Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Dyslexia
Shalom, selamat pagi saudaraku. Kemarin malam (22/10) kami bersepuluh (mungkin lebih) teman-teman se-SMA ditraktir nobar oleh teman yang kini telah bermetamorfosis menjadi penulis novel, lalu novelnya diangkat menjadi film berjudul: Wonderful Life.*
Film ini mengangkat kisah nyata penulisnya dalam membesarkan anaknya yang mengalami dyslexia, dan kesan saya film ini cukup jujur. Jadi saya juga akan jujur di awal tulisan ini bahwa saya bukanlah penulis resensi profesional. Tulisan ini mungkin lebih baik dibaca sebagai tulisan dari seorang teman untuk seorang teman lama. Kalau ada yang mau menyebutnya bias atau subyektif ya terserah.
Tulisan ini juga tidak bermaksud mengajari pembaca tentang dyslexia, sebab ada banyak dokter dan artikel di internet yang bisa dirujuk untuk itu. Lihat (4).
Dyslexia
Film ini dibuka dengan tampilan gambar-gambar yang apik dan menarik, yang membuat saya bertanya apakah ini hasil karya Aqil? Pembukaan yang bagus seakan menjanjikan film yang bagus pula, dan itu satu nilai plus buat film ini.
Lalu film beralih ke gambaran rumah yang bagus dan suasana sibuk di pagi hari dalam sebuah keluarga mapan di Jakarta. Film lalu mengalir lancar menunjukkan seorang ibu muda yang cukup kewalahan baik dengan pekerjaan di kantor dan juga dengan anaknya. Lalu perlahan si ibu mulai sadar bahwa anaknya sulit belajar dikarenakan sulit membaca. Hal ini dikenal sebagai "dyslexia."
Salah satu artikel menyatakan bahwa 15-20% dari seluruh populasi anak di Amerika mengalami dyslexia, dan 80% dari semua anak yang mengalami kesulitan belajar diduga juga mengalami dyslexia. Artikel itu juga menyebut hasil penelitian sebuah tim dari Yale University yang melaporkan bahwa ada gen yang diduga merupakan penyebab dyslexia, yaitu DCDC2. (4)
Artinya, saya menduga bahwa banyak orangtua yang juga menghadapi situasi sulit akibat anak yang dyslexia. Dan dokter akan mengatakan bahwa tidak ada obat untuk dyslexia. Lalu bagaimana solusinya? Itulah yang dibahas film ini.
Ada banyak momen yang menarik dalam film ini, satu di antaranya adalah ketika psikolog mengatakan kepada ibunya agar lebih banyak meluangkan waktu bersama anaknya. Amalia (yang diperankan Atiqah) lalu menjawab: "Lalu bagaimana saya mesti menghadapi anak saya?" Psikolog lalu menjawab: "Anak bukanlah musuh yang harus ditaklukkan, belajarlah menjadi temannya."
Sampai di sini, saya lalu berpikir, bukankah banyak guru dan orangtua juga sering menghadapi anak-anak bermasalah seperti menghadapi seekor kuda liar yang mesti ditaklukkan dan dijinakkan? Anak-anak yang sulit diatur dan dimengerti dengan pola yang standar seringkali dianggap tidak cocok dengan sistem, dan mesti ditaklukkan.
Ini adalah salah satu momen yang penting dalam film ini.
3 babak
Sepanjang menonton film ini, pikiran saya berusaha keras mengingat-ingat apa yang masih bisa saya ingat tentang penulis novel Wonderful Life ini dengan memori yang tidak terlalu baik ini. Amalia, sejauh yang saya ingat ketika sekelas dengannya, secara umum adalah teman yang cantik, supel dan menyenangkan. Meski demikian memang jarang kami ngobrol secara langsung. Bapaknya adalah dokter bedah terkenal di kota kami, dan keluarga mereka tinggal di salah satu kawasan elit di kota. Mungkin itu sebabnya hampir tidak pernah kami teman-teman sekelas bermain atau mampir ke rumahnya, mungkin agak segan. Padahal mungkin dia juga biasa saja kalau dikunjungi.
Entah bagaimana, dulu timbul kesan saya bahwa Lia -demikian kami menyebutnya- agak kurang bahagia dengan semua kecukupan yang dimilikinya. Dan karena film ini sedikit banyak menampilkan dengan jujur memoar Amalia, saya jadi tahu bahwa dugaan lama itu mungkin tidak meleset. Semoga saya keliru, Lia. ;-)
Tentu Anda pernah mendengar kalimat ini: "Di balik seorang laki-laki sukses selalu ada seorang istri yang setia memotivasi." Namun untuk kasus-kasus seperti Lia ini, kalau dirangkum dalam satu kalimat kira-kira begini: "Di balik seorang laki-laki sukses kemungkinan besar ada anak-anak yang menderita dan haus perhatian."
Tentang komentar tersebut, tercermin antara lain dari beberapa adegan film yang menunjukkan pertengkaran antara Lia dan bapaknya mengenai Aqil. Memang tidak diceritakan bahwa ayah Amalia adalah seorang dokter bedah sukses, namun yang selintas terlihat adalah kakek dari Aqil ini memiliki tuntutan yang sangat tinggi bahwa cucunya mesti berprestasi akademik yang bagus, lalu mendapat scholarship dan seterusnya.
Sebelum saya menonton film ini, saya berharap dapat membaca buku memoar Lia sebagai bekal memahami film ini dengan lebih baik, namun apa daya saya cuma sempat membaca beberapa artikel resensi buku ini di internet. Salah satu artikel mengatakan bahwa Lia menulis bahwa hidupnya baik-baik saja sampai dia berkeluarga dan memiliki anak. Lalu semuanya seperti kacau.
Saya lalu jadi teringat sebuah pepatah yang mengatakan bahwa "hidup ini bagaikan drama 3 babak, yang babak keduanya ditulis dengan buruk." Saya lupa siapa yang mengucapkan pepatah ini, namun saya kira ada benarnya untuk kisah hidup Lia, dan juga tentunya banyak keluarga yang lain. Tugas kitalah untuk berdamai dengan orangtua, anak, pasangan dan orang-orang lain, dan membereskan kekacauan babak kedua tersebut. Dan kalau kita berhasil menyelesaikan babak kedua dengan baik, maka kita akan memasuki babak ketiga dengan lebih matang.
Saya senang bahwa di akhir film diceritakan bahwa Lia akhirnya dapat menerima anaknya dengan segala kelebihan dan kekurangannya, bahkan ia "menghadiahkan" satu dinding rumah untuk digambari oleh Aqil. Semoga Lia juga dapat berdamai dengan orangtuanya, dan memasuki babak ketiga hidupnya dengan penuh optimisme. Mungkin ini saatnya untuk menjadi konsultan untuk karir babak kedua, Lia? Lihat artikel (5) untuk konsultan karir babak kedua.
Kritik
Seorang teman menyarankan supaya saya menulis dengan jujur dan kritis tentang film ini. Jadi saya mesti menulis beberapa hal sebagai saran bagi kru film, meskipun demikian jangan tanyakan pada saya tentang seni sinematografi atau apapun namanya itu.
Saya belum membaca novel dan memoar Lia, jadi tentunya saya tidak dapat membandingkan apakah film ini setia dengan novel aslinya atau tidak. Kalau pun tidak demikian, saya kira sutradara telah berhasil menutupi kelemahan novel aslinya.
Kelebihan lain dari film ini adalah keberanian menerobos pakem film Indonesia yaitu tema klasik: HCL (horor, cinta, lawak). Jarang ada sutradara dan produser film indonesia yang berani mengangkat topik di luar tiga pakem tadi. Dan film ini adalah salah satu yang berani mendobrak tradisi tersebut, jadi saya angkat dua jempol untuk sutradara dan produser Wonderful Life. Semangat "volunteerism" dalam membawa pesan-pesan pendidikan tanpa harus menggurui tersebut mesti diteladani.
Satu hal lagi, meski film ini memuat banyak pesan dan momen yang menarik, namun terasa agak datar. Belum menyentuh secara emosional. Hampir-hampir tidak ada adegan yang membuat penonton terharu. Demikian juga ketika Atiqah tahu-tahu menghentikan mobil di jalan lalu berkata kepada Aqil: "mulai sekarang kamu boleh jadi apapun yang kamu suka," tidak jelas apa pemikiran yang melatarinya. Jadi terkesan agak melompat di adegan ini.
Terakhir, mungkin film ini akan lebih menarik jika di bagian akhir ditampilkan beberapa lukisan hasil karya Aqil yang asli, seperti di film-film Jackie Chan juga sering ditampilkan adegan dari proses pembuatan filmnya. Itu akan membantu penonton mengapresiasi kemampuan lebih Aqil.
Selebihnya, film ini melampaui ekspektasi saya sebelum berangkat nobar kemarin.
Penutup
Sebagai penutup ulasan singkat ini, ada beberapa tips, toolkit dan juga apps yang sudah dikembangkan untuk membantu anak-anak dyslexia, lihat (1)(2)(3).
Supaya komentar ini agak berimbang, berikut ini kutipan komentar beberapa teman yang juga ikut nobar:
a. Rachma: filmnya bagus. Setiap anak unik. Penerimaan ortu yang sulit biasanya ketika tahu anaknya tergolong ABK (anak berkebutuhan khusus). Inspiratif.
b. Dini Kurniani: banyak ortu yang gak paham... Lebih parahnya kalau guru juga gak mampu memberikan solusi
c. Dyah Retno: aku pengen film indo bisa menyamai film disney yang dalam 1 script komplet bermuatan humor, action, drama, dengan takaran yang pas. Dan berhasil memunculkan sisi kemanusiaan setiap cerita dengan sangat menyentuh.
d. Yanthie: menjadi orang tua itu sangat sulit yoo... Lebih banyak memaksakan kehendak kepada anak dibanding memahami seorang anak.
Izinkan saya menutup ulasan singkat ini dengan kalimat: Salut dan angkat topi untuk sutradara dan semua kru film. Dan terus berkarya, buat Lia dan Aqil!
Be the miracles.
Versi 1.0: 23 oktober 2016, pk. 00:26
VC
* Thanks buat Amalia Prabowo atas film yang sangat bagus dan inspiratif ini. Titip salam buat Aqil.
Referensi:
(1) National Centre for Learning Disabilities. http://www.readingrockets.org/sites/default/files/DyslexiaToolkit.pdf
(2) http://dyslexiahelp.umich.edu/tools/apps
(3) British Dyslexia Association. https://bdatech.org/what-technology/apps/
(4) http://www.medicalnewstoday.com/articles/186787.php
(5) http://www.huffingtonpost.com/joe-seldner/guru-of-second-act-careers_b_7561726.html
Dari seorang hamba Yesus Kristus (Lih. Lukas 17:10)
"we were born of the Light"
Prepare for the Second Coming of Jesus Christ:
http://bit.ly/ApocalypseTV
visit also:
http://sttsati.academia.edu/VChristianto
http://bit.ly/infobatique
- victorc's blog
- Login to post comments
- 5709 reads
halo, para sahabat...
Met malam, ini ada update info ttg Disleksia dari sahabat saya Amalia via FB...Saya bagikan di sini, semoga berguna.
Dalam rangka bulan Disleksia... perkenankan saya menyebar informasi yang sangat bermanfaat untuk para ibu. Saya dapat dari ibu dr Kristiantini Dewi Sp.A
Silakan ....
IDENTIFIKASI DINI DISLEKSIA
Identifikasi dini terdiri dari dua hal penting yaitu :
1. Mengidentifikasi anak yang memiliki kesulitan dalam belajar dan membaca/literasi
2. Memonitor dan mengobservasi anak yang nampak resisten terhadap intervensi yang diberikan sehingga jelas tampak tertinggal dibandingkan teman sebayanya.
Hal-hal penting yang harus diperhatikan dalam proses identifikasi kebutuhan khusus adalah :
1. Komunikasi dan Interaksi
2. Kognitif dan proses belajar
3. Perkembangan emosional dan mental
4. Kebutuhan fisik dan atau profil sensoris lain
Identifikasi dini sangat diperlukan jika karakteristik kesulitan yang nampak merupakan tanda potensial disleksia, yaitu :
• Kesulitan mengenali huruf dan bunyi huruf
• Kekurangtrampilan Short term memory dan working memory
• Lambat dalam memproses sesuatu informasi
• Kesulitan dalam mengeksekusi tugas dalam susunan/urutan yang benar
• Kekurangtrampilan kemampuan mengatur barang-barang atau mainan atau alat belajarnya
• Aspek genetik atau adanya riwayat disleksia dalam keluarga
• Ketidaktrampilan koordinasi motorik
Faktor-faktor penting yang merupakan tanda risiko disleksia adalah :
• Ketrampilan auditori dan bahasa
o Anak usia pra sekolah biasanya sudah mampu menyimak cerita/obrolan/dongeng sederhana, dan anak mampu menceritakannya kembali dalam urutan kisah yang tepat.
o Anak disleksia biasanya kesulitan dalam menyimak dan kesulitan dalam menceritakan ulang sesuai dengan urutan yang tepat. Bisa jadi anak bercerita dimulai dari bagian tengah atau bagian akhir dari cerita tersebut.
• Rhyming (sajak berima)
o Anak pra sekolah sudah mampu bertukar informasi dengan melontarkan pertanyaan; anak mampu mengenali puisi sederhana yang berima dan menyadari hal-hal lucu jika sesuatu tidak berima seperti yang diharapkan.
o Kegiatan yang bisa menunjukkan kemampuan ini adalah bernyanyi dan menghentakkan kaki sesuai dengan irama atau ketukan lagu, atau sambil bertepuk tangan sesuai dengan irama/ketkan lagu
o Anak disleksia biasanya kesulitan mengikuti irama ketukan lagu, dan tidak sensitif terhadap rima dalam suatu puisi
• Kosa kata
o Anak pra sekolah sedang berkembang kemampuan pemahaman terhadap kosa kata.
o Penelitian melaporkan bahwa kecukupan jumlah dan pemahaman kosa kata di usia pra sekolah merupakan modal utama yang baik bagi kelanjutan proses belajar membaca
o Anak disleksia seringkali menunjukkan kemampuan pemahaman kosa kata yang lebih terbatas dibandingkan usianya
• Phonological awareness
o Phonological Awareness (PA) adalah kemampuan individu untuk membedakan unit suara terkecil dari suatu huruf.
o Penelitian melaporkan bahwa gangguan PA di usia pra seolah merupakan faktor utama yang berhubungan dengan kejadian disleksia.
Knight, Day dan Patton-Terry (2009) mengatakan bahwa proses identifikasi di usia dini bukan semata-mata untuk melabel semua kasus yang sulit baca sebagai disleksia, namun perlu disadari bahwa kenyataannya di usia 3 tahun ini, sebagian anak sudah menunjukkan perilaku yang merepresentasikan bahwa kemampuan bahasa lisannya mengalami hambatan perkembangan, kemampuan phonological awareness nya terganggu, kemampuan koordinasi motoriknya tidak sebaik usianya. Kasus-kasus inilah yang perlu dicermati, karena sebagian dari kasus-kasus tersebut ternyata memang penyandang disleksia, sementara yang lainnya adalah anak-anak yang membutuhkan intervensi tertentu sebelum akhirnya mereka mulai belajar membaca. Intinya, kedua kelompok kasus tersebut memang menunjukkan risiko kesulitan membaca.
Inilah esensi dari identifikasi dini – bukan untuk melabel – namun untuk mengidentifikasi siapa anak yang berisiko memiliki kesulitan dalam literasi.
Referensi :
Dyslexia in The Early Year, Gavin Reid, 2017
Dari seorang hamba Yesus Kristus (Lih. Lukas 17:10)
"we were born of the Light"
Prepare for the Second Coming of Jesus Christ:
http://bit.ly/ApocalypseTV
visit also:
http://sttsati.academia.edu/VChristianto
http://bit.ly/infobatique