Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Sekilas dari Keabadian (17)

John Adisubrata's picture

Kesaksian Ian McCormack

Oleh: John Adisubrata

PERALATAN MEDIS KUNO

Serahkanlah perbuatanmu kepada TUHAN, maka terlaksanalah segala rencanamu.” (Amsal 16:3)

Setelah membuka kedua pintu belakang kendaraannya, pengemudi ambulans tersebut, seorang pria keturunan Perancis, segera menarik keluar stretcher di mana saya terbaring.

Dengan bantuan seorang perawat wanita yang masih muda, ia mengangkat dan memindahkan tubuh saya ke atas sebuah ‘wheel chair’ (kursi-roda). Lalu mereka berdua bergegas mendorongnya berlari-lari melalui lorong-lorong rumah sakit, sebelum membawa saya masuk ke dalam sebuah ruang opname.

Di sana perawat muda itu berusaha mengukur tekanan darah saya. Ia memompa alatnya dengan harapan, agar ia bisa segera membaca hasilnya. Tetapi setelah mencobanya beberapa kali, alat pengukur tekanan darah tersebut tetap tidak mau memberikan tanggapan apa-apa.

Mula-mula ia menyangka, bahwa alat yang dipergunakan olehnya tersebut sudah rusak. Sebab secara jujur saya harus mengakui, ... ruang opname itu dipenuhi oleh peralatan-peralatan kedokteran yang amat ketinggalan zaman. Semuanya tampak seperti alat-alat medis yang berasal dari zaman Perang Dunia Kedua saja!

Selain itu seolah-olah sebagai orang ketiga, saya merasa diri saya sedang melayang-layang di dalam ruang opname tersebut, … memperhatikan semua yang terjadi di sana dari atas. Dari ketinggian langit-langitnya, menatap ke bawah, saya mengawasi perawat wanita yang masih terus berjuang mengukur tekanan darah tubuh saya.

Setelah berusaha menggunakan beberapa alat-alat yang lain, akhirnya ia berhasil mendapatkannya! Secepatnya ia menyalin data tersebut, lalu dengan bantuan pengemudi ambulans yang masih ada di situ, ia berlari-lari mendorong kursi-roda saya pergi memasuki sebuah ruangan yang lain.

Di sana kasus saya diserahkan oleh mereka kepada seorang dokter keturunan India yang masih berusia amat muda. Dokter itu memulai rutinnya dengan menanyakan nama saya, alamat, umur dan lain sebagainya. Tentu saja pada waktu itu saya sudah tidak mampu lagi untuk menjawab pertanyaan-pertanyaannya!

“Oh, … tolonglah aku! Jangan bertele-tele seperti ini!” Saya berseru di dalam hati dengan gemas: “Ayo cepat, … aku harus segera kau obati dengan anti-toksin, … sekarang juga!”

Oleh karena pada saat itu saya hanya mampu menggoyang-goyangkan kedua bola mata saya saja, saya melirik ke samping kirinya, di mana seorang dokter lain, juga keturunan bangsa India, yang sudah berusia lanjut dan tampak jauh lebih berpengalaman dari pada dia, sedang asyik menulis di atas meja kerjanya. 

Dengan sinar pandangan mata yang memancarkan keputus-asaan serta permohonan minta tolong yang tak terlukiskan lagi, saya menatap wajahnya terus-menerus tanpa berkedip sambil berteriak-teriak memanggil dia di dalam hati: “Oh Pak Dokter, … tolonglah saya! Tolonglah saya!”

Permohonan tak terucapkan itu akhirnya berhasil menggugah hatinya, ketika ia mengangkat kepalanya dan memandang wajah saya. (1)

Dokter tua itu melompat berdiri dari tempat duduknya, bergegas menghampiri saya sambil berteriak marah kepada rekannya: “Mengapa engkau tidak menolong anak muda ini secepatnya? Ia membutuhkan anti-toksin saat ini juga! Mengapa engkau tidak segera menyuntik dia dengan obat itu? Keadaannya sudah amat kritis! Ayo, … cepat! Cepat!”

Teriakannya cukup berwibawa untuk seketika itu juga mengubah suasana tenang yang sedari tadi menguasai ruang opname tersebut!

Selama mereka berjalan panik kian kemari di sekitar kursi-roda saya, saya bisa mengikuti semua percakapan mereka dengan jelas sekali. Kendatipun kondisi tubuh saya sudah amat memburuk, bahkan saya yakin sekali, … ajal saya sudah hampir tiba, saya tetap sadar akan segala sesuatu yang terjadi di dalam ruangan itu. Seolah-olah dari ‘luar tubuh’, saya tetap bisa memperhatikan dan mengikuti segala perkembangan-perkembangan yang sedang terjadi pada diri saya di sana.

Dokter tua itu membungkukkan dirinya sambil menatap wajah saya dengan pandangan mata penuh rasa iba, lalu berkata untuk memberi semangat kepada saya: “Anak muda, aku tidak yakin engkau masih bisa mendengar suaraku atau tidak. Jika bisa, perhatikanlah perkataanku ini! Kami akan tetap berusaha menolongmu, asal engkau juga bersedia membantu kami! Janganlah menyerah terlebih dahulu. Mari bersama-sama kita melawan racun yang sudah menjalar di mana-mana di dalam tubuhmu ini. Ayo, … berusahalah terus, … jangan mundur! Kami semua ingin melihat engkau sembuh dan menjadi sehat kembali!”

Penuh kepanikan beberapa perawat ikut membantu dia memberi suntikan-suntikan anti-toksin di berbagai bagian tubuh saya. Mereka juga menggantungkan sebuah tabung tetes serum di samping kursi roda saya yang langsung diinfuskan melalui lengan tangan kiri saya.

Salah seorang perawat wanita yang masih muda berusaha menyuntik tangan kanan saya. Menggunakan sebuah jarum yang amat besar, ia berusaha menemukan urat-urat nadi di antara jari-jari tangan saya. Tetapi oleh karena kulitnya sudah melepuh besar, dan juga peredaran darah tubuh saya sudah tidak keruan dan hancur berantakan, upayanya tersebut tidak berhasil sama sekali.

Kulit tangan saya yang tertusuk jarum itu menggelembung besar, dipenuhi oleh cairan obat yang menolak untuk ikut terjalin di dalam peredaran darah tangan saya. Karena perawat itu gugup sekali, tangannya yang gemetaran mengakibatkan jarum suntik di tangannya menjadi tergoyang kian kemari, sehingga kulit tangan saya menjadi sobek dan terluka.

Selain itu ia juga berusaha mengurut gelembung tersebut menggunakan tangan kirinya, untuk memaksakan cairan obat anti-toksin itu memasuki jaringan peredaran darah tangan kanan saya.

Kendatipun tubuh saya sudah tidak bisa menanggapi rasa sakit lagi, saya memandang wajahnya sambil berteriak di dalam hati: “Hai, tolong … berhati-hatilah! Jangan sampai engkau merusak kulit tanganku!”

(Nantikan dan ikutilah perkembangan kesaksian bersambung ini)  

SEKILAS DARI KEABADIAN (18)

Kesaksian Ian McCormack

VONIS YANG TERAKHIR