Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Ilalang, Kamus sampai Alkitab

anakpatirsa's picture

Ilalang tumbuh tinggi menutupi bekas taman di antara belasan bangunan. Bila tamannya saja begitu tidak terawat, tidaklah mengherankan bila gedungnya sendiri tidak terurus. Beberapa kaca jendela tampak pecah, bahkan banyak yang benar-benar bolong. Atapnya bernasib sama, puluhan pucuk sirap tergeletak begitu saja di samping bangunan. Tidak ada yang mau repot-repot mengumpulkannya, apalagi memperbaiki atap-atap sirap itu.

Mataku kembali ke ilalang. Tumbuhan ini pasti telah mengalahkan bunga yang pernah tumbuh di sana. Bisa kumaklumi. Ilalang sudah menjadi bagian hidup kami. Seperti orang Indian menganggap padang prairi sebagai bagian kehidupannya, demikian pula kami tidak bisa memisahkan diri dari padang ilalang. Tumbuhan berdaun tajam ini tumbuh di mana saja. Bila dibakar, tumbuh makin lebat. Membuat kami menyerah, membiarkan ilalang menguasai tanah kosong kami.

Ia menguasai lahan bekas hutan yang rusak, bekas ladang, dan halaman rumah yang tidak terurus. Bunga putih halusnya begitu lembut dan ringan sehingga mudah tertiup angin, membuat padang ilalang menyebar cepat. Tidak ada yang mampu melewatinya tanpa alas kaki, karena tunas-tunas yang baru tumbuh runcing tajam membentuk ranjau duri. Juga tidak ada yang mampu keluar dari sana tanpa kulit muka dan tangan tergores, daunnya begitu tajam dan berujung runcing.

Tumbuhan inilah yang menguasai hampir seluruh komplek "Museum Balanga" beberapa tahun lalu. Aku tidak tahu keadaan museum di Palangkaraya ini sekarang. Pasti lebih baik. Aku hanya ingat apa yang kualami dan rasakan saat pertama kali pergi kesana.

Banyak hal menarik yang ditinggalkan para kakek buyutku, tetapi sebuah buku dalam kotak kaca paling menarik perhatianku. Usianya lebih dari seabad, terbit tahun 1859. Judulnya Dajacksch-Deutsches Worterbuch. Aku tidak tahu bahasa Jerman, hanya tahu arti kata pertamanya, "Dayak". Penulisnya seorang misionaris bernama AUG Hardeland. Aku tertarik karena ada orang asing keluar masuk rimba Kalimantan saat orang masih saling memenggal kepala.

Aku melupakan kamus ini seperti melupakan museum yang dikelilingi padang ilalang itu. Baru teringat kembali saat membaca buku yang sedikit membahas sejarah penerjemahan Alkitab di sungai kami. Dari buku berjudul Mengikuti Jejak Leijdeckeri, aku tahu penulis kamus dalam kotak kaca itu ternyata orang yang juga menerjemahkan seluruh Alkitab ke dalam bahasa daerah kami. Bahasa Dayak Ngaju.

***

Tahun 1836, seorang misionaris bernama Johahn Friederich Becker tiba di Kalimantan. Ia mendirikan pos pekabaran Injil di Palingkau, di daerah rawa-rawa antara dua sungai, Barito dan Murung. Agak jauh dari sungai yang melewati kampungku. Sambil belajar bahasa Dayak Ngaju, ia menerjemahkan buku yang berisi cerita Injil dan Kisah Para Rasul, serta cerita dalam kitab Taurat. Hanya 600 eksemplar yang tercetak, dan sudah habis tersebar pada tahun 1846.

Setelah buku itu terbit, Becker makin mendalami bahasa Dayak Ngaju yang secara harafiah berarti bahasa Dayak "Udik". Ia mendapat seorang rekan, orang yang pernah mengecap pelajaran bahasa Latin dan Yunani, August Friederich Albert Hardeland. Ia tiba di Batavia di awal tahun 1840, tetapi baru bisa masuk Kalimantan di akhir tahun tersebut. Ini terjadi karena keadaan di luar Pulau Jawa begitu penuh ketidakpastian sehingga pemerintah Hindia Belanda mengharuskan setiap misionaris melewati masa percobaan setahun di Batavia atau sekitarnya.

Belum banyak ilalang di Kalimantan saat Becker maupun Hardeland datang. Saat itu pulau ini masih merupakan pulau penuh misteri, pulau penuh tanda tanya besar. Becker bukan misionaris pertama. Setahun sebelumnya, tahun 1835, seorang misionaris bernama Barstein mengunjungi daerah pedalaman Kalimantan. Mengarungi sungai kami, Sungai Kahayan. Ia juga mengarungi Sungai Kapuas dan Sungai Barito. Di  Desa Gohong, di pinggir sungai Kahayan, ia bertukar darah dengan kepala suku, mengangkat saudara. Artinya suku lain berhak memotong kepalanya.

Kalimantan bukanlah daerah pekabaran Injil yang mudah. Pulau ini oleh pemerintah Belanda dianggap sebagai pulau pembuangan. Pegawai pemerintah sendiri menganggap penugasan ke pulau ini sebagai hukuman yang berat dan pahit. Sebuah pulau yang merupakan daerah terasing dan penuh hutan belantara menyeramkan serta penuh nyamuk. Sungai-sungainya menganga besar dan panjang. Pulau penuh bahaya. Orang baru menemukan sebuah kampung setelah mengaruhi sungai berhari-hari. Penduduknya memiliki kebiasaan yang aneh pula, suka manganyau, memotong kepala orang. Benar-benar bukan hutan tropis romantis seperti yang ada dalam benak orang Eropa.

Dua tahun Haderland harus tinggal di 'peradaban', di Banjarmasin. Setelah itu, ia menyusul masuk daerah pedalaman. Pergi ke Gohong, tempat Barstein dulu mengangkat saudara dengan kepala suku. Haderland tidak bernasib sebaik pendahulunya, kepala suku tidak memperlihatkan sikap bersahabat. Hanya beberapa bulan ia tinggal di sana, lalu pindah ke Pulopetak, sebuah desa yang tidak satu sungai dengan kampungku. Di desa inilah ia mendirikan sejenis sekolah misi, serta mulai menyusun kamus. Bagian Belanda-Dayak menjadi tanggung jawabnya dan Dayak-Belanda menjadi bagian Becker. Sampai tahun 1844, sudah ada limapuluh ribu kosa kata bahasa Dayak Ngaju yang mereka kumpulkan.

Sebenarnya, sejak tahun 1843, mereka sudah merasa cukup menguasai bahasa Dayak Ngaju untuk mulai menerjemahkan Perjanjian Baru. Tetapi baru tahun 1844, mereka memulai pekerjaan ini. Mereka saling memeriksa hasil terjemahan masing-masing, lalu setelah itu meminta beberapa orang Dayak memeriksa hasilnya.

Alam Kalimantan yang keras membuat kesehatan Hardeland memburuk. Dokter menganjurkannya keluar dari Kalimantan. Makanya pada tahun 1845, ia dan istrinya pergi ke Afrika Selatan. Ia meneruskan penerjemahan Alkitab dari sana, sedangkan Becker tetap tinggal di Kalimantan.

Setahun kemudian, tepatnya di akhir tahun 1846, sebanyak 1500 Alkitab Perjanjian Baru dalam Bahasa Dayak Ngaju dicetak di Cape Town. Inilah Perjanjian Baru pertama dalam Bahasa ibu kami.

***

Becker dan Hardeland ingin melanjutkan pekerjaan mereka. Dari Kalimantan, Becker menawarkan diri untuk melanjutkan penerjemahan Perjanjian Lama. Hardeland juga mengajukan penawaran yang sama. Sayangnya, saat usul ini disetujui Lembaga Alkitab Belanda, Becker meninggal di Banjarmasin pada tahun 1849. Jadinya, Hardeland harus melanjutkan pekerjaan ini sendirian.

Tahun 1850, empat tahun setelah pencetakan Alkitab Perjanjian Baru, Hardeland kembali menginjakkan kakinya di Batavia. Setelah mengarungi Laut Jawa dengan kapal yang penuh kutu busuk, ia menginjakkan kakinya sebentar di Banjarmasin. Lalu langsung menetap di Palingkau, sebuah kampung juga. Menurut laporannya, kampung ini sudah jauh lebih maju daripada keadaan ketika ia pertama kali datang kesana. Murid sekolahnya sudah ada sekitar 300-400 orang, disamping itu, pengunjung gereja juga bertambah banyak.

Bulan pertama, ia lebih banyak menghabiskan waktunya untuk membangun rumah kayu. Ini menyita cukup banyak waktunya, karena harus merangkap arsitek, pemborong sekaligus tukang. Tetapi ini bukan penghalang utama tugasnya. Penyakit kolera dan penyakit perut sedang mewabah, membuatnya lebih banyak menghabiskan waktu menolong penduduk pribumi. Bahkan ia sendiri akhirnya terkena kolera, untunglah bisa sembuh. Sembuh dengan obat yang ia racik sendiri.

Beberapa penduduk pribumi membantunya dalam tugas penerjemahan. Salah satunya, seorang bernama Timotius Marat. Seorang yang menjadi pemberi informasi sekaligus rekan penerjemah tetap. Juga ada seorang yang hanya sekali disebutkan oleh Hardeland, Seorang kepala suku yang namanya tidak bisa dilepaskan dari sejarah kami, Tamanggung Ambo Nikodemus, atau Nikodemus Tomonggong Joyo Negoro. Ia merupakan satu dari antara sekian penduduk asli yang dibaptis dalam baptisan besar-besaran di Palingkau tanggal 31 Oktober 1842. Juga satu-satunya penduduk yang tidak kembali ke kepercayaan asal setelah baptisan itu.

Menurut Hardeland, penduduk Pulopetak yang berjumlah 20 ribu jiwa. Hanya sedikit yang bersekolah. Walaupun demikian, beberapa orang Dayak akhirnya bisa dididik menjadi guru. Murid sekolah juga membaca buku di rumah, sekalian mengajar orang tua dan sanak saudaranya. Memungkinkan terbentuknya kelompok melek huruf yang bisa membaca Alkitab. Orang-orang Dayak yang melek huruf ini sangat menghormati buku. Mereka menyimpannya dalam kotak khusus serta melindunginya dengan baik sehingga tidak rusak.

Tahun 1851, pemerintah Belanda meminta Hardeland menyusun kamus bahasa Dayak. Ia menerimanya, merasa mampu melakukannya sambil menerjemahkan Perjanjian Lama. Salah satu dari kamus inilah yang tersimpan di kotak kaca museum yang dikelilingi ilalang itu. Pada tahun 1858, Alkitab bahasa Dayak dicetak, Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru yang telah direvisi.

***

Sumber: