Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Cutton Buds 2

anakpatirsa's picture

Kualami pertengahan Agustus lalu. Kutulis tanpa niat memostingnya, tetapi akhirnya aku berubah pikiran.

Lumayan, menambah point.

Tidak lucu jika aku kembali ke rumah sakit itu lagi dengan kekonyolan yang sama. Aku juga tidak mau lagi menjadi tontonan perawat praktek. Dokternya mungkin sudah melupakan wajahku, tetapi akan segera ingat lagi bila melihat catatan medisku. Ia sendiri yang dua minggu lalu menulis, "Telinga kemasukkan kapas." Tidak mau kudengar ia bertanya, "Yang kemarin telinga kiri atau kanan?" Waktu itu telinga kiriku yang bermasalah, dan sekarang seseorang harus mengeluarkan kapas dari telinga yang sebelahnya lagi.

***

Aku memang jera memakai cutton buds murahan. Sudah kubeli cutton buds di supermarket, sekalian dengan tempat penyimpannya. Cutton buds mahal ini membuatku bisa mengorek telinga dengan rasa aman sehabis mandi. Harus kuakui, kebiasaan ini bukan karena masalah kebersihan, tetapi hanya sesuatu yang kutiru dari Si Kabayan.

Kali ini kulakukan sebelum berangkat ke kantor. Kembali kapas itu tertinggal. Pengalaman mengajariku untuk tidak mengorek-ngoreknya lagi. Juga tidak kuisi lagi daun telingaku dengan air. Aku berencana minta tolong teman kantor untuk melihat dan menariknya. Beberapa orang ikut melihatnya, tetapi kapasnya tidak kelihatan.

Aku tidak merasa terlalu terganggu. Selama seminggu kapas itu aman di telingaku.

Sabtu, Si Sastro mengajakkan ke kolam renang. Jam tujuh ia sudah menjemputku lalu kami pergi ke Manahan. Aku baru berenang berapa menit saat air mulai membasahi kapas di telingaku. Rasanya benar-benar tidak enak, tetapi aku tetap berenang dengan telinga yang berdenging.

Kupikir kalau kering akan biasa lagi.

Sebelum pulang, kami ke Taman Balekambang. Si Sasto mau memuat tulisan tentang taman ini di komunitas blog yang ia kelola. Saat melihat beberapa orang berkumpul di bangunan yang mirip amphitheater, ia mengajakku ke sana.

Sastro mendekati seseorang yang potongan rambutnya pernah kulihat di TVRI.

"Siapa itu?" bisikku kepada Sastro saat teman bicaranya menjawab telepon.

"Maki, personel Srimulat" bisik Sastro, pasti berharap orang di sampingnya tidak mendengar, "Ini dulu tempat manggung mereka."

Percakapan mereka tidak bisa kedengar dengan baik. Telingaku hanya mendengar seribu lalat sedang mengelilingi bangkai kerbau.

Siangnya aku langsung browsing mencari informasi tentang cara mengeluarkan kapas dari telinga tanpa bantuan dokter. Seperti komentar komentar automatkalashnikova47 di blogku, cutton buds memang bukan untuk membersihkan telinga.

Sore, seseorang menemaniku mencari korek telinga dari besi. Petugas apotik mengatakan alat ini ada toko kecantikan, tetapi sekarang tidak ada toko kecantikan yang buka. Membuatku yakin bakalan melewati malam dengan telinga berdenging. Tiba-tiba ingat, dokter rumah sakit itu menggunakan sejenis selang penyedot. Bagaimana kalau aku mencari selang kecil? Dalam hati sudah kubayangkan caranya. Bila ada selang kecil sepanjang setengah meter, aku bisa menyedot kapasnya seperti cara dokter waktu itu.

Cara kerjanya pasti sama, hanya saja harus menyedot dengan mulut. Bukan 'selang kedokteran' yang kubutuhkan. Aku hanya butuh selang kecil yang dijual di toko besi. Ada usul yang lebih bagus, "Jangan ke toko besi, di Pasar Gede selang kecil banyak, selang aquarium."

Sudah hampir malam, aku naik sepeda ke Pasar Gede. Membeli selang paling kecil. Itupun ternyata masih sedikit besar untuk telingaku. Kubeli satu meter, seribu rupiah. Kubeli juga dua alat penyambung, satu berbentuk T dan satunya lurus. Diameter alat penyambung ini lebih kecil dari diameter selang. Itulah alasanku membelinya, supaya bisa masuk ke lubang telingaku.

Malam, selang inipun masuk ke telinga, tetapi tidak berfungsi seperti yang kuharapkan. Aku menyerah. Ada satu yang membuatku sedikit lega, sedotanku membuat kapas itu menjauhi gendang telinga. Dengingan itu hilang.

Lumayan untuk sebuah alat kedokteran buatan sendiri. Sudah cukup kebodohan kali ini. Kuputuskan pergi ke dokter THT saja. Asal jangan ke dokter yang itu.

Aku naik sepeda mendatangi alamat yang kudapat dari petugas apotik juga. Sebuah rumah yang sangat besar. Aku hanya antri dua menit. Sambil menunggu panggilan, seorang petugas memeriksa tekanan darahku. "170/120," katanya. Aku tidak tahu artinya. Juga tidak tahu hubungannya dengan telingaku.

Akhirnya giliranku tiba.

"Lumayan," kataku dalam hati ketika melihat dokter yang duduk di kursi. Tidak kulihat papan nama di luar tadi. Kupikir dokternya pria, ternyata wanita cantik berumur 35-an tahun.

"Keluhan apa?" tanyanya,

"Kapas ketinggalan di telinga," kataku lirih.

"Sudah lama?"

"Sekitar semingguan lebih," jawabku. Dalam hari berkata, "Tepatnya dua minggu kurang dua hari."

"Tidak dikorek-korek?" ia bertanya dengan nada yang menurutku sangat aneh. Seolah-olah berkata, "Seharusnya kamu coba korek-korek dulu baru kalau tidak berhasil ke dokter."

Sambil menyuruhku duduk di kursi hitam yang bisa naik turun, ia mengucapkan sesuatu yang membuatku sedikit ketakutan, "Semoga belum hancur, kalau sudah hancur akan sulit."

Bisa kurasakan tangan asistennya menahan kepalaku sehingga aku tidak bisa bergerak. Tidak sampai satu menit kemudian, kapas itupun keluar. Sedikit kuning dan agak mengembang, mungkin karena kelamaan di telinga.

Dokter yang di rumah sakit itu masih sempat-sempatnya membersihkan telinga sebelahku. Di sini, aku merasa seperti di bengkel sepeda. Kalau ban bocor, yang diperbaiki hanya ban yang bocor itu, rem yang kurang kencang dibiarkan saja.

Ia kembali duduk tanpa memastikan apakah ada lagi kapas yang tersisa. Mencatat sesuatu di bukunya lalu menyerahkan selembar kertas.

"Di sana, ya?" maksudku apakah membayarnya di luar.

"Administrasinya di sini," jawabnya.

"Berapa?"

"Delapan puluh ribu."

Aku cukup kaget, merasakan betapa itu mudah. Seharusnya ia melihat alat sedot telinga ciptaanku. Harganya, termasuk alat penyambungnya, hanya dua ribu rupiah. Aku tidak punya pilihan, belum pernah kudengar ada tawar menawar dengan dokter spesialis. Dan aku tidak mau menjadi yang pertama. Untung aku membawa seratus ribu, karena rencananya setelah ini membeli keyboard dan mouse baru di Toko Java. Kedua benda itu akhirnya melayang.

"Kesehatan memang mahal," kataku menghibur diri sambil mengambil sepeda tua yang kuparkir tepat di samping sedan berlogo bintang.

***

Purnawan Kristanto's picture

Korek telinga

Cerita ringan dan lucu. Menurut artikel yang saya baca, mengorek-ngorek telinga itu bukan kebiasaan yang baik. Telinga kita memang memproduksi semacam lapisan lilin yang berguna untuk menghadang kotoran masuk telinga.  Dengan memasukkan cotton bud kita justru mendorong sebagian kotoran itu justru semakin masuk ke dalam.

Efek yang lain adalah tertinggalnya kapas seperti yang dialami AP. Tapi ada kemungkinan yang lebih buruk seperti dalam film Vendeta. Sebuah adegan menampilkan seorang bapak yang sedang mengorek telinga. Tiba-tiba ada kekuatan jahat yang mendorong tangan sang anak untuk menepuk tangan sang bapak yang sedang memegang cotton bud. Akibatnya, cotton bud itu menusuk gendang telinga sang bapak.

===========================

“If any man wishes to write in a clear style, let him be first clear in his thoughts; and if any would write in a noble style, let him first possess a noble soul” ~ Johann Wolfgang von Goethe

 

 

 

__________________

------------

Communicating good news in good ways

clara_anita's picture

 AP menulis: "Lumayan,

 AP menulis:

"Lumayan, menambah point."

Ya ampun...

masih mengumpulkan poin ya

 

Selamat berjuang ya...

Ditunggu stok-stok tulisannya

 

GBU

nita

Samuel Franklyn's picture

Clara jangan sampai disalib AnakPatirsa

Clara jangan sampai disalib AnakPatirsa. He he he.

anakpatirsa's picture

@Pak Pur Benar Pak Pur,

@Pak Pur

Benar Pak Pur, cutton bud memang bukan untuk telinga, tetapi masalahnya kalau tidak dibersihkan juga selama tiga bulan, kapasnya cepat sekali kuning waktu dipakai.

@clara_anita

Point itu memang penting. Dan beberapa orang kantor segera bersorak kegirangan jika aku terdepak. Mereka itu orang-orang yang senang melihat orang lain sedih.

@SF

He.. he... Ini namanya memprovokasi orang

 

 

clara_anita's picture

Monggo AP; silahkan menyalib

@SF:

Saya tidak keberatan disalib AP; karena tampaknya point itu lebih penting buat AP; lebih bermakna... karena ada harga diri dipertaruhkan di situ .

^_^

 

GBU

anita