Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Malaikat Kecilku
Seperti yang telah kutulis sebelumnya, perjalananku ke Jakarta menghadiri FPPK kemarin adalah perjalanan keluar dari kotakku. Belakangan ini, tanpa kusadar aku benar-benar berada dalam zona nyamanku—karena satu dan lain hal. Dan berbicara tentang “Birds of a feather flock together”, akulah itu orangnya. Sebagai salah satu “birokrat” gereja, aku selalu pergi melaksanakan tugas ke luar Surabaya berombongan dengan petinggi-petinggi yang lain. Walaupun kami memang bertugas dan bukan sekadar “kunker” yang dibuat-buat, toh ada banyak kemudahan yang kutemui. Semisal ke Jakarta, transportasi dari dan ke Cengkareng sudah tersedia. Walaupun tak ada uang saku yang diberikan (ah, masak sih harus pakai uang saku segala?), tempat tinggal dan B/L/D (breakfast/lunch/dinner) sudah pasti tak perlu lagi kupikirkan.
Dan jika kuharus ke luar Surabaya untuk alasan di luar tugas gereja, semisal berkunjung ke rumah kerabat; para kerabatku akan memastikan aku mendapatkan semuanya dengan mudah. Setidaknya, suamiku akan memantau apakah semuanya oke...
Namun, ketika Ita Siregar—my buddy— yang adalah koordinator acara FPPK memberiku petunjuk bagaimana mencapai Museum Mandiri, tiba-tiba saja aku merasa sedikit gamang. Dia bilang, aku mesti naik Damri ke Gambir; dan dari sana aku harus melanjutkan dengan naik taxi: Bluebird group atau Express; jangan yang lain. Aku rada-rada bingung juga secara belum pernah naik Damri; tetapi, mengapa juga aku jadi nggak pede ketika mikir soal Bluebird? Gimana kalau aku salah pilih taksi? Ah, bukannya Bluebird juga yang selama ini kupilih kalau sopir kerabatku tak bisa mengantarku? Di Surabaya aku pelanggan Bluebird atau di Jakarta, dari Gading Kirana ke Kelapa Gading Mall; dari Kelapa Gading Mall lanjut ke Taman Anggrek Mall; dari Taman Anggrek Mall terus ke... (aku cukup menyebutkan hendak ke mana!)
Weleh, weleh...apa yang salah denganku? Ah, zona nyaman; itulah jawabannya.
Maka untuk menyingkat cerita, begitulah aku mengantri untuk check in konter citlink. Di depanku, mengantri juga seorang mbak yang cantik, dan fashionable. Aku suka kulitnya yang bening dan halus. Kami bertukar percakapan, dan setelah dia mendapat nomor kursi, kami berpisah. Ternyata, dia pergi mencari sarapan, dan aku memilih masuk ke lounge.
Sementara menunggu boarding, aku terus bertanya, “Apa yang salah denganku?” Sampai ke Indonesia Timur pun aku pernah melangkah sendirian, walau umurku waktu itu baru belasan. Ya, walau sudah tahu, masih pula aku bertanya. Zona nyaman. Dari tadi itulah masalahnya.
Namun tiba-tiba, ada sesuatu yang berbicara di dalam perasaanku, “Nah, bagaimana kalau kuberi kau sebuah pengalaman baru? Bagaimana kalau kau coba mengalami seperti testimoni-testimoni orang yang mendapatkan pertolongan secara tak terduga? Bagaimana kalau ada yang memberimu tumpangan?” Ha? Apa bener, nih? Masalah mencapai tempat tujuan kan sesuatu yang kasat mata; walaupun aku sedikit rada merasa tak nyaman, tetapi pastilah bisa kuatasi. Namun, jika memang aku bakal mengalami layanan yang tak terduga, wah...itu akan menjadi suatu kemewahan juga. Tetapi, bagaimana itu bisa terjadi? Nggak kebayang, deh.
Ketika aku sudah duduk di pesawat, mbak yang cantik itu berjalan di lorong melewatiku. Dia menyapaku lagi dan berkata, “Kursiku di belakang”.
Dan ketika aku sudah turun pesawat serta berjalan menuju pintu keluar bandara, aku masih bertemu dia lagi, yang sedang duduk dan kelihatan sebuk menelepon. Aku pun ikut duduk di sampingnya, dan juga mengeluarkan selponku, bermaksud menelepon Ita. Lalu mbak yang cantik itu bertanya, “Mau ke mana?”
“Ke kota” jawabku.
“Oh, rumahku juga di kota. Kita bareng aja, kalau gitu,”
Bareng? Tetapi aku tidak mengenal dia. Apakah dia mempunyai maksud yang buruk?
Kuamati dia baik-baik; mentalku menganalisa dia.
Well, rasanya tak ada salahnya kucoba. Ayo, ini pengalaman baru. Barangkali akan menyenangkan juga petualangan ini. Semoga dia tak berbuat yang aneh-aneh nantinya.
“Oh, Oke,” kataku kepadanya. “Kita mau naik apa? Taksi? Kita share aja nanti, ya?” Lalu aku beranjak mendekati konter taksi di dalam bandara. Namun, dia mencegahku. “Nggak usah,” katanya, “Kita cari di luar aja. Lebih murah.” Dia tahu sejenak aku ragu. “Tenang aja,” lanjutnya. “Aku ini orang Jakarta!”
“Ah, baiklah,” kataku di dalam hati, “Kita lanjutkan permainan ini.” Tetapi sebelumnya, kutelepon Ita. Kukatakan padanya, aku tak perlu dijemput di Gambir. Aku akan langsung ke tempat acara. Di ujung sana, kudengar suara Ita sedikit tegang, “Loh, naik apa?” Kujawab, “Naik taksi,” Kurasakan suara Ita semakin menegang, “Dengan siapa?” Kujawab lagi, “Dengan teman” Kali ini kurasakan suara Ita berubah menjadi kuatir, “Teman siapa?” Nah, aku bingung menjawabnya secara aku belum tahu siapa nama si mbak yang cantik itu. “Ya, pokoknya temanlah, “jawabku kehilangan akal. Sekarang suara Ita terdengar pasrah, “Ya udah, deh...hati-hati ya...”
Mbak yang cantik itu keluar dari bandara dengan pede. Dia mendekati seorang petugas dan mengatakan dia butuh taksi Bluebird. Ketika petugas itu menanyakan namanya untuk dicatat, aku mendengar dia menyebutkan namanya: Kristin (atau Christine?) Kepada sopir taksi Kristin mengatakan tujuannya, yaitu ke kota, tetapi dia minta untuk ke Museum Mandiri dulu. Lalu dia dengan tegas memberikan arahan kepada sopir mengenai jalan-jalan yang harus dilewati.
Rasanya aku masih separuh tidak percaya bahwa aku melakukan hal ini (melakukan naik taksi dengan orang yang tak kukenal sebelumnya). Namun tak urung juga aku berusaha “breaking the ice” dengan banyak bertanya kepadanya. Wah, ternyata dia seorang make-up artist. Pantas, dia cantik dan riasan wajahnya sempurna.
Sementara asyik bercakap-cakap, tiba sopir taksi bertanya apa jadi ke Museum Mandiri dulu, karena jika harus ke pintu masuk Museum Mandiri, maka taksi harus memutar dulu. Kristin menjawab bahwa tak masalah memutar asal “cici” bisa turun di depan pintu Museum. Wah, sekarang aku jadi sungkan telah merepotkan. Maka aku meminta diturunkan di situ saja supaya taksi tak perlu memutar lagi seraya aku mengangsurkan uang pembayar ongkos taksi. Kristin menolak uangku—benar-benar menolak—sambil mengatakan bahwa jika seandainya tidak ada aku pun, dia tetap harus membayar ongkos taksi. Maka akupun bersegera turun sambil mendengarkan arahan pak sopir taksi yang juga baik hati, “Ibu, nanti masuk ke pintu itu, ya....lalu jalan terus ke arah kanan, sampai ketemu tangga ke halte busway. Dari sana ambil jalan turun ke arah terowongan. Masuk terowongan, lurus terus...lalu nyabrang...nah setelah itu langsung, deh di depan mulut Museum Mandiri...”
Aku berusaha sebisa-bisanya mematuhi arahan pak sopir. Wah, ternyata ini bukan seperti turun dari pesawat di Bandara Changi, naik MRT ke orchard, turun lalu mengambil jalan ke underpass yang sejuk menuju ke tempat yang kita tuju. Underpass alias terowongan yang kulalui becek dan jalan menuju ke sana dipenuhi banyak pedagang kaki lima, tukang ojek dan entah siapa lagi...yang di antaranya memanggil-manggil aku: “Cik...cik...sini...” (Beda sekali dengan cara Kristin memanggilku! Hahaha....). Kubayangkan tampangku pasti seperti turis nyasar, berjalan tergesa sambil menyeret kopor...
Syukurlah, akhirnya aku memang benar-benar sampai di depan pintu Museum Mandiri. Aku bertemu dengan Ita dan sempat berpotret dengan Ayu Utami.
Akhir perjalanan? Belum. Masih ada cerita lain lagi.
Namun sementara ini kusimpulkan, bahwa Tuhan mengirim Kristin sebagai malaikat kecil untuk memberiku pengalaman baru. Kristin membawa pesan bahwa Tuhan itu sayang kepada anak-Nya. Sebetulnya, aku tak perlulah ditolong sampai segitu-segitunya; cepat atau lambat aku akan menemukan jalanku ke Museum Mandiri. Namun toh aku ditolong-Nya. Ya, aku memang harus belajar bahwa tak baik berlama-lama berada pada zona yang nyaman.
"I do not try to dance better than anyone else. I only try to dance better than myself." - Mikhail Baryshnikov, ballet dancer
- martha pratana's blog
- Login to post comments
- 3134 reads