Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
DUNIA ADALAH SEBAGAI LADANG BEKERJA
“Tuhan Allah mengambil manusia itu dan menempatkannya dalam taman Eden untuk mengusahakan dan memelihara taman itu” (Kej. 2:15), dalam Visi alkitabiah, pemelihara untuk mengatur dunia Allah bagi-Nya menurut kehendak-Nya yang dinyatakan. Allah menempatkan Adam untuk menangani taman secara sempurna menggambarkan mandat budaya kerja yang Allah berikan. Kita harus melihat seluruh aturan, penciptaan, termasuk, tentu saja, sesama kita dan kita sendiri, sebagai milik kita, sebagai tukang-tukang kebun Allah , bertanggung jawab untuk mengusahakannya. Jangan pernah lupa bahwa kemuliaan Allah dan kebahagian manusia selalu dimaksudkan untuk berjalan bersama! Di mana kita benar-benar mempunyai yang terdahulu, kita akan mempunyai yang terkemudian juga. Tidak dapat dikatakan terlalu sering bahwa dunia ini dalam setiap arti dunia Allah, yang makhluk manusia-Nya harus belajar untuk menanganinya dengan hormat, untuk pujian kepada-Nya.
“Maka Allah melihat segala yang dijadikan-Nya itu, sungguh amat baik. Jadilah petang dan jadilah pagi, itulah hari keenam” (Kej. 1:31). Dunia ada dalam keadaannya yang stabil sekarang ini oleh kehendak kuasa Penciptanya. Karena dunia merupakan dunia-Nya, kita bukan pemiliknya yang bebas melakukan apa yang kita suka, tetapi pemelihara, dapat menjawab kepada-Nya atas cara kita menangani sumber-sumbernya. Disamping itu, karena ini adalah dunia-Nya, kita tidak boleh meremehkannya. Banyak agama sudah membangun ide bahwa aturan material realitas ketika dialami melalui tubuh, bersama tubuh yang mengalaminya adalah jahat, dan sebab itu harus ditolak dan diabaikan sejauh mungkin. Pandangan ini, yang memerosotkan penganutnya, kadang-kadang sudah menyebut diri orang Kristen, tetapi sebenarnya sama sekali tidak kristiani. Karena benda, dibuat oleh Allah, adalah baik di mata-Nya dan begitu seharusnya di mata kita. Kita melayani Allah dengan menggunakan dan menikmati hal-hal temporal dengan penuh syukur, dengan penghargaan yang tinggi bagi-Nya, Pencipta mereka dan atas kemurahan-Nya memberikan semua itu kepada kita.
“Kami katakan ini karena kami dengar ada orang yang tidak tertib hidupnya dan tidak bekerja, melainkan sibuk dengan hal-hal yang tidak berguna. Orang-orang yang demikian kami peringati dan nasehati dalam Tuhan Yesus Kristus, supaya mereka tetap tenang melakukan pekerjaannya dan dengan demikian makan makanannya sendiri” (2Tes. 3:11-12). Allah sudah menetapkan kerja sebagai takdir kita, baik disini maupun sesudahnya. Sesudahnya? Ya, di kota surgawi “hamba-hamba-Nya akan beribadah kepada-Nya” dan kita akan memerintah sebagai raja sampai selama-lamanya (Why. 22:3,5), semuanya berarti bekerja secara aktif. Apa alasan-Nya merencanakan kehidupan kita dengan cara demikian? Kita melihat jawabannya ketika kita memerhatikan apa yang terjadi selama kita bekerja. Kita akan menemukan potensi kita sebagai tukang, belajar melakukan hal-hal dan mengembangkan ketrampilan, yang menyenangkan. Kita juga menemukan potensi dunia Allah sebagi bahan mentah bagi kita untuk digunakan, diatur, dan dijadikan bentuk, yang juga mengasyikkan. Seandainya kita, yang sudah diciptakan sedemikian, menjadi malu bekerja dan hanya memanjakan diri dengan bermalas-malasan dan mengejar kesenangan, seharusnya kita menghukum diri dengan ketidakpuasan yang mendalam dengan hidup.
“Aku melihat bahwa tidak ada yang lebih baik bagi manusia daripada bergembira dalam pekerjaannya, sebab itu adalah bahagiannya. Karena siapa akan memperlihatkan kepadanya apa yang akan terjadi sesudah dia?” (Pkh. 3:22), Allah menciptakan kita untuk bekerja, sifat manusia hanya menemukan pemenuhan dan kepuasan ketika kita mempunyai pekerjaan untuk dilakukan. Ini tampak dari cerita penciptaan, yang memberitahu bahwa Allah menempatkan Adam “di dalam taman Eden untuk mengusahakan dan memelihara taman itu” (Kej. 2:15). Pekerjaan itu pastilah menuntut pikiran dan usaha yang terus-menerus; meskipun demikian pastilah merupakan kemitraan yang berbahagia dengan Allah sepanjang jalan, mengatur kehidupan alami dan membentuk pertumbuhan spontan yang Allah berikan kepada pohon-pohon dan tanam-tanaman, dan Adam pasti sudah melihat dirinya sebagai memenuhi panggilan manusianya. Seandainya Allah tidak meminta kita, yang di buat seperti kita sekarang, untuk bekerja di dunia-Nya, pengalaman pemenuhan atas berbagai hal ini tidak akan menjadi milik kita. Tidak ada bentuk kerja dapat menjamin bahwa kebajikan, kasih, dan sukacita akan pernah menandai kita seandainya hidup kita tidak mempunyai bentuk pekerjaan dalam semua hal.
“Peringatkanlah kepada orang-orang kaya di dunia ini agar mereka jangan tinggi hati dan jangan berharap pada sesuatu yang tak tentu seperti kekayaan, melainkan pada Allah yang dalam kekayaan-Nya memberikan kepada kita segala sesuatu untuk dinikmati” (1Tim. 6:17). Allah memberi kepada kita semua hal untuk dinikmati, Ia berkehendak untuk dimuliakan melalui pelajaran kemanusiaan untuk menghargai dan mengagumi kebijaksanaan dan kebaikan-Nya sebagai Pencipta. Dengan kata lain, Allah menugaskan manusia untuk membangun budaya dan peradaban. Langsung pada awal, Allah mengenalkan Adam kepada panggilan yang ditentukan baginya dengan menempatkannya sebagai penguasa Taman. Adam harus belajar melihat seluruh aturan yang diciptakan sebagai milik di mana ia sebagai tukang kebun Allah, bertanggung jawab untuk mengusahakannya. Manusia bukan diciptakan untuk menjadi orang barbar, atau hidup dalam kebuasan, manusia diciptakan untuk memerintah alam, menguasainya, dan menikmati buah-buahnya, bagi kemuliaan Allah sang Pecipta, menurut prinsip yang tertulis dalam 1Timotius 4:4 “Karena semua yang diciptakan Allah itu baik dan suatu pun tidak ada yang haram, jika diterima dengan ucapan syukur.”
Thank and GBU
- arharahadian's blog
- Login to post comments
- 3943 reads