Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Inikah sudut potret Penerus (Indonesia) ku

Ulah's picture

Ketika kita berbicara tentang toleransi, penghormatan, dan juga pengakuan atas keberadaan keyakinan dan kepercayaan orang lain, ternyata ada sedikit “benih” yang menggangguku. Sekitar tahun 1997, ada sebuah dialog antara anak yang berumur 5 tahun dengan anak yang berumur 12 tahun. Si anak kecil tersebut merupakan seorang anak perwira penjaga keamanan di Indonesia. Si anak yang besar merupakan anak seorang pegawai negeri. Perwira dan keluarganya adalah seorang Muslim, sedangkan pegawai negeri dan keluarganya seorang Katolik. Dialog tersebut kurang lebih begini: Anak Kecil (AK): “Kak, kenapa ya… saya tidak boleh main sama kakak”. Anak Besar (AB): “Mengapa?” AK: “Karena kakak orang Kristen” AB: “Siapa yang melarang?” AK: “Abi dan Umi”. Ketika saya mendengar dialog ini, saya hanya tersenyum. Dialog tersebut terjadi di Papua. Tahun 1998, saya ke Jakarta dan sudah melupakan semua dialog tersebut. Namun, di tahun 2007 ini, dialog tersebut kembali melintas dibenak saya, ketika ada dialog lain yang mirip. Ketika saya pindah ke perumahan dinas ditahun 2006 yang lalu, banyak anak-anak kecil yang bermain ke rumah. Maklumlah saya mempunyai anak yang baru berusia satu tahun. Mereka sering main dengan anak saya sambil bersenda gurau. Satu ketika ada sebuah pertanyaan yang muncul dari mereka, “ Cia (panggilan untuk anak saya), agamanya apa?”. Karena anak saya masih belum tahu agamanya apa, ibunya menjawab, “Kristen”. Mereka hanya berkata “O……”. Hari, minggu, dan bulan berlalu. Kemudian anak-anak kecil yang sering main ke rumah kembali main lagi. Dan dialog berikut terjadi: Anak I: “Cia, kamu lucu dech.. Aku pengin punya adik kaya’ kamu” Anak II: “Kok, kaya’ Cia. Diakan Kristen”. Anak I: “Iya… ya… seandainya kamu bukan Kristen….” Aku sempat tersentak ketika mendengar dialog tersebut. Mereka masih anak-anak. Tetapi mereka sudah memiliki “bibit” tidak menyukai orang Kristen. Apa yang sesungguhnya telah terjadi? Saya dan ibunya hanya bisa berkata, “Cia, engkau harus kuat. Tuhan akan memberi kamu kekuatan. Tetap semangat ya….”. Entah perkataan itu dapat dimengerti atau tidak, tetapi saya tidak mau anak saya terluka.

Rusdy's picture

SARA

Waduh, mudah-mudahan si Cia bisa mengerti biar masih kecil yah. Sayang sekali anak sekecil mereka sudah dilatih untuk memilih teman berdasarkan agama :(
Josua Manurung's picture

Jangan men-generalisir....

Masih banyak anak-anak lain, ribuan bahkan jutaan anak yang dapat memahami perbedaan di sekitarnya.... antar agama, suku, ras, budaya dan lainnya.... menjadi tugas kita bersama untuk mendidik anak hidup dalam harmoni dan menjaga dan menghargai perbedaan sehingga perbedaan itu bukanlah menjadi "perbedaan" lagi... BIG GBU!
__________________

BIG GBU!