Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
DANAU HA’I (2)
“Did you know something about Minamata?” tanyanya sambil duduk di sampingku.
“Did?” batinku. Lebih suka jika ia menggunakan “Do”, karena sebentar lagi kami pasti mengalaminya. Pertanyaannya selaras dengan apa yang sedang berkecamuk dalam pikiranku. Tidak tahu apakah ia memang bisa membaca pikiran orang; aku hanya bisa menduga-duga apakah ia juga melihat kemarahanku.
“Ya!” jawabku sambil menghela nafas. Aku baru mengenalnya sepuluh hari ini, tetapi ia sudah berhasil membuatku mempercayainya.
Minamata, sebuah kota kecil di pantai Kyushu, Jepang. Tahun 1950-an, korban berjatuhan. Penduduknya mengalami penyakit aneh. Tangan dan kaki mati rasa, otot-otot melemah, pandangan kabur, gagap, mengalami gangguan pendengaran, kelumpuhan. Bahkan ada kasus ektrim penduduknya mengalami koma dan meninggal setelah beberapa minggu. Bayi-bayi pun lahir cacat. Binatang juga berjatuhan, tidak terhitung jumlah kucing, anjing, babi yang mati. Penyakit aneh ini akhirnya mendapat nama, Minamata. Sebuah bencana akibat kegiatan industri yang tidak mengindahkan lingkungan -- bencana limbah air raksa.
Tetapi apa yang kulihat sekarang bukan hanya ancaman Minamata. Lebih dari itu.
“This Mercury disaster is threatening your family,” katanya.
“Aku tahu,” batinku. Bencana ini sedang mengancam puluhan ribu penduduk yang tinggal di sepanjang sungai kami. Bahkan dari apa yang telah kami dapatkan selama seminggu ini, air raksa telah mencemari sebelas sungai provinsi.
Tetapi bukan limbah air raksa ini yang membuatku marah.
***
Perjalanan ini dimulai seminggu lalu.
Masih ada beberapa minggu sebelum kembali ke Jogja. Sepupu yang bekerja di hotel berkata, sekelompok orang WWF yang berencana meneliti tingkat kerusakan alam di semua sungai besar daerah ini membutuhkan pemandu. Syaratnya mudah, penduduk asli yang bisa berbahasa daerah dan pernah melihat komputer.
Berita pencemaran itu ternyata telah tersebar keluar. Penambangan itu sebenarnya sudah berhenti beberapa tahun lalu. Tetapi mereka ingin melihat dampaknya sekarang. Katanya, masa jaman demam emas itu, setiap tahun puluhan ton air raksa tumpah ke sungai-sungai besar di propinsi ini. Dari berita, mereka tahu, saat itu kandungan merkuri di sungai kami mencapai 0,014 mg/l air. Padahal, kandungan merkuri yang diizinkan hanya 0,001 mg/l air. Selain air, ikan yang kami makan juga terkontaminasi. Kadar merkuri di tubuh ikan mencapai 0,676 miligram per kilogram. Padahal katanya, ambang batas kandungan merkuri yang aman untuk konsumsi adalah 0,4 miligram per kilogram.
Sejak dari kota, kami berhenti di beberapa kampung. Melakukan survei di desa-desa, menanyakan alasan menambang emas di pinggir sungai. Kesimpulannya ternyata cukup sederhana -- masalah perut. Seorang penduduk bertubuh kecil berkata, "Mau apa lagi? Inilah satu-satunya pekerjaan yang bisa kami lakukan setelah krismon." Seorang penduduk kota kecamatan yang pernah menjadi mahasiswa menjawab, “Sejak krisis ekonomi, 80% penduduk pedalaman menggantungkan hidup sebagai penambang emas. Itulah yang membuat mereka bisa bertahan hidup. Sesuatu yang terpaksa mereka lakukan, tidak ada usaha lain yang bisa mengimbangi harga bahan pangan."
Krismon, sudah lama tidak mendengar kata ini. Dulu nenek-nenek yang mulutnya berbuih dengan sirihpun bisa menjelaskan arti krisis moneter -- harga sirih naik dua kali lipat.
Aku hanya diam. Aku hanyalah seorang pemandu yang harus melakukan apa yang menjadi tugasnya.
“Hutan kami sudah hancur oleh orang luar. Mengapa tidak kami saja yang menghancurkan milik kami sendiri?” jawab seseorang sambil menatap orang-orang yang baginya termasuk orang luar.
Sampai di ibukota sebuah kabupaten, pejabat yang menyambut kami menjelaskan tentang penambangan liar yang sama sekali tidak memberikan kontribusi apapun kepada pemasukan daerah.
“Itu penambangan liar. Karena illegal, tidak ada restribusinya,” katanya menjelaskan. Lalu menambahkan dengan sedikit membela diri. “Tetapi kami tidak bisa melarang begitu saja. Sulit sekali menertibkan orang-orang yang menambang di sungai, karena itu sudah menjadi mata pencaharian mereka."
Dalam hati aku ingin berteriak. Mengapa maling ditangkap? Bukankan itu juga mata pencarian mereka?
Tetapi bukan krisis moneter ini yang membuatku marah.
***
Dulu, ketika masih bolak-balik ke kampung, sudah kulihat rakit-rakit itu. Pendatang pasti terkecoh, mengira rakit-rakit di tengah sungai sebagai pemukiman terapung. Apalagi dengan asap hitam yang mengepul ke angkasa. Ribuan rakit berbentuk rumah terapung seperti ini bertebaran sepanjang sungai. Berjejer vertikal nyaris menutup alur sungai, hanya menyisakan alur kosong selebar dua meter. Di bagian belakangnya, limbah mesin sedot membukit.
Setiap rakit memiliki sebuah mesin penyedot yang terhubung dengan sebuah pipa sebesar paha orang dewasa. Karena bentuknya, penambang menyebutnya belalai gajah. Pipa inilah yang ditekan ke dasar atau tebing sungai untuk mengisap pasir emas. Mengalirkannya melewati sejenis jembatan miring beralas karpet. Emas akan tertahan di sana, tetapi pasir atau tanah akan lewat terus, membentuk gundukan pasir. Satu rakit bisa menghasilkan lebih dari satu gundukan, tergantung seberapa sering rakitnya berpindah tempat.
Kalau deretan rakit yang melintangi sungai hanya menyisakan jalur dua meter, tidak terlalu masalah bagi kapal atau speedboat. Mereka bisa saling menunggu kalau kebetulan berpapasan di sisa jalan yang sempit. Tali penambat rakitlah yang menjadi masalah. Pengemudi, terutama pengemudi speedboat harus berhati-hati. Tali itu berada di bawah air, tidak terlihat. Kadang hanya sebuah jerigen kosong terapung yang menandakan ada tali di bawah permukaan air. Pengemudi speedboat harus berhati-hati, jangan sampai ketika melaju dengan kecepatan tinggi, mesin tempelnya tersangkut seutas tali penahan rakit.
Sudah bukan rahasia lagi, semua orang yang bekerja di rakit-rakit ini menggunakan air raksa. Bahan pengisi termometer ini memang sejak berabad-abad telah menjadi alat pemisah emas dari batuan lain. Penambang di sini juga menggunakannya sebagai penggumpal sekaligus pelarut untuk memisahkan emas dari kotoran yang masih tersisa. Jadi, mesin menyedot dasar sungai, air raksa lalu membuat batuan terpisah dari emas dengan sendirinya.
Tetapi bukan penggunaan air raksa ini yang membuatku marah.
***
Sungai kecil ini, sungai yang dua belas tahun lalu aku dan Ico lewati sudah tidak ada. Sungai indah itu sudah tidak ada. Seminggu ini sudah melewati beberapa sungai besar, tetapi aku tidak terlalu kaget melihat kerusakannya. Sudah sering melihatnya. Tetapi sekarang, aku hampir tidak bisa menggambarkan apa yang kulihat.
Sejak di muara tadi, kerusakannya memang sudah kelihatan. Muaranya membesar, belalai gajah telah melebarkannya. Masuk ke dalam, jurumesin harus mengangkat mesinnya, terlalu dangkal. Bahkan kami pun akhirnya harus turun, lunas speedboat menyentuh dasar sungai. Lebarnya juga bukan lagi dua meter, tetapi empat meter. Bagian tengahnya penuh gundukan pasir, mirip tahi sapi di tengah jalan. Tidak ada pohon, semuanya sudah bertumbangan. Tidak ada lagi kicau burung, suasana damai itu sudah mati, menyisakan sebuah sungai berpinggir gersang. Tidak ada lagi kelokan yang dulu sering kutabrak, penambang menemukan belokan seperti inilah yang paling banyak emasnya.
Tidak ada lagi beda hulu dengan muara, semuanya sama. Sampai di Danau Ha’i, walaupun sudah menduganya, tidak menyangga separah ini. Tidak ada lagi danau yang tenang. Sepi dan senyap, tanpa suara sambaran di air atau suara sesuatu terjatuh ke air. Tidak ada pohon, belalai gajah menyedot sampai ke pinggir danau, menyisakan ratusan gundukan pasir di tengah danau. Suasana begitu sunyi, bukan kesunyian seperti yang pertama kali ketemui dulu. Kuburanpun tidak akan sesunyi ini.
Aku tidak tahu persisnya dimana dulu kami menambat perahu. Bentuk danau benar-benar berubah total. Aku minta mereka turun di sisi kami dulu turun. Tak sebatang pohonpun yang bisa digunakan untuk menambat speedboat. Tetapi ternyata tidak perlu penambat. Kami bahkan tidak bisa benar-benar turun di pinggir, dua puluh meter sebelum sampai pinggir, kami harus turun. Speedboat sama sekali tidak perlu diikat, tidak ada arus. Danau ini telah menjadi sebuah kubangan raksasa.
Berharap bisa menemukan bekas letak tenda itu. Semuanya sudah hancur, harapanku hanyalah bisa menemukan seonggok tunggul kayu ramin. Ingat arah dan jarak tenda dari pohon ini. Aku ingat karena selalu memperhatikan ramin ini, jangan sampai mendekat karena getahnya menimbulkan gatal-gatal. Ramin memiliki akar yang cukup kuat, sehingga besar kemungkinan tungulnya masih ada. Kalau sudah menemukannya, aku tinggal berjalan dua puluh langkah ke arah matahari terbit.
Tunggul pohon ramin kutemukan, juga menemukan tempat kami dulu berkemah sudah tersentuh oleh belalai gajah.
Kami terpaksa mendirikan kemah agak jauh dari situ. Setelah memasang tenda, aku duduk persis di tempatku dulu duduk. Berusaha mengingat kembali bentuk danau ini dulu. Duduk menyendiri sampai pria jangkung di sampingku ini bertanya apakah aku pernah mendengar sesuatu tentang Minamata.
Bukan Minamata itu yang membuatku marah. Tetapi danauku yang telah hilang inilah yang membuatku marah.
***
Mereka juga tidak bisa melakukan apa-apa sekarang. Sudah tidak ada yang bisa dilakukan, kecuali menulis berlembar-lembar laporan berisi angka-angka. Selalu ada kata terlambat. Larangan menambang memang sudah dikeluarkan, peraturan di atas kertas. Tetapi penambangan itu baru benar-benar berhenti setelah emasnya habis.
Ya, selalu ada kata terlambat.
- anakpatirsa's blog
- Login to post comments
- 5242 reads