Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Another Abortion
Suasana begitu cepat berubah. Si bungsu pendarahan sehingga harus menginap di klinik bersalin. Setelah tiga hari, walaupun lemah, janin selamat. Adikku boleh pulang, namun harus beristirahat total. Adik laki-lakiku ingin merayakannya dengan "bakar jagung". Tidak tanggung-tanggung, ia membeli sekarung jagung untuk tujuh orang. Baru habis setengah karung, adikku yang menonton kami makan mengeluh perutnya sakit lagi.
Aku mencari bidan. Kutemukan satu di batas kota.
Kuketok pintu, wanita separuh baya keluar, "Ada apa?"
Kuceritakan apa yang terjadi. Adikku yang hamil dua bulan mengalami pendarahan. Tiga hari dirawat di klinik bersalin, tadi sore dokter bilang boleh pulang. Tetapi setelah tiga jam, perutnya kembali sakit.
"Aduh, maaf. Suami saya tidak bisa mengantar," katanya, "Ia lagi main tenis."
Aku ingin ia tahu, adikku gawat, "Kata adik saya, ia merasa ada seperti kontraksi."
"Bawa ke rumah sakit saja," katanya.
"Bisa ibu lihat sebentar saja," aku mendesak.
Kutawarkan diriku untuk mengantarnya.
"Anak saya bagaimana?"
Bilang saja kalau tidak mau! Batinku.
Mungkin ia membaca umpatanku. Ia berkata, "Bawa saja ke rumah sakit, Dik."
"Kalau sudah kontraksi, itu sudah keguguran, Dik," lanjutnya.
Aku pergi. Ia minta maaf karena tidak bisa menolong. Kumaafkan. Tetapi aku berniat mencari tahu, adakah bidan bersumpah menolong orang hamil yang pendarahan, tidak peduli suami mereka sedang bermain tenis atau anak mereka sedang tidur nyenyak.
***
Instalasi Gawat Darurat.
"Nama?"
Si kembar satunya menyebut nama saudara kembarnya.
"Umur?"
"Dua puluh delapan."
"Anak ke-berapa?"
Ada aturan tidak tertulis: Yang lahir duluan lebih muda. Logikanya? Yang lahir terakhir lebih tua, karena menyuruh adiknya keluar duluan.
"Ke-delapan."
"Hah...!"
Apakah di Akademi Keperawatan mereka tidak diajari sopan-santun? Kalau pun adikku beranak seratus, tidak perlu ekpresi sekaget itu. Adikku memang masih muda dan bertubuh mungil, namun seandainya pun ia beranak tujuh dan hamil untuk yang kedelapan kalinya, ekspresi seperti itu tidak layak bagi perawat.
Adikku meralatnya, "Maksud saya, ini kehamilan yang pertama."
Si perawat hanya tersenyum. Senyum menjengkelkan.
Aku tidak ikut masuk ke dalam. Ceritanya saja yang kudengar. Dokter jaga memeriksa sebentar. Setelah tahu itu calon anak pertama, ia berkata, "Aduh kasihannya." Lalu berpaling kepada perawatnya, "Dipertahankan."
Kami hanya mengira-ngira maksudnya. Itu membangkitkan sedikit harapan.
Kami menunggu, menunggu dan menunggu. Tetapi sampai tengah malam, tidak ada tindakan apa-apa.
***
Ruang Observasi.
Sedikit lebih baik. Paling tidak kelihatan kalau mereka akan melakukan sesuatu. Apapun itu, baik atau buruk hasilnya, lebih baik daripada membiarkan adikku berbaring tanpa perawatan apa-apa.
Mereka membaringkan adikku di satu dari tiga tempat tidur yang dipisahkan tirai. Peralatan di samping ranjang membuatku yakin namanya yang ruang observasi. Ini bangsal melahirkan. Kuharap ibu di sebelah tidak melahirkan lewat tengah malam.
Kami menunggu di depan pintu.
Beberapa kali kereta dorong melewati selasar samping. Kutantang adik-adikku main tebak-tebakan. Kereta yang lewat itu, apa membawa orang hidup atau orang mati? Mereka tidak mau. Adikku bilang ia tahu itu orang mati atau hidup kalau sudah melihat kepalanya. Ditutup berarti mati, dibuka berarti hidup. Sepupuku tidak mau kalah. Ia bilang, ia akan tahu itu orang hidup atau mati dari posisi kepalanya. Kepala duluan berarti hidup, kaki duluan berarti mati. Kubilang mereka kalah. Aku bisa mengetahuinya hanya dari suaranya. Kalau keretanya cepat, itu membawa orang hidup; kalau pelan, itu pasti membawa orang mati.
Seorang petugas mendatangi kami. Kalau mau, kami boleh minta kamar pasien di bagian administrasi. Nanti, setelah diperiksa dokter, adik kami bisa langsung diantar kesana. Aku mengerti mengapa ia mengusir kami. Hanya ada satu bangku di depan ruang observasi. Da itu sudah kami penuhi.
"Dan kalian bisa beristirahat di sana," tambahnya.
"Supaya kalian tidak mendengar kami ribut," tambahku dalam hati.
Kami mendapat kamar paling depan. Tepat di samping selasar. Entah berapa kali roda kereta dorong melewati mimpiku. Setiap kali suara itu datang, yang masuk ke mimpiku bukan kecepatannya, tetapi rasa penasaran. Kaki atau kepala yang duluan.
Jam empat aku bangun, gara-gara bunyi roda juga.
Mereka belum mengantar adikku ke kamar.
Ia masih terbaring di ruang observasi. Adik iparku duduk di kursi sampingnya. Tangannya terlipat di dada, kepalanya tertunduk, dan matanya terpejam. Tiga malam ia menjaga adikku di klinik bersalin, ini malam keempat ia kurang tidur. "Kamu tidur dulu di kamar, biar aku yang jaga," bisikku. Ia keluar tanpa membantah. Adikku hanya membuka matanya sebentar, setelah melihat itu aku, ia kembali menutup matanya.
Kuharap wanita di sebelah tidak segera melahirkan.
Kuminum sari buah yang kubawa dari kamar, adikku membuka matanya. Ia menatapku, lalu melirik kotak sari buah yang kuminum.
"Mau minum?" tanyaku.
Ia mengangguk.
"Aku tanya perawat dulu," kataku.
Tanpa menunggu tanggapan, aku keluar. Aku tidak berani langsung memberinya minum, siapa tahu ada makanan atau minuman yang tidak boleh dimakan. Kutunjukkan minumanku pada gerombolan kepala manis berseragam putih bersih yang bergerombol di ranjang paling pojok. Gerombolan mahasiswi akademi kebidanan yang sedang praktek.
"Adik saya boleh minum ini?"
Mereka saling bertatapan. Mereka juga tidak tahu.
Ada keputusan tanpa kata-kata. Kepala-kepala manis itu meninggalkanku sendirian. Mereka bergerombol masuk ke ruang jaga, lalu keluar dengan sebuah jawaban, "Boleh."
Mata adikku masih terbuka ketika aku kembali. Kudekatkan sedotan ke mulutnya. Ia hanya membasahi lidahnya, lalu kembali menutup matanya.
Tahu begini, aku tidak akan membuatnya menunggu.
Beberapa kali kepala-kepala manis itu mengintip dari balik tirai. Memastikan botol infus di atas kepala adikku tidak benar-benar habis. Aku memahami ketakutan mereka. Infus adikku hampir habis. Kalau habis, darah yang naik. Aku sudah mendengar cerita ketika ayah sakit, infusnya sempat kosong sampai selangnya berwarna merah.
Sampai matahari terbit, ibu di samping belum melahirkan.
***
Jam sepuluh pagi, adik iparku menelpon. Dokter sudah memeriksa kandungan itu, sisa-sisa janin akan dikeluarkan besok. Aku tidak mendengar kata keguguran.
Ketika aku datang, di atas bufet kulihat catatan dokter: Another Abortion. Keadaan adikku jauh lebih baik. Ia malah bercerita, wanita di sampingnya melahirkan tidak lama setelah aku pergi. Ibu itu sama sekali tidak mengeluarkan teriakan yang menakutkan, proses persalinannya begitu lancar. Itu anaknya yang kedua, ibu itu sendiri masih berumur tujuh belas tahun.
Kutanya darimana ia tahu.
"Kami mengobrol setelah kamu pergi."
Hebat!
"Apa kata dokter?" tanyaku
Suaminya yang bercerita. Mereka menunggu, menunggu dan menunggu. Adikku bahkan hampir salah disuntik. Jam enam perawat senior datang membawa suntik. Untung ia "tanya dulu baru suntik", itu untuk ibu sebelah. Sampai jam delapan, mereka masih di ruang observasi. Padahal menurut jadwal, pemeriksaan USG akan dilakukan sepagi mungkin. Iparku melapor ke ruang jaga, baru mereka tahu ada pasien terlantar. Petugas malam tidak melaporkan ada pasien yang dijadwalkan pemeriksaan USG pagi itu. Perawat langsung mendorong adikku ke ruang USG. Dokter di sana yang kaget, tidak ada penjadwalan atas nama adikku. Karena bingung, perawat meninggalkan adikku begitu saja beserta ranjangnya di depan pintu ruang USG.
Kepala-kepala manis itu kemudian muncul. Adikku mau disuntik. Satu orang maju. Tetapi tangannya begitu gemetar sehingga temannya berkata, "Dah, sini aku ja."
Sampai sore, kupikir adikku baik-baik saja. Ia hanya takut kuratasebesok. Ia sudah merasakan sakit yang luar biasa tadi malam, tidak mampu membayangkan harus merasakan sakit yang lain lagi besok pagi. Temannya yang menjenguk bukannya menghibur, malah berkata, "Kiret itu menyakitkan karena tidak boleh pakai obat bius. Waktu aku di-kiret dulu, sakitnya minta ampun karena dokter tidak mau memakai obat bius. Takut bablas, terbius selamanya."
Malam itu kami tidur nyenyak. Adik iparku juga. Ia tidur seperti orang mati. Aku maklum. Beberapa hari ia kurang tidur. Tadi pagi, baru terlelap setengah jam, si kembar satunya menendang pantatnya. Mengira itu aku.
***
Aku ingin membungkam mulut manusia tolol yang mengatakan orang yang di-"kiret" tidak boleh dibius. Setelah pengaruh obat biusnya hilang, adikku hampir tidak percaya itu sudah selesai. Ia sama sekali tidak merasakan apa-apa.
Rumah Sakit โ rumah โ kantor โ rumah sakit dan makanan melimpah. Tetapi itu ada akhirnya juga. Tiga hari setelah acara bakar jagung itu, adikku menelpon, "Kami sudah dibolehkan pulang oleh dokter."
Ia tahu, aku kecewa mendengarnya.
- anakpatirsa's blog
- Login to post comments
- 5515 reads
Empat kali
AP, baca blogmu ini membuat aku teringat lagi pengalaman yang sama dengan adikmu. Tidak hanya sekali, tapi 4 kali mengalami kuret dengan pengalaman yang berbeda-beda.
Aku tahu rasanya kuret yang tidak sakit karena benar-benar tertidur saat dibius.
Aku tahu rasanya kuret yang sakit sekali karena suster yang tidak becus menyuntikkan obat bius, sehingga pengaruh obat bius tidak bisa membuat "tidur". Saat itu, aku komplen, kenapa terasa rembesan di tanganku. Ternyata suster menyuntikkan tidak dalam posisi jarum yang benar. Dan kebetulan juga dokter gak mau tahu keadaan pasiennya.
Aku tahu rasanya kuret yang meski sadar, tapi tidak terasa sakitnya. Aku bisa merasakan dokter melakukan tindakan tapi tidak merasakan sakitnya.
Tapi, yang tidak pernah aku rasakan dalam empat kali keadaan itu adalah rasa sakit ketika kontraksi atau ketika pendarahan terjadi. Semua itu membuat suster maupun dokter bingung.
Tolong sampaikan pada adikmu, dia gak sendirian. Kalau mau nangis ya nangis aja :) Yang pasti, selama menikmati penghiburan dari Tuhan yang sungguh unik :)
Juga Ingat
Waktu kejadian itu, melihat apa yang adikku alami, dan segala "kerepotan" kami karena itu. Jadi ingat ada orang yang pernah mengalaminya di Solo tanpa "mengeluh"
Keluhan
AP: Waktu kejadian itu, melihat apa yang adikku alami, dan segala "kerepotan" kami karena itu. Jadi ingat ada orang yang pernah mengalaminya di Solo tanpa "mengeluh".
Jika yang kamu maksudnya adalah orang yang aku kenal, sepertinya harus diralat hehehe ... ohhh "keluhannya" banyak sekali hehehe ....
Tapi, berkat pertolongan Tuhan, keluhan itu tidak merampas sukacitanya :)