Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Om & Bulik Yesus

Bayu Probo's picture

Bau harum masakan menyelinap masuk kamarku pukul 05.00. Baru saja aku selesai mandi, berpakaian rapi—tidak bersisir, mengingat rambutku yang cuma satu centimeter panjangnya— bersiap menikmati kemacetan Jakarta, dan bekerja. Aku turun dan semerbak pun makin memikat hidung dan memaksa perutku menyanyikan lagu keroncong. “Lapar, lapar, lapar,” syair lagu keroncong itu.

“Makan seadanya ya,” bulikku menyambutku. “Ya, Bulik,” jawabku singkat, tapi begitu melihat yang tersaji di meja dapur, hatiku mengatakan sajian itu jauh dari kesan seadanya. Istri omku ini memang mengalokasikan waktu pagi itu untuk menyiapkan masakan untuk sarapan. Nyanyian lambungku pun berhenti begitu selesai santapan terakhir.

Jadi, setiap pagi aku tidak pernah kelaparan jika berangkat kerja. Sepanjang perjalanan, dengan perut terisi, aku pun teguh berada di kendaraan umum. Tidak lemas atau cenderung emosional. Makanan memang senjata ampuh menurunkan emosi.

Itulah salah satu kebaikan keluarga ini kepadaku. Kali lain saat kami hendak berangkat ke gereja, om tiba-tiba bertanya, “Ukuran sepatumu berapa?” Pertanyaan ini muncul karena sepatuku sudah butut. Ia selama ini selalu mendapat jatah sepatu dari perusahaan, dan banyak yang belum pernah dipakai. Ia menawarkannya kepadaku. Sayang, kakiku terlalu besar. Namun, perhatiannya begitu menyentakku.

Omku itu adik ayahku. Ia pensiunan pegawai swasta. Sekarang keluarga ini mengisi keseharian dengan berjualan kecil-kecilan sembako dan isi ulang pulsa seluler. Anak tunggal mereka masih ABG, perempuan. Sedang semangat-semangatnya menjadi ABG dan mulai memasuki masa puber. Jadi om dan bulikku cukup repot juga mengurusi ABG cewek ini.

Istrinya, biasa kupanggil Bulik—singkatan dari Ibu Cilik, Ibu Kecil, alias tante adalah ibu rumah tangga yang sigap. Ingat iklan detergent yang menggambarkan anak kecil menceritakan kehebatan ibunya sebagai atlet angkat besi, Insinyur, ahli matematika, tetapi paling cantik kalau mencuci? Kira-kira begitulah gambaran bulikku ini.

Kami sebelumnya jarang bertemu. Aku dibesarkan di Solo dan menuntut ilmu di Jogja, om sejak pertengahan tahun 70-an sudah tinggal di Jakarta. Kami bertemu seingatku masih bisa dihitung dengan jari. Dan sekarang kami bertemu setiap hari karena aku menumpang di rumahnya untuk mengadu untung di Jakarta. Menumpang adalah alternatif terbaikku untuk mulai bertaruh hidup di Jakarta.

Sebenarnya bukan denganku saja mereka baik. Kepada semua orang—di lingkungan rumah misalnya—mereka sangat baik. Terbukti hampir semua orang mengenal mereka dan om dan bulikku ini mengenal tetangga sekitar mereka. Hal yang jarang terjadi di Jakarta. 

Yesus seakan hidup dalam om dan bulikku ini. Dan itu menjadi semacam penghiburan dan peneguhan bahwa Yesus terus menemaniku di mana pun. Terima kasih Yesus. Gambaran tentang Yesus, iman, dan pengharapan, makin dipertajam. Jadi bisalah aku memanggil Yesus dengan panggilan Om atau Bulik. Om Yesus dan Bulik Yesus.

Omong-omong, ada tugas sederhana, tetapi tidak sederhana saat diterapkan. Yaitu, menemani belajar anak mereka. Menjadi tidak mudah karena bagaimanapun bocah ABG mempunyai banyak keinginan kecuali satu hal, belajar. Biasanya kalau orangtuanya yang menemani pun akan terjadi “peperangan” karena orangtua yang menginginkan anaknya memiliki masa depan cerah melalui studi yang baik, sedangkan si anak, ingin sepuasnya menikmati masa remaja. Aku hanya bisa berdoa supaya masa-masa terberat mereka bisa terlewati dengan baik. Mengingat kebaikan mereka.