Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

MEMPERKUAT PERAN POSITIF AGAMA

susanto's picture

Bagi Ludwig Feuerbach dan Friedrich Nietzsche agama adalah elemen yang layak dibuang dari tengah-tengah masyarakat. Gagasan-gagasan religius bagi mereka membuat manusia tidak dapat berkembang. Feuerbach menilai bahwa wacana mengenai Allah harus dihapuskan agar potensi-potensi dalam diri manusia dapat diekspresikan. Bahkan Nietzsche lebih tegas mengatakan bahwa Tuhan sudah mati.

Pemahaman seperti yang dimiliki oleh kedua tokoh di atas sangat bersebrangan dengan pemikiran orang-orang Asia. Di Dunia Timur agama memperoleh tempat istimewa dan masih dipercaya sebagai sumber solusi bagi berbagai macam permasalahan dan jalan bagi terciptanya masyarakat adil dan makmur. Bahkan ketika modernitas merambah kehidupan orang-orang di Asia, agama tetap menjadi instrumen penting dalam tatanan kemasyarakatan. Sebagai contoh, di bidang perpolitikan, keterlibatan agama tidak bisa dipandang dengan sebelah mata. Di Indonesia beberapa Partai Politik yang berbasis agama, eksis sebagai penyalur aspirasi rakyat.

Agama dengan semua kaedah positifnya dapat menjadi alat pemberdayaan bagi pemeluknya sehingga meningkatkan ketajaman dalam berkarya dan berpartisipasi di tengah-tengah masyarakat. Nilai-nilai keagamaan dapat membentuk manusia-manusia yang lengkap dengan skill dan landasan etis yang tepat. Sehingga muncullah pribadi-pribadi yang dapat memberikan sumbangsih bagi pergerakan bangsa ini ke arah masyarakat yang adil dan makmur, yaitu mereka yang tidak hanya ahli di bidangnya, tetapi juga bermoral dan berakhlak mulia.

Agama adalah kekayaan bagi terciptanya masyarakat Indonesia yang maju dan sejahtera. Peran positif tersebut akan semakin kuat bila beberapa hal terus menjadi perhatian kita, yang pertama adalah agama tidak dijalankan secara eksklusif. Praktek kehidupan beragama yang sempit dengan membangun tembok pemisah sebagai wujud penarikan diri dari komunitas lain agama dapat mereduksi corak positif agama. Eksklusifitas ini biasanya dibangun atas dasar gagasan superioritas. Asumsi bahwa agama sendiri adalah yang terbaik telah menjebak para pemeluk agama di dalam “sangkar” superioritas tersebut. Inklusifitas yang seharusnya merangsang kebersamaan telah terkaburkan oleh orientasi berlebihan pada perbedaan. Padahal bangsa yang sedang dalam proses membangunan sangat membutuhkan warga negara yang bisa menyatu di tengah-tengah perbedaan. Tanpa persatuan harapan untuk mencapai kesuksesan pembangunan hanyalah impian kosong belaka. Dialog yang disertai semangat untuk menciptakan kedamaian dan kesejahteraan bersama harus dikembangkan. Saya memiliki keyakinan bahwa dialog antar pemeluk agama yang intensif dan efektif yang sampai saat ini perkembangannya masih terus diupayakan bisa menjadi dasar bagi terciptanya inklusifitas dalam praktek hidup beragama.

Kedua, agama tidak dijadikan senjata untuk meraih kekuasaan. Satu isu yang sangat integral dengan agama sehubungan posisi agama dan perpolitikan adalah, dijadikannya agama sebagai jembatan untuk meraih serta mengokohkan kekuasaan. Jelas ini “pemerkosaan” terhadap fungsi agama. Penyalahgunaan kekuatan agama sebagai jalan dalam meraih dominasi merupakan pendorong bagi terjadi diskriminasi terhadap kelompok agama lain. Dalam kondisi demikian tidak menutup kemungkinan agama dijadikan sebagai sebagai alat legalisasi terhadap kekerasan. Bila sudah demikian peluang bagi konflik antar pemeluk agama sangat besar. Akibatnya lingkungan menjadi tidak kondusif bagi kelancaran proses pembangunan. Konflik berbau keagamaan akan memutarbalikan fungsi agama menjadi pemicu aksi-aksi destruktif. Seperti terlihat pada aksi penolakan terhadap kelompok agama tertentu atau aliran-aliran yang muncul dalam satu agama yang terjadi di negara ini. Tidak jarang aksi tersebut disertai dengan tindak pengrusakan.

Ketiga, dari sudut pandang praktis, agama merupakan pembentuk moralitas. Sebagai umat beragama sejak kecil kita sudah akrab dengan nilai-nilai etis yang termuat di dalam ajaran agama. Semua ajaran tersebut menekankan sikap saling mengasihi, menolong sesama, menghormati dan menghargai orang lain. Maraknya tindak kejahatan dan masih bermunculannya kasus-kasus korupsi pada era reformasi ini menandakan bahwa perilaku hidup sebagian dari anak-anak bangsa masih miskin akan nilai-nilai moralitas. Hal ini bisa menjadi batu sandungan bagi perjalanan bangsa ini ke puncak keberhasilan. Karena itu penting sekali bagi para pemeluk agama sungguh-sungguh mengendapkan dan mengakarkan ajaran-ajaran etis yang disajikan oleh agama. Falsafah pembelajaran keagamaan yang menekankan pengembangan kemampuan pada aspek kognitif, afektif dan psikomotorik perlu untuk dikembangkan, sehingga nilai-nilai spiritulitas sungguh meresap dan mewarnai tingkah laku para pemeluknya.

Keempat, spiritualitas hidup sebaiknya merupakan pewujudan nilai-nilai Pancasila. Pancasila merupakan landasan ideologis bagi bangsa Indonesia dalam hidup bermasyarakat dan bernegara, hal ini telah dirumuskan sejak masa para founding father mengupayakan berdirinya negara ini. Bertolak dari hal tersebut maka implementasi ajaran agama seyogyanya dilakukan dalam konteks negara berpancasila. Peluang dari upaya ini terbuka lebar mengingat Pancasila adalah perangkat bagi terciptanya kehidupan bersama yang adil dan makmur. Melalui Pancasila pribadi-pribadi dengan latar belakang yang berbeda satu dengan lainnya dapat terjembatani satu dengan lainnya melalui penekanan terhadap penghargaan martabat orang lain yang merupakan salah satu prinsip dasar dalam nilai-nilai Pancasila. Dengan demikian fanatisme agama berwujud tekanan terhadap kelompok agama lain tentunya sangat bersebrangan dengan ideologi Pancasila sebagai falsafah bangsa kita. Sebagian dari bentuk pengagungan terhadap Sang Yang Maha Kuasa terwujudkan melalui solidaritas kemasyarakatan, ini merupakan keselarasan antara aplikasi nilai spiritual dan keteguhan pada falsafah Pancasila

Kita masih mempunyai banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan berkenaan dengan peningkatan peran positif agama bagi pembangunan. Masih banyak kekurangan yang perlu dibenahi agar peran tersebut bisa menjadi maksimal. Kiranya segenap umat beragama di negara ini dapat mengaktualisasikankan nilai-nilai religius sebagai pemersatu dan pembentuk manusia berkualitas seutuhnya. Dalam hal ini peran para pemimpin agama sebagai mobilisator bagi para pengikutnya dituntut agar lebih intensif dalam menanamkan ajaran-ajaran agama dalam konteks membangun kebersamaan di tengah-tengah pluralitas bangsa. Serta menekankan implementasi nilai-nilai religius dalam semua aspek kehidupan sehingga pembangunan sebagai upaya mewujudkan kemajuan dan kesejahteraan masyarakat dapat mencapai target yang diinginkan.

 

dennis santoso a.k.a nis's picture

eksistensi agama

hmm, menarik ... walau saya tidak se-ekstrim Nietzsche dengan menganggap bahwa Tuhan sudah mati, kadang saya curious, apa sih sebenernya bagusnya atau perlunya suatu agama? care to explain a little deeper for me? thank's :)
antisehat's picture

susanto: humanity

karl max tokoh kominis:

"Religion is opium for the society"

jadi, agama tetap dan harus ada,

namun untuk humanity?

___________________________

giVe tHank’s wiTh gReaTfull heArt

www.antisehat.com