Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Russian Dolls tak Pernah Tepat Waktu

y-control's picture

Dua hari terakhir ini tanpa sengaja saya menikmati dua cerita yang hampir sama. Yang pertama adalah sebuah film Perancis yang judul bahasa Inggrisnya adalah Russian Dolls dan satunya lagi sebuah novel berjudul Cinta tak Pernah Tepat Waktu karya Puthut EA. Saya tidak tahu apakah Puthut EA pernah menonton film itu atau tidak, tapi saya tetap yakin kemiripan tema cerita antara keduanya adalah sebuah ketidaksengajaan. Tanpa bermaksud menjadi spoiler, kedua cerita itu berkisah tentang seorang pria yang mencari jodohnya. Meski karakter kedua tokoh utama dan dan banyak hal lainnya dalam dua cerita itu sama sekali beda, tapi itulah intinya.

Sebenarnya, kedua cerita tersebut, maupun karakternya, sama sekali lain dengan hidup dan sifat saya. Kedua tokoh di kedua cerita itu sudah banyak mencoba menjalin hubungan dengan wanita-wanita, meski tidak semuanya berpacaran juga. Sedang saya? Saya tidak banyak melakukannya, saya juga tidak begitu suka atau ingin bergonta-ganti pacar. Kedua tokoh itu juga sama-sama berusia 28 tahun dan berprofesi sebagai penulis (yang di film penulis gagal sedang yang di novel kelihatannya lumayan sukses), sedangkan saya berusia 25 tahun dan belum bisa juga menulis. Kedua tokoh itu sama-sama sering terganggu dengan pertanyaan yang diajukan keluarga (yang di film oleh kakeknya, yang di novel oleh orang tuanya) yang ingin segera melihat pasangan hidup mereka. Sedangkan keluarga saya nampaknya lebih senang dengan status single saya saat ini. Kedua tokoh itu diceritakan punya kesulitan dalam komitmen (meski masalah tokoh yang di film disebutkan karena terlalu ingin memilih yang ‘terbaik’) sedangkan saya? Ah, bodohnya, kenapa saya mengajukan pertanyaan sulit kepada diri sendiri sih? Oke.. kalau saya masalahnya mungkin malah karena agak keterlaluan dalam memandang komitmen saya, seakan komitmen itu sebuah nazar saja. Demikianlah, walau pada dasarnya film dan novel itu sama sekali bukan gue banget, tapi saya masih tetap lumayan kepikiran saat menikmati keduanya. Mungkin juga karena baru terjadi kemarin.

Pikiran saya saat menikmati kedua cerita tsb memang masih berhubungan dengan kejombloan saya saat ini. Memang di satu sisi saya masih ingin mengejar sesuatu yang selain pacar, namun sangat munafik juga kalau saya bilang tidak ada masalah jadi jomblo. Dan saya rasa tidak seorang pun, siapapun dia, yang tidak pernah merasa tak berdaya dalam menghadapi masalah asmara. Saya pun berulang kali merasakan ketidak berdayaan itu, baik saat jatuh cinta maupun saat sekarang, yakni masa ketidakberdayaan saya terhadap masa lalu.

Satu hal yang menggelitik juga terjadi di salah satu adegan film Russian Dolls. Diceritakan si tokoh utama mengeluhkan kebuntuannya saat menulis sebuah cerita cinta. “Aku tak akan bisa menulis tentang cinta karena aku tidak punya pengalaman tentangnya..” Andai mungkin, saat itu juga saya harus beri dia tos atau menjabat tangannya. Saya langsung teringat betapa sering saat mencoba mengarang sebuah cerita, saya harus menyerah di bagian kisah cinta tokohnya. Alasan pertama karena saya terlalu sering khawatir kalau kisah tersebut akan merefleksikan kehidupan asmara saya yang tidak sukses itu. Dan kalau tetap berusaha membuatnya sefiktif mungkin, yang terjadi biasanya malah akan jelek, tidak orisinil dan terasa aneh.

Entah dari bahan apa Tuhan membuatnya. Cinta, atau dalam hal ini lebih cocok kalau memakai istilah asmara, memang bisa menyenangkan sekaligus menjengkelkan. Dia menjengkelkan bagi saya saat ini. Bagaimana tidak? Ia bisa begitu 'kurang ajar' dan tanpa permisi masuk ke pikiran yang sedang berusaha memikirkan yang lain. Ia bisa menyamar menjadi film, novel, lagu, gambar sampai kepada aroma, atau batu sekalipun. Dan tiba-tiba kendali pikiran ia ambil alih. Tapi, saat kita bisa segera memergokinya, seringkali ia hanya akan senyum-senyum saja, dengan senyum yang memang manis itu. Nah, barangkali itulah saat yang tepat bagi kita untuk membalas kekurangajarannya, yaitu dengan membeberkannya kepada orang lain seperti yang saya lakukan saat ini. Ah, rasanya saya harus belajar lebih keras lagi untuk menuliskan sebuah cerita cinta. Atau mencarinya dulu ya? Nulis dulu lah… hehehe

Indonesia-saram's picture

Mengapa Ragu?

Mengapa ragu menuliskan sesuatu tentang cinta? Mengapa ragu untuk menulis apa adanya, sejauh yang Saudara pahami? Mengapa pula ragu untuk menulis dari sudut pengalaman pribadi Saudara? (Aduuuh, kelihatannya jadi resmi banget ya?) Gini, lho. Mereka bilang, kalau mau nulis, ya nulis saja dulu. Nanti kalau sudah siap, liat lagi. Lagipula, masih kata mereka, menulis dari pengalaman sendiri merupakan nilai berharga sebagai awal. Yah, namanya juga nulis.

 

"Karena bahasa Indonesia dahulunya adalah lingua franca"

__________________

_____________________________________________________________
Peduli masalah bahasa? Silakan bertandang ke Corat-Coret Bahasa saya.

rcdp's picture

Cinta tak pernah tepat waktu

Kok belom pernah liat novelnya ya ? Baru ya ?
y-control's picture

novel

dibilang baru juga engga, yg jelas warna sampulnya merah dan (ini yg sering membingungkan) di depannya ada tulisan yg sering dikira judul bunyinya: "Berani beli Cinta dalam Karung?" dan ada gambarnya karung, padahal di dalam disebutkan kalo judul novel itu "Cinta tak pernah tepat waktu." heheh..