Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Waiting for The Perfect One

Purnomo's picture

         Bertahun-tahun ia bersekolah mengambil spesialisasi retail marketing sampai mendapat gelar prof. Dia laris dipanggil menjadi pembicara di berbagai seminar. Sejak lulus SMA dia ingin mendirikan sebuah one-stop shopping super mall megah di kotanya. Dan suatu saat kemudian super mall itu berdiri.


         Tetapi bukan dia pemiliknya. Itu milik temannya yang dulu tinggal di kampung kecil; yang selalu ikut menjadi pembantunya setiap dia pergi memberi seminar hanya karena ingin mendengar ceramahnya. Dulu ibunya jual lotek. Lalu dia memberi sentuhan moderen di warung lotek itu dengan memasang papan nama 'The Waroeng of Low Tech' padahal tambahan item jualannya hanyalah kartu pulsa saja. Kegigihan dan kreativitasnya membuat usahanya makin melebar dan terkenal sampai beberapa bankir tertarik dan menawarinya pinjaman modal dagang.

         Profesor itu menghela nafas di depan super mall itu. Dia belum punya apa-apa. Dia tak pernah mulai dari gerai kaki lima karena itu bisnis yang penuh risiko. Dia ingin langsung memiliki supermall, tetapi uangnya tak pernah cukup, bahkan untuk membeli lahannya saja tidak. Ia melihat sekeliling. Di taman itu banyak pedagang kaki lima. Ia berjalan menghampiri sebuah lapak dan bertanya, "Pak, apakah uang 250 juta rupiah cukup untuk berdagang di sini?"

         "O, lebih dari cukup Pak, kalau hanya jualan rokok dan minuman seperti saya. Dengan uang sebanyak itu Bapak bisa membuka lapak jual beli hape dan bebe. Tetapi Bapak mau dagang di mana? Sudah tidak ada tempat lagi, Pak. Lagipula Bapak sudah tua, apa Bapak masih kuat lari kencang kalau gerombolan satpol PP datang?"

         Kembali Profesor itu menghela nafas. Sudah terlambat, ketika dia terbangun dari mimpi seribu satu malamnya. Selama ini dia menggeluti ilmu retail marketing dalam teori, tak pernah mencobanya dalam praktek.

         Seperti juga mereka yang saat ini gemar beradu-teori tentang segala sesuatu yang super ideal. Kita berusaha menjadi ahli tentang pasangan yang super ideal, kita berusaha mempelajari bagaimana sebuah gereja super ideal yang seharusnya. Apa yang dulu adalah sesuatu yang sederhana menjadi pelik karena disemayamkan di tempat tinggi sehingga kita tak bisa lagi menjangkaunya untuk dijadikan sebuah realiti.

         Mengapa kita tak pernah mendengar pertanyaan Yesus, "Berapa banyak roti yang ada padamu? Cobalah periksa!"
         Yang ada padamu saat ini, bukan yang akan kita miliki kelak seperti milik mereka-mereka yang bergelar manusia sukses, manusia perkasa, manusia teladan.

         Jika saat ini hanya ada 5 roti jelai apakah kita harus menunggu sampai memiliki roti bakeri? Menyedihkan bila keinginan itu jadi ketika tubuh sudah melemah dan waktu hampir habis. Lebih baik kita bergegas membawa roti jelai itu kepada Yesus agar Ia memberkatinya.

                                                                 (19.10.2013)