Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Hilang

ely's picture

Merencana sesuatu adalah mudah. Bahkan terlalu mudah seperti membalik telapak tangan, manakala rencana terpikir saat emosi angan sedang memuncak.

Namun tidak demikian untuk menindaknya, emosi angan yang tadinya memuncak bahkan yang menghabiskan banyak waktu sekalipun, dapat saja terkikis.
 
Demikianlah sebuah rencana tertunda atau tidak tertindak sama sekali, oleh karena sebuah sebab yang kadang jauh dari kata masuk akal, bahkan lebih parah, ketika hilang begitu saja tanpa menyisakan beban.
 
Jadilah rencana hanya sebuah rencana, hilang bersama emosi dan motivasi yang berubah.
 
***
 
Saat itu amaraku belum juga surut. Setelah selesai dengan pekerjaan dapur, aku melihat nenek itu dari lubang angin di samping dapurku. Lubang berukuran 1/2 m2 itu membuatku dapat menonton dapur milik nenek Aseq, si nenek cerwet, dengan mudah.
 
Dapur itu tidak berdinding, hanya kayu-kayu kecil panjang, terpasang horizontal, jarang-jarang, membatasi sudut yang menyamping ke arah dapurku.
 
Ia duduk pada sebuah bangku kayu kecil, sedang memetik daun-daun sayur.
 
Seperti biasa, ia selalu memamerkan tubuh keriputnya, karena tak mengenakan baju, hanya sebuah rok ta’ah yang melilit di pinggang dan menutupi bagian kakinya yang hitam karena tato.
 
Bukan sesuatu yang mengherankan bagiku, seperti itulah nenek-nenek yang sudah banyak uban di kampung, ketika ku tanya mengapa mereka senang tak memakai baju pada siang hari, jawaban mereka selalu sama, karena kepanasan.
 
Hanya nenek-nenek angkatan muda, yang sudah tahu malu saja, terlihat menutup tubuh yang sudah mulai keriput.
 
***
 
Memperhatikan tubuh nenek itu, aku jadi ingat kepada nenekku yang sudah meninggal, ia dulu sering seperti itu, tidak mengenakan pakaian, duduk di dapur sambil menuggu buburnya masak.
 
“Ah, tidak seharusnya aku bersimpati kepada nenek cerewet itu”.
 
Segera aku berlalu, tak ingin amarahku kepadanya hilang begitu saja. Aku sudah berencana untuk mendatanginya pagi-pagi besok, sebelum ia sibuk dengan pekerjaannya. Aku akan membawanya ke belakang rumah untuk memintanya mengakui bila pohon kelapa yang ada di sana bukan miliknya.
 
***
 
Tidak perlu menunggu waktu lama untuk besok, bila sudah di kampung, waktu seminggu, bagiku rasanya seperti sehari.
 
Pagi aku terbangun, oleh terang cahayanya dari jendela kamar yang terbuka.
 
Sudah waktunya bangun, itulah isyarat dari mama bila ia sudah membuka jendela itu.
 
Mau tidak mau, aku harus bangun, karena tidak mungkin aku menutup jendela itu kembali.
 
‘Pagi-pagi sudah ada tamu’, pikirku, mendengar suara orang lain yang sepertinya aku kenal, dari dapur.
 
Selesai merapikan tempat tidur, aku langsung melangkah ke dapur. Di dapur, aku tidak langsung bisa meminum segelas air putih seperti biasanya, karena aku kaget dengan tamu yang saat itu berada di dapur, si nenek cerewet.
 
Kebetulan sekali, pikirku, mengingat rencanaku kemarin sore. Belum ku datangi, ia sudah datang sendiri. Tapi ketika melihat potongan-potongan daging babi di salah satu sudut dapur, aku jadi mengerti mengapa si nenek bisa ada di dapurku pagi-pagi. Pasti dia yang membawa daging itu, karena semalam tidak ada orang di rumah yang berburu. Nenek itu sedang menjalan kebiasaan kampung, bila mendapat binatang buruan, tetangga sebelah pun akan turut menikmati.
 
Tanpa bertanya pun, aku sudah tahu siapa yang telah berburu. Nenek ini sangat beruntung, karena memiliki menantu yang rajin berburu, sehingga ia tidak perlu memiliki kebiasaan seperti sebagian dari nenek-nenek lain, yang berburu sendiri di halaman rumah, dengan uang lima ribu di genggaman untuk mendapatkan sekilo daging babi.
 
“Bapak Ujang yang berburu”, katanya sambil melihatku, menyebutkan nama menantunya itu, bapaknya temanku si Ujang.
Aku mencoba tersenyum sebisaku, di kepalaku masih utuh rencanaku semula, meski sudah tidak tepat lagi, bila aku sampaikan saat ini.
 
Aku tidak ingin membiarkan kepalaku mengatakan nenek ini baik, karena apa yang ia lakukan pagi ini, biasa juga kami lakukan kepada tetangga-tetangga kami, termasuk kepada nenek cerewet ini.
 
Setelah meneguk segelas air, aku meninggalkan dapur, membiarkan nenek itu mengobrol sepuasnya dengan orang rumah. ‘Nanti siang saja’, pikirku.
 
***
 
Siang hari yang panas, membuatku tak ingin bepergian ke luar rumah. Duduk di teras rumah adalah pilihan tepat untuk menikmati siang itu.
 
Sedang asyik duduk santai, sekelompok orang tak kukenal, lewat di depan jalan rumahku. Berjalan dari hilir ke hulu kampung.
 
“Siapa lagi orang-orang asing ini?’ tanyaku kepada adikku yang saat itu duduk, bersamaku di teras.
 
“Mereka orang-orang survey
 
“untuk apa?”
 
“katanya, mau bikin kebun kelapa sawit”
 
“ah, jangan-jangan mereka sama seperti perusahaan sebelumnya lagi” kataku penuh curiga.
 
Mengingat beberapa tahun lalu, sebuah perusaan yang ijinnya mengatas namakan perkebunan sawit, membuka lahan di hulu sungai untuk menanam kelapa sawit. Namun setelah habis mangambil pohon-pohon besar di hutan hulu sungai, mereka hanya meninggalkan bibit-bibit sawit di sepanjang jalan lahan, tanpa mengurus bibit-bibit itu.
 
Tak ada yang protes saat itu, sepertinya mulut-mulut orang-orang hebat di kampung telah tersumpal.
 
Sedang mengingat-ingat kejadian waktu itu, seseorang kembali lewat di jalan depan rumahku.
 
Muncul perasaan lain saat aku memperhatikan langkah-langkahnya, tergopoh-gopoh dan masih sempat melempar senyum kepadaku, seperti senyumnya yang merekah dari balik jendela beberapa waktu lalu.
 
Akupun membalas senyum itu, dan seketika itu mengambil keputusan untuk tidak lagi memusingkan urusan pohon kelapa yang ada di belakang rumah.
 

* Ta'ah : bawahan pakaian wanita dayak. Tebuat dari sehelai atau dua helai  kain, berukuran panjangnya satu kali lilitan badan dan lebarnya sepanjang kaki, pemakainya. Dipakaikan dengan cara melilitkan ta'ah pada pinggang kemudian mengikatnya dengan dua buah tali pendek yang berada diujung atas ta'ah. Sekarang sangat jarang ditemukan untuk pemakaian sehari-hari, hanya nenek-nenek tua yang masih menggunakannya.

__________________

Lakukan segala sesuatu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia ...