Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Pelayan yang Tidak Dihargai
Sejak jadi Spv, aku baru merasakan pelayanan 24 jam setiap hari, seminggu penuh, sebulan full, dan untuk jangka waktu setahun ke depan. Melayani anak-anak yang Tuhan percayakan kepadaku berarti siap memberikan hati, waktu, tenaga, telinga, mungkin juga sedikit uang, setiap saat. Belum lagi tuntutan dari pihak Residence Life yang harus aku penuhi. Ditambah jadwal meal service. Betul-betul bukan tanggung jawab yang sepele.
Hari Kamis lalu, saat SOW Induction, dijelaskan lagi kalo Spv itu perhitungan jam kerjanya 20 jam seminggu. Dari dulu juga begitu dan nggak ada seorangpun yang protes. Sekalipun Bu Mini atau siapapun juga bilang kalo kami itu kerja 7x24 jam seminggu dan kayaknya kurang pantes dihargai dengan hanya 20 jam seminggu, tapi itu sama sekali bukan masalah. Memang kami mau melayani. Kalau jam kerja kami diperhitungkan 20 jam seminggu, itu adalah bonus.
Masalahnya, saat SOW Induction itu, seseorang menambahkan arti yang lain dari perhitungan 20 jam seminggu tersebut. Perhitungannya gini: seminggu ada 5 hari kerja, Senin-Jumat. Untuk sehari kerja, Spv dihargai 4 jam. Jadi, 5x4 = 20. Rincian seperti ini membuat kami para Spv jadi terluka. Terus Sabtu-Minggu kalo kita melayani anak-anak kamar, itu dianggap apa? Apa bedanya kami dengan mahasiswa lain yang kerja administrasi?
Yang lebih tidak adil lagi... Anak BPH HMJ dan MPM dihitung 30 jam seminggu. Kalo mereka lagi punya gawe event gede sih ya masuk akal seminggu bisa kerja sampe 30 jam. Tapi kalo lagi ga ada event?? Paling
seminggu rapat sejam atau dua jam dan itu tetap dihitung 30 jam! Gak make sense!
Sedih dengernya... Upah seorang Spv begitu rendah. Pekerjaan kami melayani 24 jam penuh setiap hari selama setahun dianggap sepele nampaknya.
Siang ini adalah jadwalku untuk meal service. Pada jam lunch itu, sambil meal service aku baca buku "Improving Your Serve" karangan Charles Swindoll. Ada bab yang sangat bagus sekali, membahas mengenai bahaya menjadi seorang pelayan. Bab ini mengangkat tokoh Gehazi, pelayan Elisa. Dengan sangat gamblang, pengarang menjelaskan perasaan-perasaan Gehazi sebagai pelayan.
Ada kisah ketika anak seorang perempuan Sunem mati, Elisa menyuruh Gehazi mendatangi anak itu, menaruh tongkat di atas anak itu. Gehazi melakukan persis seperti yang diperintahkan kepadanya. Tetapi tidak terjadi apa-apa. Ketika Elisa datang, barulah anak itu sembuh. Kesannya sia-sia Gehazi datang dan menaruh tongkat di atas anak itu. Toh kalo bukan karena Elisa, anak itu juga tidak akan hidup lagi. Lalu buat apa Elisa menyuruhnya melakukan hal tersebut? Buat apa Gehazi repot-repot?
Suatu ketika Gehazi repot-repot masak, tanpa sengaja makanan yang direbusnya mengandung racun. Lalu Elisa menyuruhnya memasukkan tepung. Singkat cerita, setelah itu tamu-tamu Elisa justru memuji Elisa, bukannya si Gehazi yang repot masak. Yang repot siapa, yang dipuji siapa...
Kisah lain ketika Naaman yang kusta datang pada Elisa minta disembuhkan. Gehazi adalah orang yang bertugas menyampaikan pada Naaman agar beliau menenggelamkan diri dalam Sungai Yordan. Bagian Gehazi ini betul-betul tidak enak. Ia harus menyampaikan pesan buruk tersebut pada Panglima Raja Aram ini. Hasilnya, Naaman ngomel. Gehazi yang menjadi sasaran; padahal ia cuma pembawa pesan saja.
Meskipun ngomel panjang lebar, akhirnya Naaman memilih untuk mengikuti perkataan Elisa (yang disampaikan Gehazi) yaitu untuk menenggelamkan diri dalam Sungai Yordan. Ia sembuh dan sebagai ucapan terima kasih, ia menawarkan hadiah yang luar biasa mahal dan banyak pada Elisa DAN Gehazi. Jadi bukan cuma Elisa yang dihargai, Gehazi juga. Tetapi apa yang dikatakan Elisa?
"Demi TUHAN yang hidup, yang di hadapan-Nya aku menjadi pelayan, sesungguhnya aku tidak akan menerima apa-apa."
Ow.. ow.. Kalo Elisa doang yang gak mau sih ga papa.. Tapi...
berpikirlah Gehazi, bujang Elisa, abdi Allah: "Sesungguhnya tuanku terlalu menyegani Naaman, orang Aram ini, dengan tidak menerima persembahan yang dibawanya. Demi TUHAN yang hidup, sesungguhnya aku akan berlari mengejar dia dan akan menerima sesuatu dari padanya." (2 Raja-raja 5:20)
Memang benar Gehazi serakah. Namun sebenarnya cukup manusiawi, mengingat karir pelayanannya selama ini tampaknya kurang dihargai. Sekarang Naaman dengan senang hati mau memberikan penghargaan sebesar-besarnya. Kenapa kesempatan seperti ini harus ditolak? Dengan senang hati Gehazi mengejar berkatnya. Ketika Elisa menanyakan Gehazi apa yang sudah diperbuatnya, Gehazi menyangkal. Demi upah yang ia rindukan, Gehazi berbohong. Kemudian akhirnya sungguh tragis.
"tetapi penyakit kusta Naaman akan melekat kepadamu dan kepada anak cucumu untuk selama-lamanya." Maka keluarlah Gehazi dari depannya dengan kena kusta, putih seperti salju.
Seandainya Gehazi tahu bahwa segala jerih payahnya walaupun tampak kurang dihargai di mata manusia namun sangat berharga di mata Allah, mungkin saja dia bisa menahan diri untuk tidak menjadi serakah. Mungkin juga ia justru bersyukur sebab kurangnya pujian akan hasil pelayanannya justru bisa menjauhkan dia dari keangkuhan.
Itulah kira-kira uraian isi sebuah bab yang aku baca tadi siang. Betul-betul menyentuh. Relevan dengan apa yang aku alami. Sekarang aku jadi merefleksikan, apakah aku akan tetap melayani dengan setia ketika tidak seorangpun memuji?
Tadi sore, anak kamarku si Martha cerita bahwa temannya ngomong tentang aku kira-kira kayak gini, "Spv-mu siapa? Kak Novi ya? Oh, dia kan baik banget!"
Denger kayak gitu, jadi semangat deh aku jadi Spv.. hehehe.. Tapi kalo nggak seorangpun memujiku... Apa aku masih mau dengan setia jadi Spv yang baik banget???
Saat rapat kamar tadi, anak kamarku mengeluh. Mereka yang ngangkat galon buat satu lantai, orang lain yang ngabisin. Ke mana anak-anak lantai yang lain? Kok kayaknya cuma kita-kita yang repot ngangkatin galon. Yang lain kayaknya nggak peduli! Padahal kita sama-sama butuh air!
Aku sangat berterima kasih, anak-anak kamarku mau ngangkatin galon walaupun seharusnya bukan giliran kamar kami yang repot ngangkatin galon. Lalu aku sharingkan apa yang aku baca tadi siang. Seringkali tampaknya ketika kita melayani, pelayanan tersebut bisa jadi tidak dihargai orang. Tapi memang seharusnya tujuan kita melayani bukan untuk mengejar pujian dan penghargaan dari orang lain, melainkan mengejar upah surgawi yang berasal dari Allah. (Jadi inget khotbah Sunday Chapel pagi ini, menyimpan harta di surga. Hehehe..)
Ketika aku mengetikkan semua ini, aku sendiri sedang mendapat suatu teguran dari Tuhan. Seorang pelayan dilihat semua orang bukan supaya beken dan dipuji-puji, melainkan supaya nama Tuhan dipermuliakan. Seorang pelayan repot-repot kerja bagi Tuhan, tetapi pujian dan kemuliaan hanya bagi Tuhan!
Ada sebuah puisi yang bagus.. Yang menjadi pertanyaan refleksiku juga... Puisi ini karangan Ruth Harms Calkin. Judulnya,Aku Bertanya dalam Hati.
Tuhan, Engkau mengetahui, bagaimana aku melayani-Mu
Dengan semangat yang bernyala-nyala tatkala menjadi pusat perhatian.
Engkau mengetahui betapa semangatnya aku berbicara untuk-Mu di pertemuan kaum wanita.
Engkau mengetahui betapa sukacitanya aku ketika memimpin sebuah kelompok persekutuan.
Engkau mengetahui kesungguhan antusiasku di sebuah kelompok pelajaran Alkitab.
Namun aku bertanya dalam hati, bagaimanakah aku akan bereaksi
Jikalau Engkau menunjuk ke sebuah baskom air
Dan memintaku untuk mencuci kaki berkulit kasar
Dari seorang wanita tua yang keriput dan bungkuk
Hari demi hari
Bulan demi bulan
Di sebuah kamar di mana tak seorang pun melihat
Dan tak seorang pun tahu.
May you be blessed! :)
http://novi-kurniadi.blogspot.com/
Novi Kurniadi
- Novi Kurniadi's blog
- Login to post comments
- 4313 reads
Novi, hayoo
Salam kenal Novi :)
hayo, Novi yang mana ??
Novi yang mana
Hahahaa.. Aku yang ngambil fotonya, jadi mereka semua lagi ngeliat aku.. Itu foto anak-anak kamar yang aku layani.
Salam kenal juga ce.. :)
Novi Kurniadi