Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Salon (Rya A. Dede)

Salon
Dipublikasi Artikel blog by Rya A. Dede

Kalau kukatakan salon ini sangat nyaman, aku sama sekali tak bermaksud
untuk beriklan, meski ini adalah salonku.

Salon ini memang nyaman. Sejuk, bukan berasal dari pendingin ruangan,
tapi dari angin sepoi-sepoi yang bertiup di antara pohon-pohon kamboja
yang berbunga lebat. Tanaman-tanaman hias yang memenuhi halaman juga
turut menyejukkan suasana, terutama bagi mataku yang lelah karena
menatap layar monitor sepanjang hari. Dan kolam ikan di salah satu
sudutnya menambah suasana alami dengan suara gemericik air terjun
buatan.
Seorang gadis melayaniku dengan ramah, bukan karena aku adalah pemilik
salon ini, tetapi karena memang begitulah yang mereka lakukan
sehari-hari. Itu adalah tugas mereka: berlaku ramah kepada siapapun
pengunjung salon ini. Bagaimanapun, kami adalah tuan rumah, dan
pengunjung adalah tamu. Tamu berhak mendapatkan senyum gratis dan
obrolan ringan. Asal tak ganjen saja, aku tak mau salon ini malah
mendapatkan predikat buruk gara-gara senyum nakal dari gadis-gadis muda
di dalamnya.
Dari cermin di hadapanku, aku memandangi lukisan-lukisan yang menghiasi
dinding di belakangku. Tak seperti salon-salon lain yang memajang
poster
model gaya rambut, salonku memajang lukisan. Karya seni ini kudapatkan
dari seorang pelukis lokal yang melukis dengan tangan kirinya,
sementara
tangan kanannya tak ada, diamputasi dua puluh tahun silam. Para turis
mancanegara membayar lukisannya cukup mahal, sementara aku diberinya
harga khusus, cukup murah untuk ukuran kantongku. Kami sama-sama tak
keberatan dengan harga tersebut, mengingat kami punya visi yang sama
dalam menjalankan pekerjaan kami masing-masing. Ia melukis, sedangkan
aku membuka salon, namun sama-sama untuk memperindah dunia. Karena
katanya, semua orang suka keindahan. Lalu kataku, semua orang ingin
menjadi cantik dan tampan. Maka aku ingin sekali membuat orang menjadi
cantik atau tampan. Pikirku, orang akan lebih percaya diri jika
penampilan mereka bagus.
Orang yang baru pertama kali datang ke salonku akan heran, kenapa di
dinding terpasang lukisan-lukisan tersebut. Suatu ketika, seseorang
pernah berkelakar, "Aku tak mau potong rambut model sapi!"
Sambil berkata begitu, ia menunjuk lukisan sapi yang terpajang di
dinding utama. Jangan salah sangka, kami tetap menyediakan foto-foto
sebagai pilihan model rambut atau rias. Bedanya dengan salon-salon
lain,
foto-foto tersebut tersusun dalam beberapa album dan diambil langsung
dari pelanggan yang bersedia difoto setelah selesai dilayani di
salonku.
Iluh, gadis Bali itu memotong rambutku di sana-sini, sambil di
sela-selanya ia menceritakan tunangannya yang terkenal paling ganteng
sebanjar. Sayangnya aku tak terlalu memperhatikan obrolannya. Aku
terlalu bersemangat untuk mengganti model rambutku yang itu-itu saja
selama dua tahun terakhir ini. Model rambut panjang tak beraturan. Tak
ada menariknya. Kali ini pasti berbeda.
Musik opera mengalun. Itu adalah jenis musik pilihanku. Peraturan yang
kubuat, musik yang diputar haruslah jenis musik yang menentramkan.
Koleksi terbanyak adalah instrumental  berbau Don Moen. Tak ada yang
protes dengan musik seperti itu. Mereka tak terganggu, justru seperti
terinspirasi dengan musik yang diputar di sini. Itulah keinginanku.
Rambutku hampir selesai. Aku mengalihkan pandanganku dari cermin,
supaya ada sedikit surprise saat melihat rambut baruku nanti. Kulirik
ruangan sebelah, suamiku belum keluar dari situ. Ia sedang di-facial.
Pasti tertidur selama di-masker. Pandanganku tertuju ke tembok di bawah
cermin, tempat kakiku bersandar. Catnya sedikit mengelupas. Tepat di
saat itu, seseorang mengangsurkan sisir hitam.
"Nih, sisir," katanya.
Astaga.
Aku menengok cermin. Surprise. Gaya rambut yang baru. Tak cuma itu.
Lamunanku pecah berantakan. Salon ini bukan salonku. Sama sekali tak
nyaman, gerah, membuatku kepanasan karena tak ada pendingin ruangan.
Kipas angin di langit-langit rupanya tak berhasil membawa kesejukan,
hanya berputar saja. Halamannya menyatu dengan bengkel di sebelahnya,
sama sekali tak ada taman dan kolam. Gadis-gadis yang bekerja di situ
asyik mengobrol dengan suara keras, ingin mengalahkan musik pop yang
sedang diputar. Tak ada yang memperlakukan tamu yang datang dengan
ramah.
Aku memutar badanku untuk melihat rambutku dari belakang. Impianku
pecah lagi. Tadi, aku berniat mengganti model rambut seperti avatar
Iik.
Sebelumnya, aku memperlihatkan gambarnya kepada suamiku. Ia berkomentar
singkat, "Terlalu pendek."
Aaarrgh....
Salon ini semakin panas selama aku menunggu suamiku selesai facial.
Tapi mungkin bukan itu. Mungkin hatiku yang sedang kesal.