah’ lagi, karena aku akan mejadi orang asing di tempat itu.
Aku tahu, akan sangat mencintai tempat baruku, dan kukatakan dalam hati saat pertama kali duduk di kursi kayu jati menghadapi komputer kerjaku yang baru, “I love this place.” Meski tempat itu jauh dari keramaian kota, meski aku harus berjalan kaki di tengah sawah untuk mencapai tempat kerjaku, meski aku tak punya teman di tempat baru.
Aku bernafas lega setiap kali pulang kerja melewati hamparan padi yang sudah tinggi, yang seperti bersinar-sinar diterpa cahaya matahari, yang membuatku ingin berteriak meluapkan kegembiraan, juga setiap kali mendudukkan pantatku di tepi Brawa, pantai yang ombaknya membuat para peselancar tergoda untuk menaklukkannya.
Dan aku benar-benar lega, saat pertanyaan ‘kapan menikah’ itu habis masa berlakunya. Aku menikah pada waktunya, yaitu pada waktu yang memang kuinginkan, yang kukatakan kepada teman lelakiku saat akan berpisah dulu. Seorang teman yang melihatku pertama kali di kebaktian pemuda berdoa demikian, “Tuhan, jika dia yang menjadi jodohku, aku mau.” Aku menikah dengannya setelah empat belas bulan mencoba saling mengenal.
Lagi-lagi aku sedih, ternyata ada pertanyaan baru yang mengejarku. “Sudah isi belum?” tanya teman-teman dan para kerabat sambil menuding perutku. Mungkin tak seharusnya aku sedih. Tapi aku merasa demikian, karena mengingat perhatian besar mereka, juga harapan mereka untukku. Namun lebih dari itu, aku sedih karena cara mereka membuat urutan kehidupan. Lahir, tumbuh, sekolah, bekerja, menikah, punya anak, mantu, menimang cucu, dan....
Mungkin suatu ketika akan ada yang menanyakan ini kepadaku, “Kapan mati? Kamu sudah cukup lama hidup (dan berbuat dosa).”
Normal
0
false
false
false
MicrosoftInternetExplorer4
Normal
0
false
false
false
MicrosoftInternetExplorer4
st1\:*{behavior:url(#ieooui) }
st1\:*{behavior:url(#ieooui) }
/* Style Definitions */
table.MsoNormalTable
{mso-style-name:"Table Normal";
mso-tstyle-rowband-size:0;
mso-tstyle-colband-size:0;
mso-style-noshow:yes;
mso-style-parent:"";
mso-padding-alt:0cm 5.4pt 0cm 5.4pt;
mso-para-margin:0cm;
mso-para-margin-bottom:.0001pt;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:10.0pt;
font-family:"Times New Roman";
mso-ansi-language:#0400;
mso-fareast-language:#0400;
mso-bidi-language:#0400;}
/* Style Definitions */
table.MsoNormalTable
{mso-style-name:"Table Normal";
mso-tstyle-rowband-size:0;
mso-tstyle-colband-size:0;
mso-style-noshow:yes;
mso-style-parent:"";
mso-padding-alt:0cm 5.4pt 0cm 5.4pt;
mso-para-margin:0cm;
mso-para-margin-bottom:.0001pt;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:10.0pt;
font-family:"Times New Roman";
mso-ansi-language:#0400;
mso-fareast-language:#0400;
mso-bidi-language:#0400;}
Udah saatnya nanyain yg ini neh...
Kapan punya anak ree??? Ocha dah pengen punya adek noh... Eh kakak dink ya... :p