Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Menggugat Negara !
Konvensi Montevideo tahun 1933, lebih mengkonkretkan arti dari sebuah negara yang telah menjadi wacana pada tahun-tahun sebelumnya. Dimana perlunya pemenuhan syarat-syarat adanya sebuah negara, yaitu: (a) mempunyai penduduk yang tetap; (b) mempunyai wilayah tertentu; (c) adanya kekuasaan yang berdaulat.
Di lain pihak dalam perjalanannya, negara akan berinteraksi dengan negara-negara lain, seperti kita ketahui bahwa negara merupakan subjek hukum internasional yang paling kuat, hal tersebut terjadi karena adanya : “kedaulatan” atau sovereignty. Menurut Max Huber, kedaulatan teritorial digambarkan sebagai berikut: “Kedaulatan dalam hubungan antara negara-negara menandakan kemerdekaan. Kemerdekaan berkenaan dengan suatu bagian dari muka bumi ini adalah hak untuk melaksanakan didalamnya, tanpa campur tangan negara lain, fungsi-fungsi suatu negara.”
Begitu pula seperti apa yang terjadi dengan Negara kita, Indonesia. Dimana telah terjadi sebuah ‘kontrak sosial’ pada aras nasional pada 19 Agustus 1945, saat pembacaan proklamasi kemerdekaan diucapkan oleh Soekarno atas nama bangsa Indonesia. Undang-Undang Dasar 1945 menggungkapkan banyak hal mengenai hal tersebut diatas, terutama pada bagian Pembukaan (preambule).
Kesadaran akan pembentukan sebuah negara didasarkan kepada hak setiap bangsa serta berkat dari Tuhan Yang Maha Esa, yang kemudian dilanjutkan dengan pembentukan suatu pemerintahan Negara Indonesia yang berbentuk republik, dimana kedaulatan ada di tangan rakyat serta menjunjung tinggi hukum?
Pertemuan Negara dan Pemerintah
Perkembangan lebih lanjut mengenai pemaknaan atas negara menjadi pembicaraan lebih mendalam dari Hagel, Karl Marx, Gramsci, Woodrow Wilson, Hans Kelsen, ataupun pemikir-pemikir lainnya.
Menurut Hagel sendiri, negara merupakan semacam roh kemuliaan yang besar yang akan membawa manusia ke arah kemakmuran . Hal tersebut dapat diartikan bahwa manusia baik secara individu maupun berkelompok harus tunduk kepada negara yang merupakan representasi dari roh kemuliaan besar tersebut agar tercipta apa yang diiginkan, yaitu kemakmuran. Hal tersebut dapat kita lihat menjadi dasar utama bagi kaum Hegelian (pengikut ajaran Hagel) dalam penekanan mereka tentang arti pentingnya sebuah negara.
Kritik keras akan keberadaan negara sekaligus mengkontra apa yang menjadi pemikiran Hegel dilontarkan oleh Karl Marx. Dimana Marx mengungkapkan bahwa masyarakat tidak perlu tunduk kepada negara, karena negara tidak berposisi diatas masyarakat tapi lebih kepada alat belaka yang digunakan oleh penguasa untuk menindas yang dikuasainya .
Dalam perkembangan kemudian perihal Negara dan Pemerintah diatas menurut penulis akhirnya menjadi lebih mengerucut pada satu konsep pemikiran dari Hans Kelsen mengenai Negara Kesejahteraan. Yang dimaksud dengan negara kesejahteraan menurut ide dari Hans Kelsen adalah negara yang banyak mencampuri dan menyelenggarakan kepentingan masyarakat (negara administrative).
Lebih lanjut dipaparkan bahwa tindakan administrative tersebut harus dilakukan dengan sebuah hukum, atau dalam istilah kerennya konstitusi, dimana dalam memuat segala tetek bengek masalah ketatanegaraan (fungsi, wewenang, tanggungjawab,…) serta mengatur juga perihal negara dan warga negaranya. Yang dalam bahasa penulis dapat dikatakan sebagai aturan main baku/birokrasi, yang menjadi batasan-batasan bagi keduanya, baik bagi negara dan pemerintah juga warga negaranya.
Namun pada kondisi seperti inilah, dimana mayarakat memberikan kewenangan/kekuasaan kepada pemerintah (yang merupakan pengejawantahan dari negara), tercipta suatu ketakutan yang disampaikan oleh Marx. Dalam hal tersebut, hukum (konstitusi) dapat berubah menjadi alat kekuasaan politik dalam upaya mengontrol masyarakat yang kemudian akan berpotensi disalah artiakan oleh pemerintah sebagai bentuk klaim atas pembenaran terhadap semua tindakannya .
Ketakutan Marx yang menurut penulis sangat beralasan dan masuk akal, karena kekuasaan yang diberikan masyarakat kepada negara dalam rangka mengatur masyarakat tersebut kerap kali tidak mampu memenuhi keinginan masyarakat sebagai akibat dari peyelewengan kekuasaan oleh negara . Namun mampukah masyarakat yang notabene sebagai pemberi kekuasaan kepada negara tersebut mencabut kembali mandatnya? Menurut teori yang dikemukakan oleh John Locke mengenai pertanyaan tersebut dia berpendapat bahwa masyarakat mempunyai hak untuk menumbangkan negara jika negara tidak mampu lagi menyelenggarakan kekuasaan tersebut .
Pertanyaan-pertanyaan yang sangat kritis dapat dilayangkan sehubungan dengan pernyataan dari John Locke tersebut, seperti: (1) Apa yang akan terjadi terhadap negara jika masyarakat bersepakat untuk mencabut kekuasaan negara? (2) Bisakah masyarakat hidup tanpa adanya negara? Ataupun (3) Adakah bentuk/varian lain yang mampu mengimbangi peran dari sebuah negara? Serta kita dapat mengumpulkan banyak lagi pertanyaan-pertanyaan lain yang berhubungan dengan hal tersebut.
Eksistensi Negara?
Banyak ketakutan yang bermunculan sehubungan dengan pemilu 2004 lalu dan salah satunya adalah ketakutan akan tidak terselenggaranya pemilu tersebut akibat satu atau beberapa hal, akankah Negara Indonesia ini dapat dipertahankan? Atau dalam arti lain kita akan bubar sebagai negara kesatuan dan kemudian menentukan arahnya sendiri-sendiri.
Mengingat bahwa Pemilihan Umum adalah
instrumen politik yang sangat stategis untuk menegakkan demokrasi pada setiap negara dan bukan saja sebuah acara seremonial belaka untuk memilih para wakil, tapi juga merupakan manifestasi dan memainkan peranan yang sangat signifikan bagi kehidupan politik masyarakat dan penegakan hak asasi manusia.
Dimana tujuan dari pemilu adalah sebagai berikut: (a) Sebagai mekanisme untuk menyeleksi para pemimpin dan alternatif dari kebijakan umum; (b) Sebagai mekanisme memindahkan konflik kepentingan dari masyarakat kepada badan-badan perwakilan rakyat melalui wakil-wakil rakyat terpilih atau melalui partai-partai yang memenangkan kursi sehingga integrasi rakyat tetap terjamin; (c) Sebagai sarana memobilisasi dan atau mengalang dukungan rakyat terhadap negara dan pemerintahan dengan jalan ikut serta dalam proses politik.
Masih ingatkah kita semua ketika Negara Indonesia ini belum ada (sebelum 1945)? Benih-benih kesadaran akan arti berbangsa dan bernegara sangat dipegang dengan baik, peristiwa 28 Oktober 1928, mungkin menyegarkan bayangan kita semua bahwa sebelum Negara Indonesia lahir sebenarnya kita telah hidup dalam kesadaran akan bernegara.
Kesadaran-kesadaran yang mulai tumbuh juga seiring dengan tumbuhnya lembaga/institusi dimana lembaga tersebut berfungsi sebagai wadah dalam memayungi gerakan tersebut, ambil contoh pergerakan Budi Utomo. Ada lagi Sarekat Islam, Indies Partai, Taman Siswa, Pasantren-pesantren di daerah-daerah (mungkin lebih spesifik kepada Nadhatul Ulama dan Muhammadyah), ataupun yang lainnya.
Mereka menenpatkan posisi mereka sebagai pilar-pilar dalam upaya pencapaian akan arti pentingnya kebangsaan dan kenegaraan, hal tersebut dapat berlangsung dengan baik karena mereka lebih dekat/menyentuh dengan masyarakat tanpa ada birokrasi yang harus dilalui.
Namun sangat sayang, kondisi yang kondusif bagi lembaga/institusi tersebut diatas tidak berlangsung lama. Hal tersebut menurut Nick , dikarenakan oleh (1) krisis politik; (2) kebangkrutan ekonomi; (3) berubahnya haluan mereka kepada politik aliran dan pertarungan berbagai ideologi; serta diperparah dengan (4) Penguatan akan posisi negara yang terus melakukan intervensinya yang sangat mendalam.
Negara terlihat mempunyai rasa resistensi/mereduksi terhadap gerakan-gerakan tersebut, yang menurut penulis disalah artikan negara sebagai upaya untuk menyaingi posisi negara itu sendiri, sehingga tidak diperlukan lagi gerakan-gerakan seperti itu.
Sejatinya, negara harus memelihara keberadaan dari institusi/lembaga-lembaga tersebut, mengapa? Karena dengan terwujudnya keberagaman, kemandirian, dan kapasitas politik di dalam gerakan-gerakan (dapat muncul dalam sosok, misalnya, Lembaga Swadaya Masyarakat/Organisasi non-Pemerintah, organisasi sosial/keagamaaan, paguyuban-paguyuban, serta kelompok-kelompok kepentigan lainnya) tersebut, maka warga negara akan mampu mengimbangi serta mengontrol kekuatan negara .
Pustaka:(1) Soehardjo Sastrosoehardjo, Hakekat Negara, Majalah Bina Darma, No. 55 Juni 1997. (2) FX. Adji Samekto, Implikasi Globalisasi: Dari Bureaucratic Society menuju Civil Society, Hukum dan Pembangunan, Nomer 2 Tahun XXX. (3) Nick T. Wiratmoko, Wacana Pemaknaan antara Civil Society dan Masyarakat Madani di Indonesia, Infak, Edisi Perdana, Maret 1999. (4) W.P., Pengantar Hukum Internasional, Mandar Maju, Bandung, 1990. (5) Starke J.G., Pengantar Hukum Internasional, Aksara Persada Indonesia, Jakarta, 1991. (5) Prayudi, Perdebatan Tentang Pemilu Sebagai Instrumen Politik Demokrasi, (6) Ensiklopedia Nasional Indonesia (Jilid 11), PT. Cipta Adi Pustaka, 1990.
- fredy's blog
- 8069 reads