Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Bank dalam Gereja (2)
“Nep (=keponakan), apa menabung di Tasipa lebih menguntungkan daripada di bank?” tanya Oom Kritis sambil melihat selembar kertas yang berisi rincian transaksi tabungan miliknya, bunganya dan SHU-nya yang saya berikan pada akhir semester 1. Walau ia pernah menjadi provokator sehingga Tasipa mengalami rush, saya tidak sakit hati. Bukan dikarenakan saya orang Kristen yang baik, tetapi dikarenakan pengetahuan man management yang menganjurkan memanfaatkan para provokator atau informal leader untuk kepentingan kita.
“Menurut perhitungan saya lebih menguntungkan. Bank memberi bunga tabungan 2% setahun, paling tinggi 3%. Ini berarti kalau tabungan kita ada 500 ribu maka bunganya 15 ribu setahun atau 1.250 sebulan. Setiap bulan bank mengenakan biaya administrasi sebesar 10 ribu rupiah. Jadi bunga 1.250 dikurangi biaya administrasi 10.000, maka tabungan Oom susut 8.750 rupiah setiap bulan. Di Tasipa tidak ada biaya administrasi. Jadi misalnya tabungan Oom 500 ribu rupiah dan selama setahun tidak ada orang yang meminjam uang Tasipa sehingga tidak ada SHU dan Tasipa tidak memberi bunga 5.5% - 6.0% setahun, tabungan Oom tidak susut.”
Banyak orang tak menyadari bahwa bank sekarang tidak memperhatikan orang yang tidak punya uang banyak. Tidak sedikit pejabat negara yang mendorong-dorong rakyat kecil untuk menyimpan uangnya di bank, tidak di bawah bantal. Biaya administrasi 10.000 rupiah itu anggap saja ongkos menyimpan dan menjaga uang mereka dari pencuri. Keponakan saya pernah terbingung-bingung setelah setahun membuka rekening tabungan dan akan menyetor uang untuk kedua kalinya, ternyata rekeningnya sudah diblokir. Simpanan perdananya 50.000 rupiah. Ia tidak tahu jika setiap bulan simpanannya itu dikurangi biaya administrasi sebesar 10.000 rupiah.
Untuk mempertahankan uang yang kita simpan tidak menyusut, paling tidak kita harus mempunyai tabungan sebesar 6 juta rupiah. Bunga 2% setahun akan memberi keuntungan 120 ribu rupiah setahun atau 10 ribu rupiah sebulan. Dipotong biaya administrasi 10 ribu rupiah setiap bulan. Klop, impas!
Inilah the main selling point of Tasipa: tabungan untuk orang kecil tanpa biaya administrasi dengan bunga lebih tinggi daripada di bank.
- o -
Seorang nenek bercerita, “Saya senang gereja mengadakan tabungan. Saya ini pelupa. Kalau anak saya hari ini memberi uang, besok kalau uang itu tidak ada saya tidak tahu mengapa tidak ada. Apa dicuri cucu saya, apa habis karena saya buat jajan, apa terselip. Kalau uang itu masih ada, saya cepat-cepat menggunakannya untuk jajan agar tidak kedahuluan cucu. Sekarang begitu dapat uang, saya selipkan dalam Alkitab. Hari Jumat saya setor ke mari.”
Apakah nenek ini tidak sayang kepada cucunya? Suatu ketika dia menarik uang 50 ribu rupiah. Karena itu pertama kalinya dia menarik uang, saya bertanya, “Lima puluh ribu rupiah untuk apa?”
“Hari ini cucu saya ulang tahun. Dulu kalau anak saya ulang tahun saya masakkan yang enak-enak. Sekarang saya tidak kuat memasak. Uang 50.000 ribu ini mau saya habiskan beli masakan tio ciu buat cucu saya biar dia senang.”
Nenek lain membuat saya kaget karena menyodorkan uang 600 ribu rupiah.
“Banyak banget? Ini uang dapat dari mana?”
“Keponakan saya yang di Jakarta datang. Dia yang memberi uang untuk makan saya sehari-hari. Biasanya dia menitipkan pada keponakan saya yang tinggal di Semarang. Lalu saya ke sana mengambil seminggu sekali. Tapi setelah saya cerita gereja mengadakan tabungan, dia menyuruh saya menyimpan di sini agar tidak repot berjalan jauh.”
Nenek ini tinggal di perkampungan kumuh seorang diri tanpa suami tanpa anak. Sering dia bercerita uang dan barangnya hilang dicuri tetangga. Adanya Tasipa telah memberi keuntungan baginya. Uangnya tersimpan aman dan ia tidak perlu berjalan jauh ke rumah keponakannya. Setiap Jumat dia menarik uang 25 sampai 30 ribu rupiah untuk belanja selama seminggu.
Dua nenek ini tidak menaruh perhatian terhadap bunga atau SHU. Baginya cukuplah Tasipa menjadi tempat aman untuk menyimpan uang mereka.
- o -
Seorang tante menyerahkan uang 100 ribu rupiah sambil berkata, “Saya mau menabung 100 ribu setiap bulan. Tolong kalau saya lupa diingatkan ya.”
“Tasipa bukan arisan, Tante. Jadi kalau tidak ada uang ya jangan dipaksakan. Masa saya harus mengingatkan. Nanti malah orang-orang mengira Tante punya hutang.”
“Begini. Saya hidup sama anak perempuan dan menantu. Setiap tahun kami berpindah-pindah rumah kontrakan yang sewanya sekitar 2.5 juta setahun. Saya ingin membantu mereka. Jadi kalau akhir tahun tabungan saya ada 1 juta rupiah, beban mereka tidak terlalu berat.”
Baginya Tasipa membantu mereka melaksanakan rencana masa depan. Ada yang menabung dalam jumlah tetap setiap minggu agar pada bulan Juli bisa untuk membantu membayar uang gedung sekolah cucunya. Ada yang rajin menabung karena ingin sekali mengganti tivinya dengan yang lebih lebar. Adanya Tasipa telah mengurangi hasrat konsumtif mereka karena sekarang mereka bisa bercita-cita membeli sesuatu dengan menyimpan uang di Tasipa.
- o -
Tetapi ada juga yang memanfaatkan Tasipa untuk berdagang. Hari itu saya bertengkar dengan seorang Tante.
“Aku butuh uang untuk mereparasikan tiviku!” katanya dengan nada tinggi karena saya tidak mau meminjamkan uang. Dia tinggal di kamar kos sendirian.
“Sementara ini numpang nonton tivi orang lain dulu,” jawab saya.
“Aku tidak mau!”
“Begini Tante. Setiap selesai melunasi hutang, langsung Tante hutang lagi. Yang Tante lunasi hari ini adalah pinjaman yang keempat. Harusnya antara 2 pinjaman ada waktu selang 1 bulan,” kata saya sambil membuka buku tabungannya dan memperlihatkan aturan tertulis itu.
“Tidak bisa. Kemarin-kemarin bisa mengapa sekarang tidak bisa.”
“Itu namanya dispensasi. Dan dispensasi tidak boleh terus menerus.”
“Jadi, aku tidak bisa pinjam lagi?”
“Tunggu 1 bulan dulu.”
“Aku keluar. Aku ambil semua tabunganku.”
“Boleh,” jawab saya dan memberikan saldonya yang 50 ribu rupiah. “Lima puluh ribu rupiah untuk reparasi tivi ‘kan cukup?”
Dia tidak menjawab. Buku tabungannya ditinggal di meja saya karena dia tidak akan mau menabung lagi. Empat tahun kemudian saya bertemu dengannya ketika mengunjungi sebuah panti werda di Salatiga. Dia ingat nama saya. Lalu ia bertanya mengapa dia ingat nama saya tetapi tidak ingat di mana pernah bertemu saya. Saya hanya tertawa. Masa saya harus menjelaskan bahwa saya pernah menyakiti hatinya sehingga dia ingat terus nama saya.
Tante yang lain juga rajin meminjam. Anehnya, pinjaman yang harusnya baru lunas pada minggu ke-22 bisa dilunasinya jauh sebelum jatuh tempo asal saya mau segera memberi pinjaman baru. Dia bisa melunasi pada minggu ke-10.
Ketika pertama kali meminjam dia menjelaskan uang itu untuk tambahan modal dagang anaknya yang menjajakan roti dengan sepeda. Saya berpesan kepadanya agar anaknya datang ke rumah teman saya yang bisa membantu mereka yang ingin mengembangkan usahanya. Tetapi anaknya tak pernah berkunjung. Setiap saya menanyakan sebabnya selalu saja Tante ini kesulitan mengarang jawaban.
Setelah 4 kali meminjam saya menunda pinjaman berikutnya selama 1 bulan. Dia setuju saja dan tidak marah.
Saya mencurigai dua tante ini telah meminjamkan kembali uang Tasipa dengan bunga tinggi kepada tetangga-tetangganya. Di lingkungan dua orang ini tinggal bunga pinjaman berkisar 5% seminggu. Hari ini kita pinjam 100 ribu rupiah, minggu depan harus dikembalikan sebanyak 105 ribu rupiah. Ini saya ketahui karena saya punya hobi mengunjungi mereka dan berbincang tentang apa saja. Mereka tak tahu informasi yang diberikan tersimpan rapi dalam otak saya.
- o -
Nasabah Tasipa bukan orang kecil saja tetapi ada yang datang ke persekutuan lansia naik mobil. Seorang dari mereka sudah 6 bulan tidak datang ke persekutuan padahal saldo tabungannya ada sekitar 400 ribu rupiah. Tim perkunjungan memberitahu tante ini tidak bisa lagi datang karena harus menjaga suaminya yang kena stroke. Saya pergi ke rumahnya untuk mengembalikan tabungannya karena itu termasuk dalam ketentuan yang berbunyi: “keanggotaan Tasipa gugur apabila ybs tidak hadir dalam persekutuan lansia berturut-turut selama 6 bulan.”
Setelah menandatangani formulir tanda terima, tante ini menyodorkan kembali uang yang saya serahkan. “Saya menyumbangkan uang ini untuk Tasipa.”
Dia menjelaskan bahwa dia menabung bukan agar bisa meminjam, tetapi untuk membantu saya. Dia tahu apabila semua penabung serentak meminjam, maka saya harus mempergunakan uang pribadi saya. Kemudian segala resiko kerugian harus saya tanggung sendiri.
Saya terharu. Ternyata diam-diam ada orang yang berempati terhadap ‘penderitaan’ saya.
Saya berterima kasih atas perhatiannya tetapi saya minta dia sendiri yang memasukkan ke kantong kolekte pada ibadah Minggu dalam sebuah sampul yang ditulisi “untuk Tasipa.”
Tidak banyak, tetapi ada yang memanfaatkan Tasipa untuk ikut menolong orang lain.
- o -
Saya gerah melihat uang Tasipa menganggur. Ketika saldo mulai mendekati angka 5 juta rupiah, saya bertanya kepada seorang aktivis gereja yang bekerja sebagai salesman freelancer. Saya menawarkan pinjaman 500 ribu rupiah dengan bunga 1% setiap bulan dari sisa pinjaman. Kapan saja ia butuh, ia bisa menghubungi saya.
Suatu hari ia memberitahu butuh uang kontan karena ada barang yang ditawarkan dengan diskon besar asal dibayar tunai. Saya memberikannya uang 500 ribu rupiah serta menjelaskan uang itu milik Tasipa dan harus dilunasi dalam waktu 1 tahun.
Setelah lunas, ia meminjam 1 juta rupiah untuk membuka warung di rumah agar ibunya mempunyai kesibukan. Saya memberikan uang itu dan ia mengangsur setiap Minggu.
Tetapi tidak setiap peminjam yang bukan anggota Tasipa seperti orang ini. Suatu ketika seorang guru SM Cabang memberitahu anaknya sudah menunggak 7 bulan uang sekolah. Saya pergi ke rumahnya. Ternyata rumah itu kosong. Cerita tetangganya rumah itu rumah kontrakan. Mereka tidak tahu di mana mereka sekarang tinggal. Tetapi ada yang tahu mereka buka warung makan tenda. Saya segera menuju tempat itu.
Warung tenda itu hanya menjual nasi dengan 1 macam lauk. Di sebelahnya ada gerobak rokok yang tempat pajangannya kosong. Hanya ada 1 bungkus rokok untuk dijual batangan. Seorang gadis kecil sedang belajar dalam gerobak rokok itu. Hujan sore itu disertai angin sehingga antara sebentar ia membersihkan air dari buku dengan telapak tangannya. Bapaknya mengisahkan cerita dukanya.
Sebelumnya ia bekerja di sebuah toko asesori mobil. Penghasilannya lumayan sehingga bisa mengontrak rumah seharga 3 juta setahun. Anaknya juga bisa belajar di sekolah Kristen yang 200 ribu rupiah uang sekolahnya. Ia keluar dari pekerjaannya karena bujukan temannya untuk mendirikan usaha asesori mobil sendiri. Uang tabungannya habis untuk modal dan ternyata usahanya sepi. Ia bangkrut. Sisa uangnya dipergunakan untuk membeli warung tenda dan gerobak rokok itu. Mereka tinggal dan tidur di situ.
Saya melihat berkeliling. Di seberang jalan ada pasar. Tentu di situ mereka menumpang mandi dan membuang hajat. Di belakang warung mereka ada gereja yang mempunyai SD dan uang sekolahnya saya tahu hanya 25 ribu rupiah sebulan. Saya menawarkan bantuan. Lima ratus ribu rupiah sebagai pemberian untuk menyewa kamar kos. Pasaran sewa 1 kamar di daerah bekas rumahnya dulu sekitar 300 ribu rupiah setahun. Lima ratus ribu rupiah lagi sebagai pinjaman untuk menambah ragam lauknya karena hanya dengan 1 lauk orang bisa kapok makan di situ. Pinjaman ini harus diangsur setiap Minggu melalui anaknya karena kedua orangtuanya bergereja di tempat lain. Uang 1 juta akan saya berikan setelah anaknya dipindah bersekolah di SD di belakang tempat usahanya itu sebagai bukti kesungguhannya menata kembali hidupnya.
“Tetapi sebelum tunggakan uang sekolah 7 bulan dilunasi, rapot tidak bisa diambil,” kata bapak itu.
“Saya akan ke sekolah itu untuk meminta kepseknya membebaskan tunggakan itu sehingga Bapak bisa mengambil rapotnya.”
Singkat cerita, saya berhasil membujuk kepsek memberikan rapot tanpa melunasi hutangnya sehingga anaknya bisa pindah ke sekolah murah. Dengan uang pemberian itu ia bisa menyewa kamar kos sehingga mereka tidak perlu tidur malam di udara terbuka. Tetapi baru 7 kali angsuran @ 5.000 rupiah anaknya tidak muncul lagi di Sekolah Minggu. Mereka masih ada di warung itu, tetapi saya tidak tega mampir untuk menagihnya. Kekurangan pinjaman mereka saya tutup karena sayalah penjamin pinjaman itu.
Adanya penjamin pinjaman menjadi syarat utama bila uang Tasipa dipinjam oleh mereka yang bukan anggota Tasipa. Seorang majelis merekomendasikan seorang pemuda yang bekerja sebagai salesman freelancer pakaian jadi untuk meminjam 2 juta rupiah. Saya minta majelis ini menitipkan uang 2 juta rupiah kepada Tasipa. Bila pinjaman tidak dilunasi, maka uangnya akan dipakai untuk melunasinya.
Tidak sedikit orang kaya di gereja saya tidak suka berhubungan langsung dengan mereka yang membutuhkan bantuan. Repot! Satu kebutuhan dibantu, muncul kebutuhan-kebutuhan lain yang berlerot. Mereka mengira punya hak untuk dibantu sementara orang kaya punya kewajiban membagi-bagikan uangnya kepada orang yang tak mampu. Jika tidak dibantu langsung saja mulut mereka menjelek-jelekkan orang itu.
Dengan alasan yang sama seorang dokter poliklinik gereja meminta saya ke sebuah alamat dan menyediakan pinjaman uang 400 ribu rupiah untuk membantu mantan pasiennya. Ia wanti-wanti agar namanya tidak disebut. Mantan pasiennya tukang becak. Becaknya masih sewa. Dokter ini ingin ia memiliki sendiri sebuah becak. Saya ke sana. Masuk kampung kemudian masuk gang lalu masuk lorong sehingga sela setang motor saya dengan dinding rumah di kiri kanan tinggal sejengkal. Saya bertemu dengan istrinya. Dengan tetap di atas motor karena tidak bisa turun saya mewawancarainya. Ternyata becak yang dipakai suaminya sudah dalam kondisi sewa-beli. Ada gadis muda cantik keluar dari pintu rumah. Dia anaknya, mau berangkat kerja. Dia bekerja sebagai score girl di sebuah rumah bola. Sudah empat tahun sejak ia berhenti sekolah waktu kelas 3 SMP. Saya menawarinya untuk pindah kerja, tetapi untuk itu paling tidak dia harus punya ijasah SMP yang bisa diperolehnya lewat paket kejar. Saya menyebut sebuah alamat.
Tetapi dia menyebut alamat lain yang dekat dengan tempatnya bekerja. Dia tahu karena ada rekan kerjanya yang mengambil paket kejar sambil bekerja. Biayanya untuk ijasah SMP sekitar 300 ribu rupiah. Dari keterangannya ini saya tahu dia ingin lepas dari pekerjaannya yang sekarang. Bagaimana tidak bila setiap hari dia harus pulang tengah malam bahkan pukul 2 dini hari. Saya menjelaskan dengan ijasah SMP dia bisa ikut kursus untuk menjadi pembantu perawat atau baby sitter. Bila dia mau yang lebih tinggi, dia harus punya ijasah SMA yang disamakan untuk masuk sekolah perawat di sebuah rumah sakit Kristen. Bila dia setuju, saya minta dia menghubungi saya lewat hape. Kami bertukar nomor hape. Tentang biaya bisa dirundingkan belakangan apakah saya akan menyerahkan dalam bentuk pinjaman atau pemberian.
Untuk keluar dari lorong saya harus memundurkan motor. Sampai di gang baru saya bisa membalikkan motor. Di pintu gang seorang perempuan tua yang memakai sarung dan kebaya menghadang saya. Encim ini menanyakan saya siapa dan mengapa lama berbicara dengan gadis muda itu yang adalah cucunya. Saya menjelaskan semua. Dia mengucapkan terima kasih berulang-ulang. Suaranya sedih ketika mengungkapkan perasaannya, “Saya tidak senang cucu saya bekerja di rumah bilyar. Biar hasilnya banyak tetapi itu tempat kotor.” Saya mengatakan semuanya tergantung dari ibunya. Saya menduga ibunya keberatan bila anaknya keluar dari rumah bilyar. Gaji resminya hanya 7.500 rupiah sehari, tetapi tip hariannya sekitar 25 ribu rupiah.
Agaknya pekerjaan saya sebagai pemilik “bank dalam gereja” tersiar luas sehingga ketika saya berkunjung ke sebuah kantor yayasan Kristen, pengurusnya bercerita tentang seorang jemaatnya yang berdomisili 60 km dari Semarang membutuhkan pinjaman uang 3 juta rupiah untuk membuka warung kelontong di desanya. Orang ini setiap bulan datang ke Semarang untuk menjenguk anaknya yang dititipkannya di panti asuhan.
“Apa Bapak yakin orang itu akan setia mengangsur sampai lunas.”
“Yakin. Saya kenal orang itu. Ia aktivis gereja di desanya. Masa aktivis gereja mau mengemplang uang?”
“Kalau ia tidak mengangsur sampai lunas, apakah Bapak mau menutup kekurangannya?”
“Pasti. Saya menjaminnya.”
“Kalau begitu,” kata saya sambil mengeluarkan blangko kwitansi yang selalu ada dalam tas saya, “lebih baik nama penerima pinjaman ini adalah nama Bapak dan saya akan menagih angsurannya dari Bapak setiap bulan.”
Ia terkejut. “Mengapa?” tanya saya. “Jika Bapak yakin ia bisa dipercaya, tentunya tidak jadi masalah bila saya meminjami Bapak uang dan kemudian uang itu Bapak pinjamkan kepadanya. Dengan demikian saya tidak mau tahu kalau ia tidak melunasinya karena saya hanya berurusan dengan Bapak.”
Saya tertawa melihat ia bengong. “Orang gampang sekali mengatakan berani menjamin. Gua jamin, gua jamin dia orang jujur. Giliran hutang tidak dibayar dia lepas tangan.”
Mungkin karena terpojok oleh ejekan saya akhirnya ia setuju. Tetapi besarnya pinjaman turun menjadi 1.5 juta rupiah. Di sini yang menjadi penjamin pinjaman adalah saya sendiri. Saya yakin pengurus yayasan ini tidak akan ingkar janji karena ia dikenal banyak orang dan kelakuannya tak bercacat. Ia juga jadi donatur tetap sebuah panti asuhan sekaligus penasihat informal.
Baru 6 kali mengangsur, orang itu bila ke Semarang tidak lagi mampir ke kantor yayasan ini. No problem buat saya. Tetap saja setiap bulan saya meminta uang dari pengurus yayasan itu yang sekarang baru percaya bahwa kerajinan orang melayani Tuhan belum tentu berbanding lurus dengan kejujurannya dalam masalah uang. Saya ingat kata seorang teman yang jengkel, “Apa pun agamanya, dalam masalah hutang orang punya prinsip sama, yaitu 3 Ce: Co (usaha), Ciak (makan), Cau (pergi).”
- o -
Setelah berjalan 3 tahun saya membubarkan Tasipa karena mendapat job baru mengurus pelayanan di sekolah swasta. Tidak ada pengurus lansia yang mau menangani Tasipa karena menyangkut uang dalam jumlah besar. Namun demikian waktu 3 tahun cukup bagi saya untuk meyakini kehadiran jasa simpan pinjam semacam Tasipa dibutuhkan oleh warga gereja yang kurang mampu.
(the end)
- Purnomo's blog
- Login to post comments
- 4897 reads
@Joli, balas komen di sini saja
Diakonia
Beruntung gereja Bapak, ada kristen yang cerdas mengaktualisasikan diakonia gereja wilayah urban, walaupun hanya disektor lansia. Harusnya gereja yang mikirin hal seperti ini. Tapi mungkin karena otoritas gereja mencurahkan seluruh sumberdayanya bolak-balik ayat, berakibat kontribusi gereja ke dunia nyata kesejahteraan umat dan masyarakat. Gereja semakin tidak aktual.
Saya sendiri sedang latihan jadi provokator, nodong sana nodong sini, untuk disalurkan kepanti asuhan. Minggu lalu baru ngabisin stock pc bekas 2 buah buat smp masehi pekalongan. Hasil nodong bank anz dapet 25 unit. Rencana mau nodong lagi.
No man is a man who does not make the world better