Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

UU Pornografi & Nafsu Laki-laki

Bayu Probo's picture

Gampang sekali diduga. Demi mendapatkan “restu” kelompok sayap kanan dan sebagai pengalih perhatian sehingga eksekusi mati Amrozi dan kawan-kawan berjalan lancar maka disahkanlah UU Pornografi walau belum sempurna dan mendapat tentangan dari berbagai pihak. Sebuah solusi politik yang tidak terlalu cerdik-cerdik amat, tetapi sejauh ini sukses diterapkan kasus-kasus sebelumnya, misalnya kenaikan BBM, undang-undang Sisdiknas, revisi undang-undang perburuhan, dan sebagainya. Kematian Amrozi diperlukan untuk mendapat “restu” negara-negara Barat dan nama baik dunia internasional bagi partai-partai tertentu untuk menghadapi pemilu tahun depan. Gigi ganti gigi, nyawa ganti kemasyhuran dan keuntungan politik.

 Christ_and_Woman_Taken_in_Adultery
Gampang sekali ditebak juga, korban atas undang-undang itu adalah perempuan. Sehari setelah Undang-undang Pornografi disahkan DPR, sebuah stasiun televisi memberitakan polisi yang menggerebek pertunjukan striptease. Dalam tayangan tersebut belasan perempuan berumur sekitar tujuh belas tahun digelandang ke kantor polisi. Banyak keanehan dalam tayangan itu. Mengapa para penikmat tarian itu—para laki-laki mestinya, walau tidak menutup kemungkinan lain—tidak satu pun yang tampak di layar televisi? Mengapa “event oganizernya” juga tidak mendapat perhatian, sebab bagaimana mungkin sekelompok remaja tanggung begitu saja mengorganisasi diri untuk acara semacam itu? Apakah televisi itu hanya hendak menampilkan “pertunjukan lanjutan”—karena jelas selain para penari, pasti orang-orang itu “tidak enak” dipandang di layar televisi—walau sebenarnya mereka juga ditangkap? Atau, kemungkinan yang lebih besar, lelaki-lelaki penikmat dan mucikari mempunyai pengaruh yang besar sehingga polisi loyo menghadapi mereka? Para gadis “operator lapangan”(meminjam istilah dalam kasus pembunuhan Munir) itu sama sekali tidak punya posisi tawar. Mereka benar-benar dalam kondisi yang lemah dan memprihatinkan. Mereka dipermalukan setidaknya dua kali, menjadi tontonan mata jalang lelaki berduit dan menjadi tontonan mata pemirsa televisi—termasuk mata saya. Berdasarkan undang-undang itu, merekalah yang paling dicap berdosa; bukan mucikari, bukan pula lelaki. Jika undang-undang itu hendak melindungi anak-anak dan perempuan dari perdagangan manusia mengapa perempuan dan anak-anak yang malah menjadi korban undang-undang itu?
 
Muka para gadis yang meringkuk di kantor polisi itu ditutup ala kadarnya dengan jaket, syal, dan rambut mereka. Saat melihat tontonan itu pikiran saya dengan cepat melambung kepada kejadian 2.000 tahun lampau di sudut berdebu di kawasan Timur Tengah. Di pelataran Bait Allah, saat Yesus mengajar, tiba-tiba gerombolan para pemimpin agama menyeret seorang perempuan yang kepergok berzina (Yoh. 7:53-8:11). Konon, menurut kebiasaan waktu itu baju perempuan yang berzina harus disingkap.  Perempuan itu pun—seperti gadis-gadis penari striptease—dipermalukan dua kali. Saat digerebek tanpa pembelaan sang pacar yang mungkin kabur atau malah ikut menjadi penuduh dengan alasan perempuan itulah yang menggodanya berbuat zina dan sekarang di hadapan Yesus dan orang-orang yang berkumpul, ia menjadi objek tontonan dan umpan untuk menjebak Yesus. Mata-mata jalang itu pun menggerayangi perempuan yang ketakutan, sendirian, dan berusaha menutupi dadanya yang ditelanjangi. Persis seperti kejadian di negara kita, para pemuka agama menjadi pihak yang “membentengi moral bangsa” dan berusaha menegakkan peraturan dengan keras. Hanya sayangnya pilih-pilih. Persis seperti di Indonesia, hukum ditegakkan hanya kepada yang lemah, minoritas, dan tidak punya senjata politis. Dan, di tengah hiruk pikuk kerumunan, para pemimpin agama mengajukan pertanyaan, “Guru, perempuan ini kedapatan berzina. Di dalam Hukum Musa ada peraturan bahwa perempuan semacam ini harus dilempari dengan batu sampai mati. Sekarang bagaimana pendapatmu?”
 
Dalam peristiwa perempuan yang kepergok berzina; Yesus membawa isu-isu melampaui penegakan hukum, penghukuman dosa, dan kemurnian moral. Yesus mengajak setiap orang yang hadir tersebut untuk menyelidiki hati dan pikiran mereka. Alih-alih memberikan jawaban apakah tindakan perempuan itu layak dihukum atau tidak, Yesus mengajukan pernyataan yang mempertanyakan kesucian para penuduh dan kelayakan mereka untuk menghukum si perempuan itu. “Orang yang tidak berdosa di antara kalian, biarlah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu,” tegas Yesus berkata. Dan, dimulai dari pemimpin yang tertua, satu per satu mereka undur diri dari hadapan Yesus.
 
Saat semua orang sudah pergi dan hanya berdua dengan perempuan itu, Yesus memberikan perintah yang jelas, “Jangan berbuat dosa lagi.” Dia tidak menafikan dosa si perempuan itu. Namun, Yesus juga tidak menjadikan perempuan itu sebagai objek kambing hitam moral atas rasa bersalah yang menghinggapi fantasi seksual laki-laki seperti yang sekarang ini terjadi di negara kita. Sebab semua orang tahu bahwa laki-laki yang memandang perempuan dan mengingininya, sebenarnya laki-laki itu sudah berzina dalam hatinya. Jadi kesalahannya tidak terletak pada seberapa terbuka pakaian si perempuan, tetapi seberapa jorok angan si laki-laki. Ingat, peristiwa polisi yang memperkosa pacar tahanannya? Apakah si perempuan sengaja mengundang syahwat polisi bejat itu? Atau sebenarnya polisi itu sudah berpikiran kotor sejak semula? Atau kita hendak mencari pembenaran untuk membela ego laki-laki kita dan menyembunyikan lumpur-lumpur di benak kita sendiri?
 
Agama tidak boleh diperkosa demi keuntungan politik. Apalagi disalahgunakan untuk menutupi borok kita sendiri. Agama seharusnya menjadi penuntun nurani kita bukan pementung cara kita hidup. Apalagi, agama bukanlah sumber penyeragaman cara berpikir sebuah bangsa, agama adalah pedoman tingkah laku yang didasarkan oleh iman masing-masing individu pemeluknya. Agama seharusnya menjadi benteng moral dengan bentuk teladan-teladan dari para pemimpin; bukan kawat berduri yang menyakiti orang-orang yang hendak mendekatinya; membasmi para pendosa yang hendak bertobat. Jika pornografi marak di kehidupan kita, sumbernya bukanlah hal-hal yang dari luar kehidupan kita, melainkan dari dalam pikiran kita sendiri. Ada atau tidak perempuan telanjang di sekitar saya, saya harus tetap berjuang untuk mengarahkan nafsu saya menuruti jalan yang ditunjukkan Tuhan kepada saya menuju kehidupan yang diperkenan-Nya. Iblis selalu ada dan menggoda kita, tetapi kita tidak boleh menyalahkan manusia lain sebagai Iblis karena kelemahan kita melawan pikiran kita sendiri.
 
Bayu Probo
(penulis lepas, tinggal di Jakarta, anggota komunitas Penjunan)
y-control's picture

tambahin gambar

bisa dipasang di blog atau web di luar SS :))

 

<

 

Jika bermasalah dengan HA HA HA!

pakailah hehehe...

erick's picture

Ehmmmm,....

Tidak ada pemandangan yang menyegarkan mata!

Dimana indahnya karya cipta Tuhan bagi ciptaaannya yang sempurna itu bila tertutup begini?

Atau, masih kurang sempurna hingga harus ditutupi?

Haha ha haha!!!!!

Tambahan,

Hihi hi hihihihi!!!!

and,

Hehe he hehehehe

Plus,

  

apa nanti aku dikategorikan porno tawa ya?

__________________

Lord, when I have a hammer like YOU, every problem becomes a nail. =)

Bayu Probo's picture

Haha vs. Hehe

Porno atau tidak porno, indah atau tidak indah, di Indonesia tercinta, itu hanya sebatas trik politik saja...

Ha ha ha vs. He he he

 

Bayu