Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Besar itu baik?

Sri Libe Suryapusoro's picture

 

Suatu hari seseorang bertanya kepada saya, berapa jumlah jemaat di gereja Anda? Terus terang saya tidak pernah menghitungnya. Ketika saya datang ke gereja, saya langsung duduk. Mungkin suatu saat saya harus menghitung jemaat yang datang sebelum saya duduk. Tapi saya melihat beberapa orang bangga jika jumlah jemaatnya besar. Seorang pendeta dengan bangga mengatakan “Jemaat saya sekitar seribu orang dewasa.” Siapa yang tidak setuju kalau jemaat yang besar itulah yang terbaik?

Saya lihat semua setuju kecuali saya. Buktinya? Banyak sekali KKR yang diadakan saat ini. Sebagai kriteria kesuksesan ditentukan oleh jumlah yang datang dan jumlah yang maju ke depan (jika ada tantangan untuk ke depan). Semakin besar maka semakin puaslah panitia dan pembiacara akan menjadi laris dipakai dimana-mana. Saya bisa bicara seperti ini karena saya pernah menjadi panitia untuk KKR dan terlibat dalam persiapan maupun evaluasi KKR.

Bukan hanya KKR, sebuah pelayanan pun mengalami hal yang sama. Semakin besar maka semakin bangga orang-orang di dalamnya dan masuk ke katagori sukses. Semakin kecil semakin dianggap remeh. Memang menjadi besar itu tidak salah dan itu alami. Sama seperti diri saya, dulu saya kecil berat badan saya cuma 4 kg tetapi sekarang sudah besar bahkan sudah menikah. Tetapi sikap manusia tentang sesuatu yang besar lebih penting daripada yang kecil, itulah yang merisaukan saya. Sikap itu ada karena pandangan mereka tentang kesusesan.

Di dunia ini memang sudah tercipta pandangan tentang kesuksesan. Seorang yang sukses mempunyai posisi yang tinggi, mempunyai uang banyak, rumah yang besar dan mungkin istri yang cantik. Begitu juga ketika berbicara tentang gereja. Gereja yang sukses adalah gereja yang besar, banyak orang di dalamnya, mereka berpakaian rapi dan katagori lainnya. Inilah pengaruh dunia di dalam diri gereja dan bukan gereja mempengaruhi dunia. Pengaruh ini juga yang akhirnya membuat kita mengkatagorikan besar sebagai wujud kesuksesan. Jika sebuah pelayanan mempunyai banyak cabang maka pelayanan tersebut termasuk dalam daftar pelayanan sukses.

Mari kita lihat apa yang terjadi dengan diri Yesus. Wow… dia memiliki pendengar terbanyak waktu itu. Lihat saja, jumlahnya sampai lima ribu orang (biasanya yang dihitung hanya laki-laki jadi mungkin saja kalau ternyata jumlahnya sampai lima belas ribu). Sebuah jumlah yang sangat banyak. Hanya saja yang saya temukan di kitab Markus hanya dua kali Yesus berkotbah di depan orang banyak. Itupun tercatat mungkin karena adanya proses memberi makan jemaat yang ada. Seandainya tidak ada kejadian itu mungkin tidak dicatat di dalam Alkitab. Dengan kata lain penulis Alkitab tidak menganggap jumlah jemaat itu penting. Ini pendapat saya, bisa saja salah.

Yang saya heran, sepertinya jumlah tidaklah terlalu penting buat Yesus. Kalau memang Dia mau, Dia bisa memilih 500 orang untuk mengikut dia. Atau paling tidak Dia tidak perlu hanya memberi tahu muridNya akan arti perumpamaan. Bukankah kalau semakin banyak orang yang mengetahui artinya akan semakin baik? Lebih parah lagi, ketika Dia meninggal di kayu salib, Dia ditinggalkan pengikutNya. Yang tersisa hanya perempuan-perempuan yang saya tidak tahu berapa jumlah persisnya. Setelah itu Dia hanya bertemu dengan beberapa muridNya. Coba bayangkan jika Dia menemui seluruh penduduk Yahudi saat itu, mereka melihat secara langsung Yesus sudah bangkit, kira-kira berapa yang akan menjadi muridNya? Tapi sepertinya itu tidak dilakukannya.

Ketika saya memulai pelayanan ICL, saya berpikir untuk membuatnya besar. Tetapi saya salah, karena yang ada di pikiran saya hanyalah membuatnya besar. Saya mulai memikirkan uang yang harus saya dapatkan, keuntungan dari setiap hal yang saya lakukan dan strategi untuk membuat pelayanan tersebut besar. Sebenarnya pelayanan besar itu tidak salah. Yang salah adalah jika kita selalu memikirkan supaya pelayanan menjadi besar. KKR dengan jumlah peserta yang banyak juga tidak salah hanya saja jika jumlah menjadi tujuan utama itu bisa jadi salah.

Jangan pikirkan jumlah tetapi pikirkan apa yang bisa kita lakukan untuk orang lain. Jangan bayangkan imbalan tetapi bayangkanlah senyum orang-orang yang kita bantu. Memang bukan hal yang mudah. Membuat sesuatu yang besar itu sangat menggairahkan apalagi nama kita akan selalu dikenang. Sesuatu yang besar bisa membuat banyak orang mau terlibat. Tetapi ada sesuatu yang penting. Sedikit bukan berarti tidak berarti di bandingkan besar. Melayani lima orang sama dengan melayani lima ribu orang. Lalu jika bukan jumlahnya, apa yang membuat kita bisa dikatakan sukses?

Kuncinya, apakah kita benar-benar melayani orang lain atau kita sedang melayani diri sendiri? Hanya kita yang tahu dan kita tidak bisa menghakimi orang lain. Jika yang kita pikirkan hanyalah selalu pelayanan kita atau diri kita maka kita sedang mengarah ke tempat yang salah. Tetapi kalau yang kita pikirkan adalah orang-orang yang kita layani bahkan kita berani mengorbankan pelayanan ataupun posisi kita untuk orang yang kira layani, maka kita sedang ke arah yang benar. Tapi kalau Anda selalu mempedulikan kata orang dan mengharapkan pelayanan Anda merupakan pelayanan yang terbesar yang pernah ada, maka Anda perlu berganti arah. Kembalilah mementingkan orang yang kita layani bukan organisasi ataupun diri kita.

Sebenarnya prinsip ini sudah dipakai oleh perusahaan besar. Mereka begitu mengutamakan pelanggan bukan perusahaannya ataupun keuntungan pribadi. Perusahaan-perusahaan seperti itulah yang terus berkembang dan terus berjaya. Kalau yang dinamakan dunia sekuler justru menerapkan Alkitab mengapa kita justru meninggalkannya? Aneh.

__________________

Small thing,deep impact

Rusdy's picture

Amin! Sayang sekali banyak

Amin! Sayang sekali banyak pengikut Tuhan telah lupa bahwa mereka itu 'pengikut', bukan Tuhannya!!