Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Berendam Di Sungai Yordan

kurnia's picture

"Apa? Aku disuruh mandi di Sungai Yordan? Gila betul nabi itu! Sudah nggak mau menemuiku, sekarang disuruhnya pula aku mandi di sungai yang jorok itu," Panglima Naaman mengumpat dengan geramnya. "Memangnya di Damsik nggak ada sungai. Abana dan Parpar masih lebih baik di banding sungai Yordan itu."

Tentu saja Naaman gusar. Sebagai seorang panglima, ia merasa sangat diremehkan oleh Elisa. Pertama, Elisa tidak mau menemuinya. Kedua, dia hanya disuruh mandi di sungai Yordan, yang menurut dia nggak layak untuk dipakai mandi. Wah, sakit kusta kok cuma disuruh mandi di sungai, terlalu remeh.

Seperti halnya orang-orang kafir pada waktu itu, Naaman memiliki gambaran tentang proses penyembuhan yang akan dia terima dari seorang ahli nujum. Pembacaan doa atau mantra disertai pembakaran kemenyan atau bahan-bahan lain, terus menumpangkan tangan, atau mengoleskan sesuatu pada penyakitnya, atau memercikkan air suci. Lalu sembuh. Atau mungkin dia akan disuruh membayar sejumlah prasyarat, atau melakukan hal-hal seperti puasa, berpantang dsb.

Tapi ini, masak cuma disuruh mandi di Sungai Yordan. (Tentu saja dia sakit kusta bukan karena dia jarang mandi). Memangnya di Sungai Yordan ada apanya? Belum pernah dia dengan ada orang sembuh hanya karena mandi di sungai, Sungai Yordan lagi ! Panglima Naaman pun pergi dan memutuskan untuk pergi. Hilanglah harapannya untuk mendapatkan kesembuhan bagi penyakit kustanya. Dia harus kembali dan menerima rasa malu - menjadi seorang panglima yang sakit kusta.

Untuk saja dia memiliki pegawai-pegawai yang bijaksana (atau mungkin lebih tepat disebut polos - karena mempercayai sesuatu yang tampak janggal). "Tuan, mengapa harus marah? Bukanlah nabi itu hanya menyuruhkan suatu hal yang mudah? Bukankah kalau Tuan disuruh melakukan sesuatu yang berat, Tuan akan mau melakukannya? Apa salahnya kalau sekarang Tuan menuruti perintah yang sederhana itu." demikian para pegawainya memberi saran.

Naaman mulai menenangkan diri dan menimbang-nimbang. "Yah, nggak ada salahnya untuk dicoba," pikir Naaman. Kerendahan hati dan ketaatannya membawa dia melangkah di dalam Sungai Yordan. Dan setelah membenamkan dirinya tujuh kali di sungai itu, tubuhnya menjadi tahir. Mukjizat ! Tubuhnya kembali pulih. Diapun mulai mengakui kebesaran TUHAN, Allah Israel. Kisah tentang Panglima Naaman ini dapat kita temukan dalam Kitab 2Raja pasal 5.

-------

Disadari atau tidak, seringkali kita bersikap seperti Naaman. Kita memiliki kebiasaan, tradisi dan prasangka. Hal-hal tersebut membuat kita menggerutu atau bahkan marah ketika apa yang kita terima tidak sesuai dengan apa yang kita bayangkan sebelumnya.

Tapi sekarang kita perlu menyadari bahwa Allah dapat memakai apa saja, dan Allah adalah Allah yang kreatif. Dia tidak dibatasi oleh tradisi atau konsep manusia. Berkali-kali dalam sejarah, Allah melakukan sesuatu (mujizat) atau penyelesaian masalah dengan suatu cara yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya oleh manusia. Kadang-kadang cara itu adalah cara-cara yang sepele. Mendapatkan air minum di padang gurun hanya dengan memukulkan tongkat di bukit batu, menawarkan air pahit dengan melemparkan tongkat, memenangkan pertemuan hanya dengan mengangkat tangan, berjalan berkeliling dan kemudian berteriak, memecahkan buyung dan menyanyikan pujian, memperoleh persediaan makanan yang cukup di masa kelaparan hanya dengan memberi makan seorang nabi, memperoleh kesembuhan fisik hanya tanpa melakukan apa-apa (sekedar menuruti satu perintah “Pergilah dan percayalah!”), dan juga memperoleh tangkapan yang besar hanya dengan melemparkan jala di sebelah kanan perahu (padahal sudah semalaman tidak nggak mendapat apa-apa).

Daftar tersebut akan semakin panjang lagi ketika kita menggali lebih dalam lagi tentang kehidupan tokoh-tokoh dalam Alkitab. Ada satu kata kunci yang memungkinkan hal-hal itu terjadi - KETAATAN. Yah, ketaatan, meskipun terhadap hal-hal yang sepele. Namun seringkali kita gagal untuk melakukannya, - karena menggapnya terlalu remeh, terlalu umum, atau sebaliknya, terlalu tidak masuk akal.

Beberapa minggu lalu, seseorang mengeluhkan bahwa kotbah dalam kebaktian minggu akhir-akhir ini terasa ‘garing’, nggak ada apa-apanya (aku harap ini tidak menjadi penuduhan ataupun penghukuman bagi para penatua). “Tiap minggu gitu-gitu aja, nggak dapat apa-apa,’ demikian keluhnya. Mendengar ucapan itu, aku menghentikan kegiatan kegiatanku dan melemparkan pertanyaan balik, “Memangnya kotbah seperti apa yang ‘luar biasa’ menurutmu.” Dia sendiri bingung dan tidak mengerti jawabannya. Pembicaraan kami pun berlanjut ke masalah kebaktian minggu dan pertemuan ibadah dalam jemaat. Meskipun telah panjang lebar kami sharing, namun tidak ada hasil yang cukup memuaskan.

Setelah itu aku jadi merenungkan tentang kebaktian minggu (termasuk pemberitaan firman Tuhan). Buat apa kita datang kebaktian minggu? Apa yang kita harapkan dalam kebaktian minggu? Gimana sih kebaktian minggu (dan juga pemberitaan firman) yang luar biasa itu?

Sayang, aku nggak sempat melakukan survey mengenai pertanyaan-pertanyaan di atas. Yah, terpaksa aku mengambil kesimpulan sendiri, yang aku harap ini cukup mewakili pendapat kita semua. Mengapa kita harus datang kebaktian minggu? Sejujurnya, aku sendiri seringkali memiliki motivasi yang berbeda mengenai hal ini. Kadang aku sadar, bahwa aku datang karena kebiasaan (sebagai orang Kristen wajib datang ke gereja setiap hari Minggu), karena malu kalau bolos kebaktian, karena ada tugas dan beberapa alasan lain yang sifatnya terpaksa. Aku menyebutnya rutinitas dan agamawi. Tapi kadang juga aku datang karena memang ada kerinduan untuk menyembah Tuhan bersama-sama jemaat (soalnya kalau sendirian kan bisa dilakukan di rumah), dan mendengar firman Tuhan untuk mendapatkan kekuatan dariNya. Kadang aku datang sekedar ingin bersekutu dan melayani jemaat, sekedar ingin memberi dan tidak mengharapkan apa-apa. Motivasi-motivasi tersebut datang silih berganti, sadar maupun nggak sadar.

Bagaimana dengan Saudara? Aku harap kita semua tidak terjebak dalam rutinitas dan legalitas agamawi. Lalu aku berpikir, bagaimana halnya dengan orang-orang (termasuk aku dan saudara kita yang mengeluh tadi) yang sebenarnya menginginkan sesuatu dalam kebaktian. Kebetulan, saat pembicaraanku dengan seseorang dari jemaat yang mengeluh tadi, aku sedang membaca sebuah buku tulisan Edwin Cole, Menjadi Pria Sejati. Dalam bagian yang aku baca ada disebutkan bahwa orang Kristen pada umumnya memiliki permohonan-permohonan yang diungkapkan dalam satu kata kunci “KEMENANGAN”. Mereka menginginkan kemenangan dalam keuangan, kemenangan atas sakit penyakit dan kelemahan, kemenangan dalam bisnis atau studi dan sebagainya.

Benar juga. Aku rasa itu juga termasuk apa yang kita inginkan saat kita menghadiri kebaktian minggu atau pertemuan ibadah itu. Kadang, aku datang kebaktian karena memiliki suatu pergumulan dan ingin mendapatkan KEMENANGAN atas pergumulan itu, - mungkin melalui pujian penyembahan, kotbah ataupun melalui persekutuan. Bukankah saudara juga demikian - minimal bagi Saudara yang datang dengan suatu keinginan. Meskipun wujud keinginan tiap-tiap orang itu berbeda-beda , namun tetap saja bisa dirangkum dalam satu kata - KEMENANGAN. Entah Saudara bergumul dengan kerohanian pribadi, bergumul dalam keuangan, keluarga, bisnis, studi, sakit penyakit dan sebagainya. Anda ingin bebas dari semua itu. Dan jujur lagi, tidak setiap kita merasa mendapatkan keinginan kita dalam pertemuan ibadah itu.

Jadi di mana sebenarnya masalahnya. Apakah kebaktian minggu (pujian-penyembahan, kotbah dan persekutuan dalam jemaat) yang memang ‘tidak bagus’ ataukah kita yang kurang peka? Bisa dua-duanya. Aku mencoba mengingat-ingat kembali apa kira-kira isi kotbah dalam bulan terakhir ini (kekeringan rohani, misi, pewahyuan akan Yesus, penggilan pribadi, dan keberanian dalam Tuhan). Apakah memang “nggak ada apa-apanya” ? Bagaimana kira-kira kotbah itu bisa memberikan KEMENANGAN yang kita inginkan bersama.

Terakhir aku jadi sadar, bahwa seringkali kita terjebak dalam sikap yang dialami Naaman. Kita terjebak dalam konsep kita, mengharapkan sesuatu yang tampak wah, perasaan yang meluap-luap atau hasil yang instant tanpa melakukan apa-apa. Kadang kita pun terjebak untuk meremehkan hal-hal yang terkesan sepele (dalam kasus kotbah belakangan ini mungkin hal-hal seperti “bersekutu dengan Tuhan”, “melangkah dengan iman”, “bersaksi kepada orang-orang terdekat”, ataupun sekedar melakukan “saat teduh yang teratur.” Itu lagi, itu lagi, bosen ah. Berdoa lagi, mencari Tuhan lagi, memiliki iman lagi, -- koq itu-itu terus. Itu sih kita udah tahu. (DI sinilah kita terjebak. Apa yang kita terima tidak sesuai dengan apa yang kita inginkan, padahal sebenarnya itulah yang Tuhan inginkan). Kita berharap ada orang yang mendoakan kita, dan ‘sim salabin’, masalah kita selesai. Kita berharap mendapat suatu cara baru yang jitu dan instant.

Mungkin sekarang waktunya bagi kita untuk meniru apa yang dilakukan Panglima Naaman. Saya percaya setiap firman yang disampaikan dalam kebaktian minggu itu bukannya tidak ada apa-apanya. Tampaknya kitalah yang harus merendahkan hati kita, dan mulai taat - meskipun hanya dalam hal-hal sepele, seperti yang dilakukan Naaman. Dan jangan mengharap sesuatu berjalan dengan instant, tanpa tindakan ketaatan dari kita. Tuhan adalah Allah yang setia, dan Ia ingin kita taat dan setia, termasuk dalam hal-hal yang sepele, contohnya berdoa (sungguh-sungguh). Yakinlah, ketika kita setia pada hal-hal yang sepele itu, KEMENANGAN yang kita harapkan akan dapat kita peroleh

__________________

Just as i am,

kurnia 

Love's picture

Gimana donk .....

Ya .... saya oke banget dengan tulisan bang Kurnia .... Yakin banget bahwa Tuhan selalu sanggup pake apa saja untuk menyatakan kehendak-Nya. Pengakuan nihh ... ;( Kadang saya di gereja masih lihat-lihat pendetanya atau pengkhotbahnya. Kadang terpengaruh juga dengan pendapat orang tentang mereka ..... Tapi gimana donk kalau jelas-jelas kita tahu dan itu kenyataan bahwa kita tidak nyaman berada atau beribadah dalam gereja karena ketidakberesan hidup para pemimpinnya?? Gimana donkkk ....?? cabut? cari gereja lain?? bijakkah?? baikkah?? setujukah ?? tidak setuju???
Waskita's picture

cukup dengan rendah hati

Memang ibadah itu kalau disertai rasa cukup, memberi keuntungan besar. (1 Timotius 6:6).

Ketika saya coba gali lagi mengapa saya sering tidak puas saat bergereja, saya sadari itu disebabkan karena saya sering menempatkan diri sebagai konsumen. Ketika Gereja tidak bisa memenuhi harapan dan keinginan, saya jadi kecewa. Padahal seharusnya saya datang ke gereja sebagai penyembah. Mencukupkan diri dengan segala ketidak sempurnaan yang ada. Karena justru dalam ketidak sempurnaan itulah gereja memiliki arti. Gereja adalah kumpulan orang-orang yang dengan rendah hati saling mengakui ketidak sempurnaan, dan hidup bersekutu untuk saling menyempurnakan bukan? Kuncinya adalah dengan merendahkan diri, menekan ego saat kita datang ke gereja. Mencoba menggali makna meskipun khotbahnya mungkin sangat menjemukan tapi jika kita dengan rendah diri mau mendengarkan kita pasti akan pulang membawa berkat.

Sulit memang karena otak lebih cepat berbicara, sibuk dengan berbagai penilaian daripada telinga yang mendengar firman.

__________________

kalau saya tida ada di rumah, cari saya di sini

kurnia's picture

Re: Gimana donk

Love,

 

Pendeta, pemimpin dan pengkhotbah adalah manusia juga, pasti bisa salah. Masalah ketidakberesan hidup mereka, mungkin perlu dipertimbangkan juga, seberapa parahkan.

Kalau memang benar-benar parah, coba pakai tahap2 yang Yesus ajarkan:
* tegur 4 mata
* bawa saksi

 

Tentu saja semua itu "jika memungkinkan", karena kadang sebagai jemaat biasa kita gak ada kesempatan untuk itu.

Nah, kalau gitu, cara paling bijaksana adalah dengan berdoa, sungguh-sungguh minta petunjuk Tuhan. Dan sambil berdoa, jangan lupa untuk berkarya juga di gereja. Artinya, jangan sampai kita hanya menuntut, tapi kita sendiri gak banyak memberi kontribusi di gereja.

Masalah pindah atau tidak, saya gak bisa memastikan apakah bijak atau tidak. Kadang kita juga perlu pindah, kalau memang kita sudah membawa pergumulan itu di hadapan Tuhan. Satu yang paling penting, MOTIVASI. Motivasi kitalah yang akan menjadi tolak ukur, apakah keputusan kita itu bijak atau tidak :)

 

Salam,

__________________

Just as i am,

kurnia 

Love's picture

Setuju banget

Kurnia,

Aku setuju banget ....

daripada nggrundel sendiri,

lebih baik kita berdoa dan kasih kontribusi yang baik untuk gereja

tentu saja motivasinya untuk memberikan yang terbaik bagi Tuhan.

Kalau kita bilang hamba Tuhan "gak beres" kok sepertinya kita mau

bilang kalau hidup kita beres-beres saja. Padahal mungkin kitanya yang gak beres sehingga lihat yang beres jadi gak beres juga :)

Hamba Tuhan juga manusia ya :)

Thanks ya Kurnia ....

GBU

Waskita's picture

Setuju ...

Ketaatan adalah aktualisasi dari iman. Bukti bahwa kita benar percaya.
__________________

kalau saya tida ada di rumah, cari saya di sini