Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Bisakah Membuatkan Puisi untuk Hari Ibu? (Indonesia-saram)

Bisakah Membuatkan Puisi untuk Hari Ibu?
Dipublikasi Artikel blog by Indonesia-saram

Aku tidak pernah memikirkan ibuku. Mungkin ini terdengar keterlaluan. Tentu saja aku memikirkannya. Tapi tidak pernah kubiarkan hal ini menguasai pikiranku. Aku bisa saja berkata kesibukan dan kelelahanku (yang sering tak jelas juntrungannya) sebagai alasan mengapa aku tak pernah terlalu memikirkan ibuku (pun ayahku; orang tuaku).

Entah karena aku sudah membiarkan aura ibukota yang sedemikian parah itu menguasaiku. Entah apa karena aku memang sudah membiarkan hatiku membeku dengan urusan keluarga sampai tidak terlalu memusingkan urusan berkenaan dengan keluarga (yang mungkin juga karena aku sudah telanjur berada dalam kesendirianku, sudah teralu enak hidup sendiri tanpa memikirkan siapa pun). Entah juga karena aku benar-benar keterlaluan seperti yang mungkin terlintas dalam benak orang lain kala kutuliskan kalimat pertama tadi.

Aku bukannya membenci ibuku. Tidak juga membenci ayahku. Dalam benakku, aku tidak ingin terlalu sering berhubungan dengan mereka. Sebab semakin sering aku berkomunikasi dengan mereka, ada saja yang membuat mereka cemas. Ada saja yang membuat mereka bertanya mengapa begini dan mengapa begitu; aku tidak suka memberi alasan ataupun penjelasan yang bisa njlimet nantinya. Satu lagi, bila aku berhubungan dengan mereka, aku malah akan kembali bergantung pada mereka, minta ini-itu. Aku hanya yakin mereka di sana baik-baik saja. Katakanlah aku "beriman" dengan percaya Tuhan sendiri akan menjaga dan melindungi mereka nun di sana. 

Aku baru mulai memikirkan ibuku ketika seorang ibu memintaku untuk menyusun sebuah puisi. Puisi tentang ibu.  "Wah, spesifiknya bagaimana Bu?" tanyaku.  "Ya sesuai dengan pengalaman saja," ujarnya di balik sana.  "Ow," aku terdiam sejenak. Agak ragu untuk mengiyakan. "Butuhnya kapan Bu?" tanyaku lagi. 

"Kalau bisa Kamis," balasnya.  "Baiklah. Akan saya usahakan Bu," tuturku lagi mengiyakan.  Celaka. Apa yang harus kutulis? Itulah yang ada dalam benakku kemudian. Aku sama sekali tidak tahu hendak menulis apa dan bagaimana. Apalagi puisi. Selama ini aku tidak pernah menulis puisi berbait-bait seperti dulu. Kalaupun menulis, aku hanya menulis dua tiga baik dengan maksimal dua baris per bait. Bagaimana mungkin?   Praktis hingga Kamis pagi (18/12), hanya tiga-empat baris yang baru tertuang. Aku memang sudah berupaya memeras kemampuanku dalam menuangkan apa yang diminta ibu tersebut. Tapi aku tidak mendapatkan banyak.  

Alhasil di kantor, kerjaku hanya merenung, ngobrol sana-sini, merenung menghadap komputer lipatku, minum, ngobrol sini-sana, lalu merenung lagi. Di tengah persiapan rekan-rekan kerjaku yang sibuk dengan perayaan Natal kantor keesokan harinya, aku tenggelam dalam baris demi baris. Perlahan tapi pasti konsep mulai mengkristal.  Namun, jam makan siang segera menjelang. Tak dapat kubiarkan waktu itu berlalu begitu saja. Sebab aku berjanji hendak makan siang dengan seorang nona manis yang kantornya hanya berjarak sekitar 15 menit dari kantorku. Aku sudah berjanji sebelumnya kalau pekan ini pun aku akan mampir lagi untuk makan siang. Maka kukantongi kertas konsepku sembari membawa sebatang pena. Siapa tahu aku mendapatkan inspirasi sepanjang berjalan, atau sepanjang berbincang dengannya.  Sayangnya, tak ada yang bisa kutambahkan selama makan siang yang molor hingga pukul 13.30 itu.  

Maka kuperas lagi otakku.   Pikiranku sempat melayang kembali ke Solo. Dalam perjalanan terakhirku, aku sempat naik angkot jurusan Gladag-Nusukan. Kala itu gerimis. Seorang ibu beserta anak laki-lakinya yang mungkin baru berusia empat atau lima tahun naik tepat di belokan menuju Rumah Sakit Dr. Oen. Sang ibu menggunakan helm plastik mirip helm proyek untuk menaungi kepalanya dari gerimis hujan. Sementara anaknya tidak memakai apa pun untuk menghindari gerimis. Mereka berbincang dalam bahasa Jawa. Lalu sang ibu sempat menelepon seseorang, meminta orang itu menjemput mereka di tempat mereka akan turun sembari membawa payung supaya anaknya tidak kena hujan.  "Tidak hujan kok," kata anak itu dalam bahasa Jawa.  "Tapi gerimis," balas sang ibu, pun dalam bahasa Jawa. "Lagipula kamu agak hangat," ujarnya lagi sembari memegang kepala anaknya yang bersandar di lengan kirinya. Lalu ia mencium kening anaknya. Musim hujan memang sering membuat orang sakit. Meski hanya rintik-rintik. Toh aku sudah telanjur "terguyur" sejak dari Solo Grand Mall. 

Tapi ketika melihat adegan nyata itu, aku teringat masa kecilku. Aku yakin ibuku pun melakukan hal yang sama.  Aku ingat bagaimana ketika kami tinggal di Kompleks Ikes dulu aku sering merindukan ibuku yang saat itu sempat bekerja di luar kota (atau mungkin di dalam kota hanya saja aku tidak tahu di mana persisnya, dan karena kurasa jauh, kuanggap itu di luar kota). Atau bagaimana ketika ia menangis melihatku mengalami tragedi berdarah akibat kecerobohanku. Mengingat itulah kukira baris-baris berikut lahir.  

"Anugrah" demikian engkau berkata meski sering ku membuatmu mengandung hati oleh tingkah dan ulahku namun engkau tetap setia membesarkanku segenap hati Karena dalam benakku, bukankah aku lebih sering menjadi "kutuk" daripada "anugerah", meski baginya aku adalah anugerah, terutama ketika aku lahir? Lalu rasanya semua mulai lancar. Meski kurasa kurang mantap, kutuntaskan juga tugas itu. Sepertinya aku benar-benar menganggap selesai pekerjaan itu sebelum pukul 15.00.  Ya. Hari ini hari Ibu. Aku sama sekali tidak pernah merasakan apa-apa dalam hari Ibu selama bertahun-tahun terakhir. Tidak sampai tahun ini. Pertama ketika aku diminta menulis puisi tersebut yang membuatku melanglangkan pikiranku ke masa lampau. Akan kasih sayang ibuku. Bagaimana ia dan ayahku memperkenalkanku kepada Juruselamat ... ups, Juru Selamatku. Memperkenalkanku berdoa dan membaca Alkitab. Pun dalam ibadah Minggu kemarin aku diingatkan akan ibuku melalui pesan Dewan Wanita gereja tempatku biasa beribadah. Bagiku, kata-kata sering kali tidak penting. Tapi kukira malam ini aku akan berkata-kata kepada ibuku. Siapa tahu aku keburu sirna. Dalam lautan yang menyiksa.