Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Menyelamatkan Seorang Teroris
"Berapa lama kamu bisa kerjakan?"
"Kasih saya waktu enam bulan."
Jawaban tersebut sudah saya pikirkan selintas.
Pasti akan ditawar lebih rendah.
"Empat bulan." Tegasnya.
Benar, tepat seperti apa yang saya sudah bayangkan.
Jakarta, September 2002
Aku ada di dalam sebuah ruangan. Berisi orang-orang yang membahas sesuatu yang kelihatannya penting. Soal menyangkal dana yang selama ini mereka dapatkan dari luar negeri.
"Gak bisa begitu. Nanti kita gak bisa dapat dana lagi." Kata seorang lelaki gendut dan kumisan, wajahnya tidak asing lagi kalau sering menonton televisi.
"Justru itu, pak. Kalau kita bikin demo anti Amerika, orang akan menyangka bahwa organisasi kita adalah organisasi mandiri, organisasi nasionalis yang anti paham kapitalis." Kata seorang lelaki muda, klimis dan memiliki jam Rolex di tangan kanannya.
Aku hanya tersenyum mendengar perdebatan mereka. Beberapa orang lain hanya terlihat mengangguk, entah mengerti atau takut membuka mulut nanti bisa dianggap bodoh oleh pemimpin mereka.
"Bagaimana pendapatmu?" Tanya si pemimpin.
"Saya setuju usulan tentang bikin demo dan kelas-kelas anti Amerika. Toh donatur juga akan tahu kalau itu hanyalah taktik belaka kalau kita jelaskan terlebih dahulu."
Orang yang aku setujui usulannya tersenyum lebar. Hidungnya kembang kempis. Tampak sekali dia membutuhkan dukungan. Aku balik tersenyum.
"Baiklah kalau begitu. Kalian atur gimana caranya, seperti biasa."
Rapat akhirnya bubar satu jam kemudian. Satu jam lebih lama dari yang aku perkirakan.
Tidak ada yang curiga sampai detik ini kalau aku bukan salah satu dari mereka.
Aku pikir kasihan orang-orang yang sudah berjiwa nasionalis dan anti Amerika atau Barat, termakan oleh propaganda organisasi ini. Kalau mau melawan, melawanlah dengan cara yang tepat. Jangan yang di kiri dilawan, dan yang kanan juga dilawan. Punya kemauan tanpa kemampuan sama saja bohong. If you can't beat them, join them.
Ah, itu hanya onani pikiranku semata.
Solo, Januari 2003
Aku berkenalan dengannya setahun yang lalu. Mengikutinya kemana pun dia pergi selama beberapa minggu. Bahkan beberapa kali membantu menyusun bahan-bahan ceramah yang akan dikotbahkannya. Dan kali ini aku bertemu dengannya lagi.
"Kamu tahu, dik, Indonesia ini tidak seharusnya menjadi negara Republik."
"Tahu, pak. Kakek saya juga pernah bilang begitu."
Aku tidak berbohong. Kakekku tidak setuju dengan paham barat. Dia ingin Indonesia seperti negara-negara Asia Timur lainnya.
"Betul itu. Sejarah hanya mencatat soal itu secara malu-malu. Bahkan hanya sebagian saudara-saudari kita yang percaya cerita yang kita sebarluaskan."
Tentu aku tahu. Kakekku kekiri-kirian. Kalian kekanan-kananan. Tapi dia tidak tahu apa yang aku tahu.
Aku kembali hanya menggerakkan kepalaku ke atas dan ke bawah.
"Sutan Sjahrir pun harus termakan omongannya sendiri. Sudah saya bilang paham sosialis tidak akan pernah bisa tumbuh berdiri di Nusantara. Bahkan Sukarno melemparkan dia ke penjara sampai akhirya dia terpaksa mati di pembuangan di Zurich."
Aku hanya menganguk-angguk. Tahu apa kamu tentang Sjahrir, pak?
"Bapak memang hebat. Punya banyak pengetahuan luas." Kataku menjilatnya sampai kering.
Aku berbohong.
Dan dia tersenyum lepas menepuk-nepuk pundakku.
"Kamu masih muda. Bisa menggantikan saya. Bahkan bisa menjadi seperti Seikh kita di Afghanistan."
Dia menyebutkan namanya.
Aku kembali mengangguk. Kedua tangan orang yang ada di depanku ini, sekalipun dicuci ratusan kali, tetap akan bersimbah darah banyak orang di negeri ini.
Los Angeles, Maret 2003
Setelah hampir satu jam aku menungu di sini, akhirnya aku mendapatkan sebuah pesan. Isinya pendek: "Target is to be eliminated. Before August 17."
Kenapa mesti tanggal 17? Bukankah itu hari penting, setidaknya di seberang lautan sana?
Dua kosong enam. Aku tekan angka-angka tersebut. Bertanya siapakah yang mengirimkan pesan ini.
"Aku tidak tahu." Kata orang di ujung sana.
Belum pernah nama seorang S.A dirahasiakan dariku selama ini. Toh aku juga bukan pegawai tetap, hanya pemain cadangan. Aku seorang C.A dan membutuhkan nama S.A. Sesuatu yang wajar dan sering terjadi di dalam.
"Berikan aku kode orang itu."
Kalau nama asli tidak diberikan. Biasanya kode nama akan diberikan.
"Siap?"
Aku tentu saja siap. Kode biasanya tidak panjang.
"El - ei - uhr - ei ..."
"OK. Saya sudah dapatkan."
"Saya belum selesai .."
Loh. Saya pikir hanya empat huruf.
" ... - ess - ei - tee - ai." Lanjutnya lagi.
L . A . R. A. S. A. T. I
Aku terdiam.
Kepalaku tiba-tiba terasa agak pening.
"Sudah dapat? Kalau belum saya ulangi lagi."
"Tidak usah. Saya sudah dapat."
Aku tidak kenal banyak orang yang bernama seperti nama itu. Bukan itu yang aku pikirkan. Tapi kode yang diberikan itu adalah nama berbau Indonesia. Siapa dia?
Juli 2003
"Bapak harus pergi sekarang."
"Tapi kamu lihat sendiri kan, sudah dua orang anak buah saya ternyata mata-mata pemerintah. Berkicau semuanya begitu ditangkap."
Yang satu orang sudah keburu diciduk oleh Jakarta. Yang satu lagi malah berusaha menggorok dia sewaktu dia sedang tidur. Dan semuanya itu terjadi bulan lalu.
"Itu sebabnya menurut saya pak, yang rencana untuk Indonesia sebaiknya ditunda dulu. Bukankah yang di Bangkok lebih penting."
Dia terdiam.
Dia menatap mataku.
"Mungkin kamu benar. Kalau yang di Bangkok berhasil, Insya Allah untuk tahun depan kita bisa lebih besar lagi efeknya kita buat."
"Insya Allah." Kataku sambil tersenyum dan menjabat tangannya.
Insya Allah, semoga tidak ada lagi darah yang tertumpah. Bisikku dalam hati.
Satu jam lagi dia masih ada di sini, darah akan tertumpah. Dan pastinya bukan darahku. Cepatlah pergi, pak.
17 Agustus, 2003
Aku kembali ke kotaku. Membawa beberapa map yang tebal, dan melemparkannya ke atas meja.
Semuanya berantakan.
"Ada yang mau berbicara denganmu." Kata seorang pegawai di situ.
"Siapa?"
"Lara." Katanya singkat.
Aku terhenyak.
"Why did you not listen to me?" Suaranya langsung membentak di sana.
"Why? Because my protocol is not to kill anybody!'
"Look what happened. If you had killed him, no more innocent people would have to be killed."
"If I had killed him, he would have became a martyr for them. Don't you understand?" Aku setengah berteriak. Beberapa orang di ruangan itu melihatku.
"It's not your business."
"Are you Indonesian?"
"I beg you pardon ..?" Ya ya ya. I beg your pardon my ass.
"Begini yah. Saya tidak pernah meminta tugas ini. Begitu banyak tangan terlibat, dan saya hanya sebutir pasir di lautan. Lihat, begitu dia bergerak di Thailand, semuanya sudah menunggu untuk menangkapnya. Dan kamu. Kamu sekarang lagi dekat dengan anak salah satu pejabat paling penting di sana. Kamu ada rencana menikahinya, kan?"
Tidak ada jawaban di sebelah sana. Tapi telepon tidak ditutup.
"Ini siapa?" Tanyanya dengan hati-hati.
"Nobody." Jawabku singkat.
"Tolong jawab pertanyaan saya ..."
"Kamu bisa berusaha membuka identitas saya. Tapi begitu kamu berhasil melaksanakannya, rencana kamu untuk tahun-tahun ke depan akan hancur berantakan karena otomatis identitasmu akan terbuka. Bagaimana?"
Tentu identitas diriku tidaklah dia rasakan sama harganya dengan kerja kerasnya selama ini untuk proyek sepuluh tahun ke depan.
Dia menghela nafas.
Aku menutup telepon. Aku tahu apa yang dia akan jawab.
Dunia ini ternyata begitu sempit.
Dia yang dari dulu kedua orangtuaku sering membicarakannya bahkan sesekali menjodohkannya denganku. Dia yang aku sangka biasa saja, ternyata bisa bergerak jauh melebihi perkiraanku. Dia yang suaranya sering aku dengarkan di radio di kota tempat aku sekolah dulu, ternyata warna suaranya masih belum berubah.
Aku tertawa di dalam hati. Bisa jadi dia juga berpikir tentang hal yang sama mengenai diriku. Diriku yang suka mengangguk-angguk. Diriku yang memakai kacamata dan sering menunduk kalau berbicara dengan orang lain. Itu juga kalau dia tahu siapa diriku sebenarnya.
- PlainBread's blog
- Login to post comments
- 3538 reads
puzzle
I like puzzle.
Membaca tulisan ini seperti mengumpulkan pecahan-pecahan gambar, keping demi keping.
salam hangat,
rong2
@Rong saya juga suka
Saya juga suka puzzle.
Paling kesal kalo sudah hampir terkumpul semuanya, ternyata ada keping yang hilang.
Atau kalau keping yang kita rasa cocok dan masuk, ternyata bukan keping yang tepat sehingga mengacaukan seluruh puzzle.
@PlainBread puzzle
Lho bukannya lebih menarik kalo puzzlenya tidak engkap ya?
Ada efek unfinished. Kayak cerita-cerita kasih tak sampai, atau surga yang hilang. Seseuatu yang tidak selesai, kan malah asik. Memberi kesempatan ke pembaca untuk melanjutkan cerita sendiri sendiri?
Dari jurang yang dalam aku berseru kepadaMu, ya Tuhan! Tuhan, dengarkanlah suaraku!
Bread, spelling...
Tadi baca ampe setengah tadi, pas spelling...
"El - ei - uhr - ei ..."
trus sambungannya :
"Si - uhr - ow - ef - ti "
L-A-R-A-C-R-O-F-T
Ngirain ini fiksi... :D
@Min Maunya sih begitu
Maunya sih begitu, Lara Croft :D. Iya. Ini fiksi. Beneran. Sungguh. Tolong, kali ini percayalah.
Hehe.
:D
Baiklah, min percaya. :D
For not important one, i hate laracroft. I dun like the girl who played as Laracroft.
PB, happy birthday..
Kenapa mesti tanggal 17? Bukankah itu hari penting, setidaknya di seberang lautan sana?
Kenapa mesti tanggal 17? bila tanggal 21, pasti ku lakukan untuk mu ;)
happy birthday PB.. ada roti tawar untuk kue ultah...
@PB, makan bihun dicampur semur
selamat ulang tahun, semoga panjang umur
salam hangat,
rong2
telgram
:: selamat ultah::