Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Teman

Pak Tee's picture

                Pagi itu seusai mandi, istriku berteriak, “Dicari teman,,,,,! Dari Lampung…..!”

                “Dari Lampung? Siapa?”

                “Tidak tahu. Temui saja!”

                Aku tidak bisa menebak. Rasanya temanku yang berdomisili di Lampung tidak ada. Apakah dia Adityawarman, adiknya Bang Sutradara Ginting? Rasanya bukan. Adi dari Kabanjahe, lebih dekat ke Medan daripada ke Lampung. Lalu siapa?

                Aku keluar. Seseorang menungguku. Aku tidak mengenalinya.

                “Masih ingat aku?”

                “Tidak!” Aku bicara terus terang. Mungkin menyakitkan kalau kami pernah saling mengenal. Tapi apa boleh buat, aku benar-benar tak ingat.

                “Andre! (bukan nama sebenarnya!)”.

                “Ah, masa?” Aku ingat, karena namanya begitu khas. “Dulu kamu kecil, kerempeng! Bagaimana mungkin sekarang begitu tinggi besar?” (Aku tahu kalau dia benar Andre, dia tidak akan marah kukatakan begitu!).

                “Ya, inilah aku!”

                “Jauh sekali berbeda!”

                “Coba ingat-ingat, berapa puluh tahun kita tidak pernah ketemu?”

                “Ada lebih dari tiga puluh tahun!”

                “Ya! Mungkin empat puluh!”

                Belum lama aku ketemu Butet, Butet Kertarajasa, yang sekarang lebih dikenal sebagai seorang monolog, di BCA Prioritas Yogya. Sekarang aku ketemu Andre. Aku jadi ingat ketika masih kecil dulu aku pernah jadi wasit perkelahian mereka berdua. Andre nangis ketika itu, lalu kurangkul kuajak pergi.

                Aku juga jadi ingat saat-saat terakhir sebelum Andre pergi ke Lampung beberapa puluh tahun yang lalu. Kami sering duduk berdua di atas tembok tertinggi yang mengitari lapangan Asri, sebuah lapangan sepak bola di kampung kami. Sambil melihat awan-awan yang berarak dalam kemilau cahaya mentari senja, dia berkata kepadaku, “Kita akan berpisah, tapi kita pasti akan bertemu kembali….!”

                “Mungkin kau sudah punya anak, dan kaya raya!”

                “He… he…. he….!” Dia tertawa. “Mungkin kau sudah punya cucu…!”

                Aku membaringkan tubuhku di atas tembok, melihat awan-awan itu bergerak membentuk bermacam bentuk seperti bentuk-bentuk hewan yang aku kenal.

                “Aku tidak akan kesini lagi, setelah kamu pergi!”

                Ia tampak sedih.

******

                Malam itu sampai begitu larut aku berada di rumahnya. Besok paginya dia dan keluarganya akan pergi. Aku pulang karena aku harus memberi kesempatan dia beristirahat sebelum menempuh  perjalanan yang jauh. Sebuah lagu sedih yang terdengar dari radio mengiringi langkahku pulang. (Aku masih ingat lagunya, “Angin Malam” Broery Marantika).

*******                                                                

                Dia sekarang duduk di depanku. Ceritanya panjang. Anaknya tiga. Istrinya perempuan Sunda, masih muda. Trucknya ada tiga di Lampung, dan dia punya sebuah rumah bertingkat yang tidak dia tempati. Di Bogor dia punya dua hektar sawah dan beberapa rumah.

                Waktu begitu cepat berlalu. Dia kini bukan lagi seorang anak yang menangis ketika berkelahi. Kini tak ada seorang penjahat pun yang berani melakukan kejahatan pada truck-truck besar yang ada dalam perlindungannya. Banyak pengusaha yang mempercayakan keamanan transportasinya kepadanya. Tak ada yang berani coba-coba kalau tak ingin dihajarnya.

                Aku tertawa mendengar ceritanya. “Jadi kamu sekarang adalah seorang kepala suku?”

                “He….. he…… he……! Itu semua sekarang kan jadi urusan anak buah?!”

                “Huh! Dasar kepala suku!” Aku jadi ingat dua temanku yang lain, yang juga kepala suku. Satu di Magelang, satu di Yogya. Yang di Yogya dulu ketika masih sama-sama bocah pernah kugethok kepalanya dengan batu bata. Bocor! Sekarang mungkin dia tidak lagi mempan dipedang, sedangkan aku kena pisau pun berdarah.

*******

                “Kalau ke Yogya lagi, mampir!”

                “Ya….. ya…… ya….., pasti!”

                “Ajak aku sore hari, atau malam….., pagi hari aku punya banyak pekerjaan….!”

 

__________________

Seperti pembalakan liar, dosa menyebabkan kerusakan yang sangat parah dan meluas. Akibatnya sampai ke generasi-generasi sesudah kita. Aku akan menanam lebih banyak pohon!

Purnomo's picture

Lapangan ASRI?

Pak Tee, lapangan Asri yang di Gampingan Jogja sebelah barat kampus? Kata "lapangan ASRI" membuat saya teringat 35 tahun yang lalu punya beberapa teman mahasiswa Asri yang kos di rumah sebelah timur rumah Amri Yahya..

Mereka saya kenal di arena Sekatenan di alun-alun utara. Saat itu perusahaan buka stand. Karena dagangan kurang laku, saya berinisiatip membuat lempar bola. Karena ini ide tiba-tiba, maka untuk sasarannya saya memakai kotak karton yang saya lobangi sisi depannya. Kotak karton ini harus sering diganti krn lobangnya makin melebar dihantam lemparan bola tenis bekas. Saat itulah anak-anak Asri datang dan bertanya apa bisa mereka bantu membuatkan kotak dari kayu.

Esok hari saya ke tempat kos mereka menunggui mereka mengerjakan kotak itu dan menggambarnya dengan gambar produk yang kami jual. Karena pekerjaan ini akhirnya kami bersahabat. Sering sore hari saya meninggalkan hotel dan pergi mengunjungi mereka, berbincang-bincang banyak hal dan tidur di rumah kos itu. Saya juga memakai alamat mereka ketika saya menulis dengan nama samaran untuk beberapa majalah gereja dan bila penerbit mengirim honor saya minta dikirim via wesel pos atas nama seorang dari mereka.

Sekarang mereka telah berpencar ke kota2 lain dan beberapa bulan yang lalu seorang dari mereka yang tinggal di luar negeri ke Semarang dan menginap di rumah saya.

Kampus Asri di Gampingan sekarang tak ada lagi. Tetapi kenangan indah di sana tak bisa hilang dari ingatan.

Pak Tee's picture

Benar, Pak Pur!

Wow, benar sekali Pak Pur! Itu lapangan Asri tempat sy bermain ketika bocah. Di tempat itu sekarang telah berdiri Asri Medical Centre, Universitas Muhamadiyah Yogyakarta (Sebagian besar kegiatan belajar mengajarnya kini juga sudah pindah ke Ring Road barat) dan sebuah sekolah perawat.

Luar biasa juga Anda masih bisa mengingat kejadian 35 tahun yll. dengan baik. Kampus Asri (Akademi Seni Rupa Indonesia) memang sudah tidak ada. Sudah diganti dengan ISI (Institut Seni Indonesia). Kampusnya ada di daerah Bantul. Amri Yahya (sebagai salah satu dosen Asri) juga sudah sekian tahun tiada. Istrinya meninggal beberapa hari yll. Tapi kampus itu memang bagian dari masa kecil sy juga. Dulu kami sering duduk-duduk di atas pohon karet yang ada di halaman kampus itu. Melempari pohon-pohon kenari yg ada dengan batu, berharap ada buah kenari yang jatuh. Padahal untuk memecahkan buah itu cukup sulit untuk anak seusia kami waktu itu. Buah kenari perlu dipukul berkali-kali dengan batu, dan hasilnya.... cukup sedikit rasa gurih di lidah.

Tapi itulah kenangan. Kita ada hari ini karena ada hari-hari sebelumnya. Terima kasih telah bersedia berbagi cerita. Salam hangat sy dari Yogya.

__________________

Seperti pembalakan liar, dosa menyebabkan kerusakan yang sangat parah dan meluas. Akibatnya sampai ke generasi-generasi sesudah kita. Aku akan menanam lebih banyak pohon!

hai hai's picture

Kenangan

Setelah TUA bahkan stelah MATI nanti, kita hanya punya KENANGAN. Itu sebabnya BUATLAH kenangan yang INDAH saat ini untuk dikenang nanti.

Begitu kan Pak tee?

__________________

Karena Di Surga, Yang Terbesar Adalah Anak-anak

Pak Tee's picture

Betul betul betul!

Betul betul betul! Kita sedang menulis sejarah. Mari kita tulis yang indah dan yang baik saja. Yang keliru dan salah pasti ada, tapi hari ini kita masih punya waktu untuk meralatnya. Thx.

__________________

Seperti pembalakan liar, dosa menyebabkan kerusakan yang sangat parah dan meluas. Akibatnya sampai ke generasi-generasi sesudah kita. Aku akan menanam lebih banyak pohon!