Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Pak Tiwon dan Makamnya

anakpatirsa's picture

Biasanya persiapan paskah identik dengan acara bersih-bersih kuburan serta menyiapkan kembang tabur. Lalu Tante menginap di rumah kakek yang kami tempati, meninggalkan paman sendirian menunggu sawah yang agak jauh dari kampung. Sehari sebelum Jum'at Agung, kami pergi membersihkan kuburan nenek. Kakek pasti ikut, bahkan ia yang paling keras bekerja, kami hanya menemani ia dan putrinya, tante kami.

Itu sudah lebih dari sepuluh tahun lalu, ketika kami masih kecil. Dua belas tahun lalu kakek sudah meninggal. Tante juga sudah begitu tua sehingga dibawa anak-anaknya ke kota untuk dirawat disana.

Tidak ingat lagi kapan terakhir ke kuburan saat paskah. Tahun lalu, kebetulan sedang pulang kampung, merupakan paskah pertama setelah lebih dari sepuluh tahun tidak merayakannya di kuburan. Aku, kakakku dan salah satu dari si kembar mendapat tugas membersihkan kuburan kali ini. Tidak ada lagi acara berangkat ramai-ramai. Semua saudara yang dulu berangkat sambil membawa parang dan cangkul sudah pergi ke segala arah. Hanya tersisa kami bertiga, inipun mungkin yang terakhir kami berkumpul saat paskah.

Suasana tetap seperti tahun-tahun itu. Beberapa orang membersihkan kuburan keluarganya masing-masing. Tidak cukup banyak, kebanyakan berkumpul di jalan kecil yang membelah kuburan. Mengobrol. Kebetulan mereka berkumpul dekat kuburan yang sedang kami bersihkan, sehingga bisa ikut mendengarkan pembicaraan, bahkan akhirnya ikut bergabung.

Dalam liburan kali ini, sudah beberapa kali aku kuburan ini, hanya untuk mengenang masa kecil. Sejak pertama kali, aku sudah memperhatikan ada sesuatu yang baru. Bahkan sudah masuk ke sana. Ada sebuah pendopo di tengah pagar beton kokoh. Sudah tahu untuk apa pendopo ini. Jika akhir-akhir ini Tawangmangu kembali terkenal karena sebuah bangunan di sana, maka fungsi bangunan yang ini tidak jauh dari yang di Tawangmangu itu. Makam mewah versi orang terkaya di kampung.

Namanya Tiwon, lebih dikenal dengan Bapak Apin. Kami biasa menyebut orang dengan nama anak tertua. Jadi, bapak Apin artinya ayahnya si Apin. Kata adikku, biaya makam ini lebih dari setengah milyar. Aku percaya, biaya semahal itu wajar karena harga semen dan bahan bangunan lain di sini lima kali lebih mahal daripada di Pulau Jawa. Biasa, masalah transportasi.

Seperti orang bilang, itu haknya dia dan uangnya sendiri. Gereja juga tidak terlalu mempermasalahkannya, karena tanahnya dibeli sendiri dan juga semua biaya ditanggung sendiri. Hanya saja orang yang berkata 'itu haknya dia' tetap menggunjingkannya, seperti yang kudengar sekarang.

Masalah sebenarnya kembali menghangat ke permukaan karena para pekerja harus bekerja siang malam. Mengejar target menyelesaikan bangunan makam sebelum paskah. Artinya tiga hari lagi harus sudah selesai. Bukan karena Pak Apin mau mati besok atau waktu paskah, tetapi katanya, ia ingin makamnya sudah selesai pada saat orang berkumpul merayakan paskah, sehingga mereka bisa melihat sebuah kemegahan.

Bangunan ini memang terlalu mewah untuk sebuah kuburan. Tetapi masih kalah jauh dengan yang di Tawangmangu. Luas halamannya lebih luas dari halaman sebuah perumahan tipe sedang. Pagarnya cukup tinggi dan kokoh, fasilitasnya lengkap: listrik, PAM, serta sebuah kamar kecil -- Standar MCK, ditambah dua buah lubang besar.

"Untuk apa ada WC di dalamnya?" tanyaku beberapa hari lalu kepada ibu. Hanya sekedar memancing pergunjingan.

"Kata orang, bapaknya si Apin suka keluar malam-malam untuk buang air kecil." jawab ibu, melayani anaknya yang suka bergunjing. Ia tahu air ledeng di situ untuk orang yang nanti membersihkan kuburan, dan kamar kecil yang disebutkanpun tidak memiliki closet, hanya sebuah kamar kosong supaya orang yang berziarah bisa mencuci tangan.

Aku memang sudah masuk ke dalamnya, kuceritakan kemana-mana. Tidak semua orang berani masuk ke dalam, segan terhadap para tukang yang berasal dari luar pulau. Dua pusara raksasa di sana, lalu ada patung wajah sepasang suami istri di masing-masing pintu pusaranya. Istilah pintu pusara muncul karena pusara biasa menandai sebuah lubang di tanah, tetapi di sini, orang matinya tidak akan dikubur di dalam tanah, melainkan dimasukkan ke dalam pusara melalui sebuah pintu besar. Artinya di atas tanah.

Kata di atas tanah juga kurang tepat, karena kata adikku, tanahnya telah digali, lalu diisi kembali dengan pasir. Bapaknya si Apin katanya tidak mau tubuhnya dimakan cacing, sehingga mengganti tanah dengan pasir. Supaya cacing tidak bisa hidup di sana.

Sudah banyak gunjingan yang telah kudengar, sehingga tidak terlalu kaget ketika dalam acara membersihkan kuburan kali inipun masalah kuburan mewah ini dipergunjingkan. Wajar. Apalagi kali ini si penjaga kuburan, ikut bersama kami. Sebuah ironi, ada kesenjangan ekonomi antara si kakak dan si adik. Si adik hanya menjadi seorang penjaga kuburan. Pemicu pergunjingan ini juga sepertinya si adik. Bisa diduga penyebabnya, kesenjangan ekonomi dalam sebuah keluarga besar.

Awalnya memang cuma cerita hantu biasa. Seseorang bercerita tentang pengalamannya melihat hantu. Tidak masuk akal, karena ia bercerita tentang seorang wanita cantik yang dilihatnya. Tidak masuk akalnya karena ia bercerita tentang keberaniannya. Mengikuti dari belakang seorang wanita cantik yang kakinya tidak menyentuh tanah. Si cantik tiba-tiba menghilang begitu saja ketika sampai di atas sebuah makam tanpa salib.

Kami suka cerita dan tetap mendengar tanpa protes, walaupun tahu ini hanyalah cerita bohong. Cerita khayalan dengan tokoh 'aku'.

Tidak ada yang berani membicarakan bangunan di bagian depan kompleks, sampai si adik, sang penjaga mulai dengan ceritanya. Katanya, beberapa bulan lalu, pembangunan kuburan kakaknya terpaksa dihentikan dulu. Tetapi dua pusara raksasa sudah jadi, hanya belum ada keramik pelapis. Seorang dari kampung lain yang mau meminta nomor togel tidak mengetahui kalau kubur tersebut masih kosong.

Si adik, yang bertanggung jawab atas keamanan di kompleks ini, begitu melihat ada lilin menyala, datang ke kuburan kakaknya untuk memastikan, siapa tahu ada yang mau mencuri. Ternyata hanya seorang pemuda yang mau bersemedi.

"Ada apa?" tanyanya basa-basi.

"Biasa, cari buntut," di disini togel namanya buntut. Mencari buntut artinya mencari nomor togel yang akan keluar. Kebanyakan orang memilih membeli hanya dua nomor terakhir, nomor buntut. Sehingga sejak dulu, SDSB-pun dikenal dengan nama buntut.

"Oh, tidak perlu minta di sini." jawab si adik, "langsung minta saja di tengah pasar. Orangnya setiap hari duduk berjualan beras di tokonya." Bapaknya Apin memang memiliki toko paling besar tengah pasar kampung. Kata orang, tokonya selalu membesar setiap kali terjadi kebakaran pasar.

Cerita orang bersemedi ini juga bohong. Sudah lama tidak ada lagi togel di kampung. Kampung ini juga sebuah kampung kecil. Sangat kecil kemungkinan ada orang tidak tahu tentang makam ini, termasuk orang dari kampung lain. Apalagi ini seorang penjudi. Di sini, penjudi identik dengan jaringan mata-mata. Artinya ia harus tahu siapa-siapa yang sedang sakit dan bakalan mati. Adat membuat judi legal kalau ada orang mati. Hukum harus mengalah, orang mati harus ditunggu semalam suntuk dengan kopi, minuman keras dan taruhan. 'Dimana orang mati disitu ada bandar judi' merupakan sebuah ungkapan pengganti semut dan gula.

Seorang bapak juga tidak mau ketinggalan.

"Minggu lalu aku datang ke rumah bapaknya si Apin ini, sudah beberapa hari aku sakit." kata bapak setengah baya ini, tidak mau kalah adu bohong. Pak Tiwon yang sedang kami gunjingkan ini, disamping terkenal sebagai pedagang, juga dikenal sebgai mantri. Si adik, yang sekarang menjadi penjaga kuburan juga seorang mantri, tetapi mantri hewan. Si adik tidak laku karena kami lebih suka memotong sapi, babi, dan ternak yang mengalami gejala sakit sebelum terlambat. Beberapa orang yang terlambat menyembelih ternak sakitnya, terpaksa membawanya ke mantri hewan ini. Ternaknya sudah begitu parah, sehingga mati, kadang-kadang sebelum sempat diperiksa. Orang lalu menjadi percaya si mantri ini punya tangan panas. Ia akhirnya mengambil pekerjaan sebagai penjaga kuburan. Sepertinya lebih cocok dengan gelar sebagai mantri bertangan panas.

"Bapaknya si Apin bertanya tentang sakit yang kurasakan." lanjut si bapak. "Aku bilang kepalaku sakit, perut pusing, malas makan, dan suka mengantuk, tetapi tidak bisa tidur. Ia bukannya memberi obat, malah bercerita tentang penyakitnya sendiri. Katanya barusan tiga minggu lalu pulang dari Jakarta, karena ganguan jantung dan sering merasa pusing. Juga pusing karena anak dan menantunya hanya bisa minta uang."

"Aku jadi jengkel," lanjut si bapak. "Lalu aku berkata kepadanya, 'Kalau aku jadi kamu, aku tidak akan pergi jauh-jauh ke Jakarta sana, aku akan mengumpulkan barang-barangku, mengambil kasur, bantal dan guling lalu pergi ke rumah yang di jalan Menteng itu!'"

Kami semua tertawa, jalan Menteng artinya jalan tempat kuburan ini, tempat kami seharusnya bekerja sekarang, bukannya mendengarkan cerita ngawur.

Lalu orang lain berkata, seolah-olah membela, "Sebenarnya bapak Apin melakukan ini semua karena ia kecewa sama anak-anaknya. Ia berharap mereka semua berhasil kuliah, semuanya kuliah di Jawa tetapi pulang dengan tangan hampa. Kebanggaan terakhirnya hanyalah sebuah kuburan mewah. Itu juga alasannya tidak menyertakan anak-anaknya di kuburan ini."

Itulah pergunjingan kami, sampai akhirnya kami pulang tanpa melakukan apa-apa, karena akhirnya ada kesepakatan. Hari sudah sore dan terlalu banyak kuburan yang harus dibersihkan sedangkan yang datang hanya sedikit. Kesepakatan kami, memakai racun rumput saja. Sudah terlambat, tetapi seseorang berkata paling tidak, setelah dua hari disemprot racun, rumput setinggi satu meter pasti mulai terkulai.

Ya, hari minggunya, masih ingat, acara kebaktian cukup ramai, rumput juga sudah terkulai, tetapi belum benar-benar mati. Semua orang berkumpul di kuburan keluarganya masing-masing. Pendeta dan majelis duduk di tengah-tengah kuburan, di sebuah bangunan sejenis panggung sederhana. Bukan ibadah yang khusuk, karena akhirnya menjadi sebuah acara reuni keluarga. Karena semua orang berkumpul di kuburan keluarga masing-masing.

Kuburan kakek, nenek dan anak mereka yang tertua, terletak di dalam bangunan yang sama dengan bangunan makam kakaknya kakek. Jadilah aku bertemu sepupu dari pihak saudaranya kakek. Mereka bertanya keadaanku, katanya sudah bertahun-tahun tidak melihatku, lalu bertanya mengapa tidak main ke rumah mereka dalam kepulangan kali ini. Lalu orang-orang di kuburan lain juga sibuk dengan obrolannya masih-masing.

Tidak masalah, paskah merupakan kesempatan bagi orang-orang yang masih hidup untuk saling bertemu di kuburan sanak saudaranya yang sudah mati.

Jam setengah enam acara selesai, aku dan adikku pulang, kebetulan berada di belakang istri Pak Tiwon, istri orang kaya yang sudah ada kuburannya. Agak heran karena ia sama sekali tidak melirik bangunan yang bakal menjadi kuburannya.