Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Reuni*

y-control's picture

“Baru tiga tahun lulus aja sudah pake reuni-reuni” sahutku menanggapi informasi dari Iwan, seorang teman yang sejak menikah akhir tahun lalu baru kali ini kudengar kabarnya lagi. “Ini reuni akbar dari semua angkatan sebelum 2001” katanya menambahkan. “Datang ya, teman-teman yang lain juga pada datang. Ambil cutilah, itu hari Sabtu..” Aku hanya membalas SMS nya dengan “Insya Allah.”

Hampir tiga tahun setelah lulus kuliah di Surabaya, aku kini bekerja di Jogja, kota yang tentu saja tidak asing bagiku yang besar di Solo. Beberapa orang berbasa-basi bahwa ruteku agak aneh. “Kenapa dulu tidak kuliah di Jogja?” “Kenapa tidak kerja di Surabaya, 'kan kotanya lebih besar, gajinya lebih tinggi..” Dan akupun biasanya akan menjawab, menjelaskan bahwa aku sudah sempat selama beberapa bulan mencari dan mengirim lamaran pekerjaan untuk berbagai kantor dan institusi di Surabaya, Jakarta bahkan juga di Kalimantan dan Bali. Artinya, ini sama sekali bukan jalur yang kurencanakan. Aku pun tak tahu apa yang membawaku bisa sampai di Jogja sejak sekitar 4 bulan lalu, namun semenjak beberapa bulan sebelum itu, untuk kesekian kalinya aku mencoba dan kembali tidak berhasil mendapatkan pekerjaan di Surabaya, sampai sekarang aku masih belum mau mencabut tekadku untuk tidak akan menginjakkan kaki lagi di kota itu. Paling tidak selama keadaanku belum banyak berubah.

Lalu datanglah kabar tentang reuni itu dari email seorang teman. Mendengar kata “reuni” kali ini, ingatanku mengarah pada almarhum Papa. Kalau tidak salah sekitar tahun 1995, Papa juga pernah diundang untuk datang ke reuni akbar sekolah Sin Min. Awalnya agak enggan, tapi akhirnya Papa datang juga dengan mengajak kakakku. Papa memang tidak sampai tamat di sekolah setingkat SMP itu. Dan saat ia dan kakak datang, dibandingkan dengan anak-anak dari kebanyakan teman seangkatan Papa, kakakku pun tampak tergolong anak yang paling tua. Bahkan ada yang dengan ngawur mengira kakak yang waktu itu masih duduk di bangku SMU adalah istri Papa. Padahal, kakak yang diajak Papa pergi itu pun adalah anak nomor tiga.

Hal serupa kini juga mengusikku. Jika aku datang ke reuni itu, apa yang akan kujumpai nanti? Apakah teman-teman yang sudah menggendong beberapa anaknya? Apakah teman-teman yang kini telah menangani perusahaan Papanya? Apakah teman-teman yang kini telah sukses membuka cabang dari usaha yang dulu dirintisnya? Ataukah akan kutemui pandangan heran teman-teman saat melihat penampilanku yang sama sekali tak berubah dengan 3 tahun lalu?

“Aku tak datang” kataku pada Jatmiko yang beberapa waktu lalu menelpon untuk mengkonfirmasi keikutsertaanku.

Aku menarik napas panjang sebelum menyeberang melewati deretan mobil mengkilat di dekat ATM. Bayangan sawah dan sungai yang mengering di jendela kereta masih belum hilang. Namun, bagaimanapun aku sudah ada di sini. Tiket undangan sudah kupastikan ada di saku kemeja yang biasa kupakai untuk ngantor. Mencoba melangkah dengan wajar namun aku merasa kakiku sedikit berlari, meski tetap sambil sedapat mungkin bersembunyi di balik kegelapan agar keberadaanku tidak tampak mencolok. Untuk apa aku kemari? Pikirku menyesali keputusan membolos kerja dan menghabiskan biaya yang tak bisa dibilang sedikit untuk tiket kereta dan ongkos wira wiri tanpa kendaraan di Surabaya seorang diri. Masih untung selalu ada teman yang berbaik hati mau menampungku setiap kali harus menginap di Surabaya. Namun, temanku yang sebenarnya juga satu jurusan itu sudah sejak lama memutuskan untuk tidak datang di acara tersebut. Langkahku terasa makin jauh sekaligus makin enggan, meski aku juga ingin segera duduk di ruang auditorium besar itu sambil berharap situasinya lebih baik dari bayanganku. Aku merasa tidak kurang seperti saat pertama kali kuliah, tapi rasa berat itu kali ini terasa lebih konyol karena sesungguhnya aku sangat boleh untuk tidak usah datang ke sini.

Satu dua wajah yang kukenal, meski secara pribadi kami tak benar-benar saling mengenal, sudah berpapasan denganku. Mereka adalah beberapa seniorku dulu. Aku mencoba merancang kata-kata yang akan kuucapkan saat bertemu teman-teman yang kukenal, juga pada teman-teman yang sudah kuberitahu bahwa aku tidak akan datang ke reuni ini. Auditorium tidak begitu ramai. Di panggung terlihat dekorasi ala kadarnya bertuliskan “Reuni Akbar Sastra Inggris UK Petra” dan tema yang terasa mengada-ada untuk acara yang mestinya lebih santai ini. Di luar tampak beberapa meja untuk makanan yang ditata secara prasmanan. Hawa panas di Surabaya petang ini sudah mulai membuatku berkeringat. Namun, saat sampai di depan pintu ruangan yang aromanya masih tetap sama seperti beberapa tahun lalu itu, mulai kulihat wajah-wajah yang sangat kukenal. Ada yang menjadi panitia, ada yang tamu, semua sedang bercakap-cakap dengan diselingi tawa dan pandangan mata yang menengok ke sana kemari, mencari wajah-wajah akrab lainnya untuk diajak bergabung.

“Hoi” seorang teman melambaikan tangan kepadaku. “Heh, ayo gabung ke sana. Katanya nggak mau datang” seseorang tiba-tiba menepuk punggungku. Dia adalah temanku yang meski tak lulus kuliah tapi kini menjadi panitia, sama seperti kebiasaannya waktu kuliah dulu. Beberapa menit aku bergabung dalam pembicaraan ringan, kalau tak bisa disebut sebagai sekadar basa-basi kawan lama. Pertanyaannya tentu sama saja, aku sekarang bekerja di mana, dengan siapa aku datang, bagaimana kabar si A, B, C dan D, apakah si E, F, G, H juga datang, lihat itu si I, J, K sudah menjadi ini itu. Sama seperti mereka, aku pun tetap mencari wajah-wajah lain yang sekiranya kukenal. Tapi, dalam hati aku juga bertanya-tanya, benarkah aku memang ingin bertemu dengan mereka sekarang?

Lalu, tiba-tiba di antara beberapa wajah asing para alumni yang tak pernah kutemui sama sekali, satu wajah menyeruak. Wajah yang sebenarnya ingin kulihat setelah sekian lama. Wajah yang sebelum satu tahun belakangan sangat ingin kulihat lagi. Kini ia benar-benar ada. Melangkah pelan dan sesaat tersenyum menyapa seseorang yang memanggil dan menepuk punggungnya. Seorang balita gemuk dengan sepasang mata yang membuatku seakan sangat mengenalnya mendadak berlari menuju ke arahku. Aku menyapa, senyum simpul menghias wajah sang ibu. “Mami” anak itu berteriak sambil menuding ke arah balon-balon di langit-langit gedung.

“Halo” sapaku.
“Eh, halo.. kamu juga datang?”
“Anakmu”
Ia mengangguk, “Ini kenalan sama om.” Anak itu tak mendengar.
“Mirip banget sama kamu. Papanya mana?”
“Nggak ikut, tapi nanti juga jemput ke sini”

Aku mencoba menggoda si kecil, namun ia mengelak sambil memandangku dengan sepasang mata bulatnya. Sepasang mata sedikit angkuh yang semakin membuatku merasa begitu akrab. Mata yang dapat membuat mulutmu terbungkam dalam pikiran yang tertahan. Hanya saja, sinar kepolosan juga tampak jelas di mata anak itu.

“Hey, itu ada tante..., aku ke sana dulu ya” Langkahnya bergegas mengejar anak kecil bermata bulat itu. Aku mengangguk. Beberapa menit kemudian, tepat sebelum acara dibuka. Kuputuskan untuk meninggalkan tempat itu. Sejuta pertanyaan dan keinginan telah kubuang bersama sisa lembar tiket undangan. Tak ada seorang pun yang tahu karena aku juga tak ingin mereka mengetahui kepergianku. Kali ini, aku benar-benar tak ingin kembali lagi.

* : Fiksi, kesamaan nama, tempat dan event hanyalah kebetulan

hai hai's picture

Y anda

Y, anda membangkitkan kenangan saya pada seseorang.

ketika kami bertemu, ia menatap anakku

dan aku takut setengah mati  

__________________

Karena Di Surga, Yang Terbesar Adalah Anak-anak

pyokonna's picture

reuniku

jujur klo saya blom pernah datang ke acara reuni, banyak hal yang melatarbelakanginya..

  • Reuni SD:tidak datang
  • Reuni SMP: belum pernah diadakan
  • Reuni SMU: belum pernah diadakan
  • Reuni kuliah: belum pernah diadakan
  • Reuni Persekutuan Mahasiswa Kristen: tidak datang

Khusus untuk reuni PMK masih ada seseorang yang tidak ingin saya temui hingga saat ini, jadi saya selalu memilih tidak datang

__________________

We can do no great things; only small things with great love -- Mother Theresa