Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Tata Cara Mengirim Naskah Renungan
Di luar soal mutu tulisan, masih ada faktor lain yang mempengaruhi keputusan dimuatnya suatu naskah, yaitu tata cara pengiriman naskah. Faktor ini paling sering diabaikan oleh penulis pemula. Redaksi sering sekali menerima tulisan yang tidak sedap dipandang dipandang mata. Kalau naskah itu ditulis dengan tangan, tulisannya susah dibaca. Jika diketik, naskah itu banyak sekali diolesi Tip-Ex. Jika dikirim via email atau disket, file-nya mengandung virus. Mendapat naskah yang seperti ini, secara manusiawi, redaksi akan merasa kesal. Ujung-ujungnya, naskah itu akan dilempar ke keranjang sampah. Padahal mungkin saja isi naskah itu sangat bagus. Nah, supaya naskah Anda tidak bernasib buruk, berikut ini tata cara mengirimkan naskah:
-
. Sebelum mengirimkan tulisan, sebaiknya Anda menghubungi pihak pengelola renungan (lewat telepon, email atau bertemu langsung). Tawarkan tulisan Anda. Tanyakan juga, apakah mereka lebih senang mendapat naskah dalam bentuk tercetak (hard print), disket atau email.
-
. Tulislah surat pengantar secara singkat (tidak lebih dari satu lembar). Jika kenal dengan pengasuhnya, tuliskan namanya di alamat surat itu. Sertakan surat pengantar yang ditujukan kepada penanggung jawab rubrik yang dituju (jika Anda mengenal nama penjabriknya, lebih baik lagi jika Anda menyebutkan namanya). Perkenalkan Diri Anda. Jika tulisan anda sudah sering dimuat di suatu media, tentu redakturnya dengan sangat mudah mengenali siapa pengirim naskah yang sedang dibacanya. Namun jika anda baru pertama kali mengirim tulisan ke media tersebut, memperkenalkan diri merupakan salah satu kiat untuk "mencari perhatian" sang redaktur.
-
. Dalam surat itu, berikan informasi tentang: jumlah tulisan yang ada kirimkan, kualifikasi Anda (pengalaman, pelatihan, jabatan dan tulisan yang sudah dimuat), nama, alamat nomor telepon atau email dan nomor rekening tabungan.
-
. Buatlah sistem pelacakan untuk tulisan Anda. Caranya dengan membuat arsip (fotokopi) dari semua tulisan yang Anda kirimkan. Catat juga tanggal pengiriman dan alamat tujuan. Sistem pengarsipan ini akan menolong Anda mengetahui nasib tulisan Anda. Jika lima bulan setelah pengiriman, tulisan Anda belum juga nongol, hubungilah pengelola untuk menanyakan nasib tulisan: apakah ditolak atau masik dalam daftar tunggu. Jika jelas ditolak, bongkar arsip Anda, perbaiki tulisan itu lalu kirimkan ke penerbit lain.
Menulis renungan itu sebenarnya tidak lebih dari sebuah sharing pengalaman rohani yang dialami oleh penulis. Pengalaman rohani setiap orang itu unik, karena merupakan hasil perjumpaannya secara pribadi dengan Allah. Karena pengalaman rohani setiap orang berbeda, maka pengalaman rohani seseorang selalu menarik minat orang lain. Itul;ah sebabnya, kita tidak akan pernah kehabisan bahan-bahan penulisan renungan.Jika bahan-bahannya melimpah, mengapa sedikit orang yang mau menulis renungan? Kebanyakan orang beralasan karena tidak mampu menulis dengan baik. Alasan ini kurang kuat, karena kemampuan menulis sebenarnya bisa diasah melalui pelatihan dan mempraktikannya dengan sungguh-sungguh. Sekalipun tulisan kita masih jelek, itu juga bukan alasan untuk tidak mengirimkan tulisan ke penerbit. Mengapa? Sebab di sana ada redaktur yang digaji untuk memperbaiki tulisan. Sekalipun sudah dikirim dan ditolak oleh redaktur, itu bukan alasan untuk mogok menulis. Mengapa? Karena yang ditolak redaktur adalah karya Anda, bukan diri Anda. Perbaiki tulisan itu dan kirimkan ke media lain, atau buat tulisan yang baru. Penolakan adalah suatu proses yang harus dialami setiap penulis. Nah, alasan apa lagi yang akan dikemukakan supaya tidak perlu menulis renungan?
------------
Communicating good news in good ways
- Purnawan Kristanto's blog
- 7750 reads