Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

"Mendambakan" Firman Tuhan (Gali Kata Alkitab dalam Tinjauan Tulisan Ibrani Kuno)

Hery Setyo Adi's picture

Kata “mendambakan” diterjemahkan dari kata Ibrani y’b (disusun dari huruf-huruf Ibrani Yod-Alef-Bet; dapat dibaca yaab), yang diturunkan dari akar-kata induk ’b (Alef-Bet). Dalam piktograf Ibrani kuno, huruf Alef adalah lambang kekuatan, sedangkan huruf Bet adalah lambang tenda. Gabungan dua gambar tersebut berarti “kekuatan rumah.” 

Tiang tenda atau rumah menyangga tenda atau rumah itu agar tidak roboh, sebagaimana peran bapak menyangga keluarga atau rumah tangga. Jadi makna “mendambakan” sangat penting seperti tiang penyangga yang menjadi sumber “kekuatan rumah” itu, atau kekuatan seorang bapak yang menjadi penopang utama dalam keluarga agar tetap berdiri. Seorang yang “mendambakan” sesuatu pasti ia mengumpulkan segenap tenaga atau kekuatan untuk mendapatkannya.

Mendambakan Firman Tuhan (Mazmur 119:129-136)

Mazmur 119:131: “Mulutku kungangakan dan megap-megap, sebab aku mendambakan perintah-perintah-Mu.”

“Mulutku kungangakan dan megap-megap”, itulah ungkapan dramatis Pemazmur sebagai ekspresi kesungguhannya dalam mendambakan perintah Tuhan. Dalam bagian ayat 129-135, beberapa istilah dipakai untuk menunjuk maksud yang sama, Taurat Tuhan (bandingkan ayat 136), yaitu: peringatan-peringatan (ayat 129), firman-firman (ayat 130), perintah-perintah (ayat 131), janji (ayat 133), titah-titah (ayat 134), dan ketetapan-ketetapan (ayat 135).

Mengapa ia sampai pada tingkat pendambaan seperti itu?  Dalam ayat 129 Pemazmur menyatakan bahwa peringatan-peringatan Tuhan itu ajaib. Dalam ayat berikutnya (ayat 130) tertulis, bahwa bila firman Tuhan itu tersingkap, ia memberi terang dan pengertian kepada orang-orang bodoh. Keajaiban, terang, dan pengertian itulah yang membuat Pemazmur mendambakan perintah-perintah Tuhan itu, sehingga “jiwanku memegangnya” (ayat 129).

Bagi Pemazmur, pemahaman tentang firman Tuhan itu ternyata tidak hanya pengakuan bahwa firman itu ajaib. Rasa empatinyapun terbangun tatkala ia melihat orang tidak berpegang kepada Taurat Tuhan itu. Ia menangis. Tulis Pemazmur: “Air mataku berlinang seperti aliran air, karena orang tidak berpegang pada Taurat-Mu” (ayat 136).

Dengan demikian ada alasan mendasar bagi sang Pemazmur “mendambakan” firman Tuhan, bahwa firman Tuhan itu ajaib, memberi terang, dan pengertian, serta membawanya rasa empati kepada orang lain.  Mendambakan firman menjadi kekuatan jiwa sang Pemazmur, karenanya jiwanya memegangnya.

Implementasi

Seorang nenek yang berusia sekitar 70 tahun di kampung saya di Salatiga, Jawa Tengah, tidak dapat membaca tulisan satu katapun, karena ia buta huruf. Namun karena kerinduannya untuk dapat  mengerti firman Tuhan, ia belajar membaca sendiri pada usia yang tua renta. Saya melihat sendiri usahanya itu. Ia mengerahkan tenaga dan pikirannya untuk belajar membaca. Setiap hari, ia menghabiskan waktu berjam-jam untuk belajar membaca Alkitab. Pada mulanya, ia mengeja tiap huruf dalam setiap kata di Alkitab. Akhirnya, setelah menghabiskan waktu beberapa tahun, ia lancar membacanya. Sekarang, ia tidak dapat membaca Alkitabnya lagi karena pandangannya kabur.

Nenek itu memiliki dambaan yang kuat, sehingga usahanya itu dilakukan dengan sekuat tenaga. Dambaan itulah yang menjadi penopang kekuatannya. Saya rasa, bukan sekedar karena ia memiliki dambaan, tapi ia memiliki dambaan yang tepat, yaitu firman Tuhan. Karena dambaan itulah ia mengumpulkan segenap daya dan upaya, sehingga ia mampu mencapainya, yaitu dapat membaca firman Tuhan sendiri.

Sudahkan saya dan Anda memiliki dambaan yang tepat, yaitu firman Tuhan? Jika kita tidak mendambakannya, maka kita tidak akan menikmati firman Tuhan itu. Mendambakan firman Tuhan berarti memiliki kekuatan penopang untuk senantiasa memegangnya.

Sudahkah saya dan Anda memiliki alasan yang tepat untuk mendambakan firman Tuhan itu? Apakah kita sudah mengalami keajaibannya, terangnya, dan pengertian yang disingkapkannya?

Kalau kita sudah menikmati semua itu, apakah kita juga akan memiliki empati kepada orang lain yang tidak memegang firman Tuhan? 

(Artikel ini ditulis oleh Hery Setyo Adi, yang menggunakan rujukan dari berbagai sumber)