Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Bahasa Halus

Indonesia-saram's picture

Sudah lama absen dari tulisan mengenai bahasa, sekarang saya rindu untuk ngobok-ngobok topik favorit saya ini. Tulisan singkat ini merupakan pemikiran sepintas lalu mengenai suatu fenomena bahasa yang sebenarnya sudah berlangsung lama.

Baru-baru ini, sebuah kabar menghebohkan menyangkut salah seorang tokoh terkenal mencuat. Ya, Aa Gym, da'i kondang yang sering menyapa umat dengan pesan-pesan yang tak jarang perlu kita setujui, mengadakan konferensi pers dan mengemukakan bahwa ia telah menikah untuk kedua kalinya. Didampingi istri pertamanya, Teh Ninih, ia mengonfirmasi pernikahannya dengan Alfarini Eridani.

Tentu saja saya tidak bermaksud mengulangi apa yang sudah diberitakan. Tapi dari segi bahasa ada sesuatu yang menarik yang saya tangkap. Ketika secara sekilas menyaksikan tuturannya di sebuah teve swasta, saya menyadari bahwa banyak orang yang menghaluskan bahasanya untuk tujuan tertentu. Penggalan tuturan beliau kira-kira berbunyi seperti ini.

"... tindakan yang saya ambil ini bukan hal yang populer ...."

Ketika mencermati tuturan tersebut, saya menyadari bahwa kecenderungan manusia memakai bahasa yang halus untuk melegalkan suatu tindakan. Tentu saja dalam keyakinan Aa Gym, poligami bukanlah hal yang dilarang. Tapi yang mau saya angkat di sini ialah bahasa halus yang digunakan untuk membenarkan diri.

Kalau pada zaman Orde Baru dulu, hal seperti ini pun pernah kita lihat. Kata disesuaikan lebih disukai daripada kata naik. Maka ketika, misalnya, harga minyak tanah di pasaran akan melonjak, media-media umum pada saat itu akan memilih kata disesuaikan daripada naik dengan maksud tidak membuat masyarakat gempar.

Dalam kasus serupa, kecenderungan orang Kristen pun lebih suka memakai kata-kata halus seperti itu. Misalnya saja ketika hendak konseling, atau curhat kepada seseorang, kita suka memakai kata masalah daripada dosa.

Lebih parah lagi, untuk mengelak dari fakta bahwa merokok itu sesungguhnya dosa, seorang pendeta yang ketepatan seorang perokok berat bisa bertutur, "Alkitab itu 'kan bukan SPBU yang melarang kita agar jangan merokok?"

Bahasa halus di sini sekilas memang mirip eufemisme, yaitu bentuk penghalusan terhadap bahasa yang tabu, misalnya menghaluskan kata pelacur sebagai wanita tuna susila. Tapi dalam hal ini bahasa halus menjadi bahasa yang diungkapkan oleh mereka-mereka yang tampaknya sulit untuk jujur akan dosa-dosa mereka.

Nah, bagaimana jadinya kalau orang-orang Kristen mengadopsi tuturan Aa Gym tersebut?

__________________

_____________________________________________________________
Peduli masalah bahasa? Silakan bertandang ke Corat-Coret Bahasa saya.

Pengunjung B Simarmata.'s picture

Bahasa Halus itu sepertinya membudaya buat bangsa kita.

Saya pernah menyaksikan diskusi di RCTI,dimana pesertanya Amin Rais dan Akbar Tanjung.Ditengah-tengah diskusi dengan meminta izin moderator,Amin Rais nyeletuk bahwa Pak Akbar yg orang Batak sudah lebih halus dari orang Jawa,sementara saya yg orang Jawa sudah seperti orang Batak,suka terus terang. Kebetulan baik Pak Amin maupun Pak Akbar adalah tokoh Muslim yg disegani.Saya tidak berani menyimpulkan bahwa orang-orang Kristenpun sudah banyak cari selamat,asal posisi aman,tetapi kenyataannya bangsa kita banyak yg berbuat demikian,berbahasa halus ,termasuk yg Kristen.
Lina's picture

Dalam beberapa situasi

Dalam beberapa situasi bahasa halus emang diperlukan agar tidak membuat suasana menjadi lebih ricuh. Apa jadinya bila semua orang berkata seenaknya sendiri tanpa mau mengerti kondisi dari yang diajak bicara. Yang ada justru bahasa vulgar yang cenderung kasar.

Bila orang Indonesia (biasanya mengacu ke orang Jawa) senang berbahasa halus karena mereka bisa dan mau menghormati orang yang diajak bicara atau mengerti situasinya.
Indonesia-saram's picture

Maksudnya

Sebenarnya, yang mau saya tekankan ialah bagaimana seseorang tidak menghaluskan atau mengaburkan fakta mengenai dirinya. Jujurlah kalau kita sebenarnya berbuat dosa. Hindari penggunaan kata-kata yang seolah-olah membenarkan atau melegalkan dosa kita.

"Karena bahasa Indonesia dahulunya adalah lingua franca"

__________________

_____________________________________________________________
Peduli masalah bahasa? Silakan bertandang ke Corat-Coret Bahasa saya.

Sam Suga's picture

Setuju

Saya sangat setuju dengan pendapat anda: Jujurlah kalau kita sebenarnya berbuat dosa. Bukankah sering sekali kita dengar orang berkata: "Seandainya saya punya salah tolong dimaafkan" kenapa bukan langsung saja mengatakan: "Saya minta maaf atas kesalahan saya". Bukankah begitu yang anda maksudkan?

Bahkan bukan tidak mungkin ada orang yang berdoa: "Seandainya hari ini saya berbuat kesalahan, Tuhan tolong maafkan saya..." Laughing Untuk urusan dosa-mendosa dan salah-menyalah (ada gak sih bahasa Indonesia yang beginian...) kita harus jujur dan tidak mengeliminir pernyataan kita, karena dengan mengeliminir pernyataan kita sebenarnya kita sedang tidak mengakui dosa/kesalahan kita.

Indonesia-saram's picture

Model Pengalihan

Wah, ternyata Saudara benar-benar menangkap maksud saya.

"Seandainya saya punya salah tolong dimaafkan" ....
Kata seandainya dalam kalimat di atas memang boleh diartikan kebalikan dari pernyataan yang mengikuti. Implikasi dari tuturan itu ialah saya tidak punya salah. Setidaknya, saya tidak merasa punya salah, seandainya pun ada, ya maafkanlah.

BEntuk-bentuk lain bisa dengan menggunakan kata sebenarnya, semestinya, atau seharusnya. Bentuk-bentuk tersebut kalau diikuti pernyataan selanjutnya, yang menjadi fakta justru kebalikan dari pernyataan yang mengikuti.

Misal: Seharusnya saya tidak melakukan kesalahan itu. (faktanya: saya berbuat salah)

Meski demikian, kita tetap harus memerhatikan konteks tuturan.

Kita bisa saja menyadari hal-hal seperti ini dari teman kita. Masalahnya, apakah teman kita itu menyadari fakta mengenai dirinya yang bersalah/berdosa itu?

 

"Karena bahasa Indonesia dahulunya adalah lingua franca"

__________________

_____________________________________________________________
Peduli masalah bahasa? Silakan bertandang ke Corat-Coret Bahasa saya.

xaris's picture

Kasar dan halus

Ra-Ka, saya senang kamu menulis topik ini. Saya mungkin lebih suka pakai kata manipulasi bahasa. Saya yakin kita semua dilatih menggunakan bahasa 'halus' ini dan dalam tahap tertentu bahkan disemangati untuk memanipulasikan kata-kata kita. Setelah beberapa lama, akhirnya kita jadi terbiasa dan menganggap itu sah-sah saja. Di sisi lain, saya juga melihat bagaimana kita menggunakan bahasa 'kasar' dengan tujuan sama. Dan efeknya seringkali lebih dahsyat daripada bahasa halus. Karena dianggap lebih tulus dan apa adanya, padahal sama saja labelnya, memanipulasikan bahasa =)