Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

pernikahan: adat, agama, negara

fredy's picture

Beragamnya budaya kita berdampak pula pada perbedaan adat yang berlaku di daerah-daerah. Suku (baik jawa, batak, sunda, manado, papua, dll) memiliki cara tersendiri dalam melihat pernikahan.

Sahnya suatu pernikahan secara adat dapat dilihat dari apakah mereka yang menikah telah melakukan semua prosesi pernikahan secara (1) hukum adat yang berlaku di komunitas suku tersebut; (2) petuah-petuah sesepuh adat mereka; (3) kebisaan-kebiasaan yang terjadi dalam komunitas tersebut.

Seiring dengan perjalanan waktu, agama (Kristen, Islam, Budha, dll) hadir dalam masyarakat suku-suku. Hal ini sudah tentu berdampak pada penerapan peraturan dalam agama-agama dalam proses pernikahan. Tidak kecuali tempat ibadah yang sering digunakan bagi pernikahan (Mesjid, Gereja, dll).

Kristen menyatakan bahwa mereka yang dipersatukan oleh Bapa tidak boleh diceraikan oleh manusia. Tidak hanya ayat ini, namun banyak lagi ayat-ayat lain yang berhubungan dengan pernikahan.

Islampun mengatur masalah pernikahan (nikah sunguhan, sirih, kontrak) dalam kitab sucinya, Alquran terutama syariah dan catatan-catatan orang-orang panutan dalam masa Muhammad.

Syahnya suatu pernikahan dalam agama, akan terlihat dengan apakah mereka yang menikah telah melakukan semua prosesi pernikahan sesuai dengan ajaran agama masing-masing.

Lalu bagaimana dengan negara?
Pernikahan merupakan masalah administratif warga negara yang menjadi kerjaan negara. Peraturan yang digunakan adalah Undang-Undang (UU), dan untuk pernikahan diatur dalam UU No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

Sehingga syahnya Perkawinan menurut Negara adalah mereka-mereka yang telah melaksanakan proses administratif perkawinan.

Lalu pertanyaan besarnya adalah: Apakah Syah menurut agama/adat adalah syah menurut Negara ataupun sebaliknya?

Negara secara meyakinkan mengakui keberadaan agama dan adat-istiadat yang ada dalam masyarakat, hal ini terlihat dalam konstitusi negara (UUD 1945). Pengakuan ini merupakan itikad baik negara kepada warga negaranya agar mampu mengatur masalah mereka sendiri.

Berdasarkan hal tersebut diatas, maka pernikahan secara adat/agama adalah syah dan negara wajib menghormatinya.

Lalu apa fungsi dari peraturan yang dikeluarkan oleh negara kalau begitu?

Negara hanya melakukan fungsi administratif bagi warga negaranya, dan bentuk adalah melakukan pencatatan tidak lebih dari itu (KUA bagi yang beragama Islam dan Catatan Sipil bagi yang beragama non-Islam). Pencatatatn tersebut berguna bagi negara untuk (1) tertib adminsitrasi dan (2) jika terjadi hal-hal yang tidak baik di kemudian hari (perceraian, meninggalnya salah satu pasangan, pengurusan surat akta kelahiran, dll).

Lalu apakah jika menikah dengan menggunakan adat akankah terasa tidak syah jika tidak melakukannya dengan agama masing-masing atau sebaliknya?

Bagaimana pandangan pembaca yang budiman mengenai pertanyaan tersebut..?

Semoga menjadi perenungan... MayGBU+ Penulis: lulusan Fakultas Hukum Univ. Kristen Satya Wacana Salatiga, 2006.

(tulisan ini terinspirasi oleh tanyangan Jendela Islam di TransTV pagi ini, 7 Nov'06 tentang pernikahan dalam Islam).