Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

MBA – Marginal But Accountable

Inge Triastuti's picture
Ia aktivis gereja. Dulu. Sekarang tidak lagi karena harus memakai kursi
roda. Stroke. Dulu ia melayani, sekarang ia harus dilayani. Jangan
kata melakukan pelayanan, datang ke gereja saja perlu ditolong orang.
Hidup terasa makin sepi. Makin jarang saudara-saudara seimannya
datang menjenguk. O tidak. Ia tidak menuntut. Ia tahu sekarang ia
termasuk kaum marjinal, orang-orang yang di tepi lapangan,
orang-orang yang terbatas, orang-orang yang terpinggirkan karena
keterbatasannya.

 

Diambilnya Alkitab. Dulu ia hanya membaca 1 kali sehari. Tetapi sekarang 3 kali
sehari, seperti minum obat saja layaknya. Selembar kertas jatuh ke
pangkuannya. Ia menghela nafas. Itu surat undangan untuknya 2 tahun
yang lalu ketika ia menjadi anggota renovasi gedung gereja dan
sekarang dipakainya untuk pembatas halaman. Ah, tidak. Sebenarnya
untuk mengenang kealpaannya tidak menghadiri rapat itu karena lupa
sehingga ia yang duduk sebagai kasi pengumpulan dana kena marah,
karena rapat tak bisa berlangsung tanpa mendengar hasil kerjanya.
“Kita ini semua ‘kan orang sibuk. Seharusnya penulis mengingatkan
kembali undangan ini lewat telepon,” katanya membela diri.

Lama ia merenungi kenangan ini. Lalu, diraihnya telepon, diputarnya
serangkaian nomor. Suara pendetanya terdengar di seberang.
Perlahan-lahan ia menguraikan apa yang sedang ia pikirkan. Sebelum ia
meletakkan gagang telepon, ia masih sempat mendengar pendetanya
berguman: “Ide yang luar biasa.”

Hari Minggu saat ia akan pulang dari kebaktian, seorang karyawan kantor
gereja bergegas menyerahkan selembar kertas kepadanya. Daftar anggota
panitia Paskah beserta nomor telepon rumah dan hape mereka. Di bawah
ada catatan. “Rapat tgl. 10 Maret pk.19.00 di gereja. Undangan
tertulis telah dibagikan.”

Tanggal 9 Maret malam ia menulis SMS “Jgn lupa bsok 1900 rapat pan Pskh”
dan dikirimkan ke seluruh hape anggota panitia Paskah. Yang tidak
punya hape, diteleponnya. Tanggal 10 Maret pk.16.00 kembali SMS
dikirimkan. “Jangan lupa, 1900 rapat.”

Tanggal 11 pagi ketua panitia meneleponnya. Mengucapkan terima kasih karena
yang datang rapat jauh lebih banyak daripada sebelumnya. Hanya 4
orang saja yang absen. Segera ia menelepon 4 orang itu satu persatu
menanyakan apakah kemarin malam mereka sakit atau ada halangan.
Hasilnya? Ia segera menelpon pendetanya karena ada satu anggota
panitia yang sedang menunggui anaknya kena DB di rumah sakit.

Usaha “biro jasa” yang baru dibukanya ini makin lama makin laris.
Majelis dan beberapa panitia jadi langganannya. Mengingatkan adanya
rapat saja? Seorang guru SM suatu hari datang ke rumahnya dengan
wajah kusut. “Tante, panitia Natal Anak masih kekurangan uang untuk
konsumsi anak. Teman tante kan banyak. Tolongi kami ya. Nggak usah
uang. Nyumbang makanan saja boleh kok.” Ia tertawa. Tuhan, di atas
kursi roda ini ternyata Engkau menugaskan saya menjadi pengumpul dana
lagi. Ia meminta guru SM menunggu sebentar. Ia menelepon beberapa
temannya. “Cukup?” tanyanya kepada remaja puteri yang sibuk
menulis di catatannya. Ada roti kering, ada cracker, ada permen, ada
jeli. Remaja puteri itu mencium pipinya. Kebahagiaan terbit di
hatinya melihat wajah gadis itu kini bersinar. Setelah remaja itu
pergi, ia meraih hapenya. Ditulisnya sebuah SMS, “Viona, tante
dengar kamu sakit. Cepet sembuh ya. Temen2 bilang KTB pemuda ga ada
kamu ga rame. Jgn lupa, kalo bt, call tante ya.” Tak lama kemudian
Viona membalas SMS-nya. Ah, hidup tak lagi sepi, karena kembali
dipenuhi pernik-pernik indah.

Ia masih saja termasuk kaum marjinal, tetapi sekarang ia
accountable. Berharga, berjasa, karena apa yang dikerjakannya
menolong banyak orang. Bila ia datang ke gereja, orang-orang
bersegera menolongnya turun dari becak. Di antara mereka tidak
sedikit yang pernah curhat kepadanya lewat telepon. Dan mereka
dikuatkannya. Ia memang “energizer by phone.” Pulang dari gereja
selalu saja ada yang memberinya oleh-oleh. Atau voucher prabayar. Ia
tak pernah meminta dana dari gereja atau komisi yang dibantunya.
Tetapi Tuhan memperlengkapinya.

Jika kita merasa menjadi kaum marjinal, orang di pinggiran atau
“dipinggirkan,” sudahkah kita berpikir untuk tetap accountable?
Be MBA, guys. Marginal But Accountable. Atau malah sebaliknya? Kita
sebagai kaum muda punya account, berupa uang, waktu, ketrampilan,
talenta, tetapi malah minggir ke tepi doing nothing atau jadi HBO.
Bukan Home Box Office, tetapi Hobi Buat Onar. It’s not good-lah.
Jika kita punya account, bagusan jadi AMB, Always Making Better.
Punya suara lumayan, masuklah ke paduan suara, agar koor gereja makin
bagus. Punya kepandaian ngrumpi, e maksudku bercerita, jadi guru SM
agar Sekolah Minggu makin jreng. Yok, kita bertumbuh bersama gereja.
Okey? ***

Daniel's picture

indah sekali

tulisan yang indah, Inge...

di tengah2 perang komentar dan blog2 teologis yang memusingkan, tulisanmu ini seperti seteguk air dingin yang membawa kesegaran, sekaligus cipratan es di muka yang membangunkan, khususnya buat aku sendiri, yang sebentar lagi akan me-marjinal-kan diri sendiri karena tugas sudah selesai, dan merasa bersalah karena sudah bersiap2 merayakannya...

kamu harus lebih sering menulis...

Inge Triastuti's picture

Tengkiu

Terima kasih untuk kesan dan pesannya. GBU.
Rusdy's picture

Ditto

Met datang Inge, ngikut mas batik di atas, tulisannya bener2 menyegarkan
Inge Triastuti's picture

Tengkiu

Terima kasih atas apresiasinya. GBU.
Josua Manurung's picture

Thank you...

thank you for the story.... sangat menguatkan... BIG GBU!
__________________

BIG GBU!