Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Andai Aku Tahu (3mi)

Andai Aku Tau
Dipublikasi Artikel blog by 3m1

Ditepi tebing sungai, nampak samar dari celah dedaunan warna langit
merah muda, menghantarkan matahari kembali keperaduannya. Bila dapat
memandangnya dari tengah sungai pastilah akan jelas terlihat lukisan
garis-garis cahaya merah muda yang indah karya Maha Agung itu.
Senja indah milik setiap mahluk yang mampu mengetahui keberadaannya.
Tak terkecuali dengan pemilik kaki-kaki kecil yang sedang berlari kian
kemari mengitari jalan setapak di tepi tebing sungai, berirama
mengiringi dentuman-dentuman yang membuat hati setiap saat kian
bergejolak. Entah berapa kali sudah kaki-kaki kecil itu berlari
menjauh, kemudian mendekat kembali ke arah sebuah potongan bambu besar 
berlobang yang didalamnya terlihat kobaran api. Bambu yang dapat
mengeluarkan bunyi sangat keras menciptakan dentuman-dentuman yang
membuat kaki-kaki kecil segera berhambur diiringi pekikan girang.

Kebebasan senja yang selalu dinantikan, tak akan ada yang melarang
berlari, berteriak dan bermain. Karena senja ini menjadi hak setiap
orang untuk bebas mengeluarkan segala macam kreasinya untuk menyambut
tahun baru. Katika letih kaki-kaki kecil itu tak sanggup lagi berlari, hingga akhirnya berhenti untuk kembali keperistirahatan meninggalkan
pertunjukan meriam bambu yang belum usai. Terlelap begitu saja seolah
lupa dengan apa yang baru saja di saksikan. Itulah senja terakhirku
mendengarkan dentuman meriam bambu saat menyambut pergantian tahun di
kampungku, karena setelah itu aku tak pernah lagi mendengarnya.

Sebelum terlelap aku telah berpesan kepada mama untuk membangunkanku
setelah gong gereja dipukul tepat pukul 00.00 malam, saat mama telah
pulang dari gereja, karena akan ada acara meriah yang biasa dirayakan
untuk menyambut tahun yang baru. Aku tak ingin ketinggalan melihat
keramaian orang-orang yang berkumpul mengelilingi kampung dengan bunyi
alat-alat musik dan kaleng-kaleng yang dipukul-pukul untuk
membangunkan orang yang tertidur, agar mereka pun dapat menikmati saat
pergantian tahun itu.

Beberapa saat aku tertidur lelap dalam mimpi indah, membuatku tak
ingin terbangun, namun entah dari mana tiba-tiba disela mimpiku aku
mendengar suara teriakan, teriakan menakutkan seolah sedang mengancam diriku.

Mendengar suara itu, aku tersentak dan terbangun, tanpa sadar aku
langsung terduduk lalu berdiri melangkah menuju ke arah jendela dan
membukanya.

Ketika jendela terbuka, sekilas aku melihat sesuatu bercahaya berlalu
dari arah depan rumah menuju ke belakang rumah diiringi suara teriakan
panik, itulah sumber suara yang membuatku merasa terancam itu.

Berusaha meyakinkan diri bahwa tidak sedang bermimpi, aku menepuk wajahku berkali-kali dengan tangan, hingga akhirnya aku benar-benar sadar bahwa tidak sedang bermimpi. Segera aku menuruni tangga menyusul suara teriakan-teriakan lain yang berasal dari tebing dimana aku bermain senja tadi.

Disana aku temui beberapa anak laki-laki teman sepermainanku
masih berada ditepi tebing, berteriak berlari kesana kemari. Melihat hal itu akupun menjadi panik, ikut berlari dan berteriak bertanya kepada mereka, apa yang sedang terjadi, namun tak ada satupun dari mereka yang menjawabku, hingga akhirnya kami berlari menghampiri sebuah kobaran api, kobaran yang merupakan cahaya yang ku lihat sewaktu membuka jendela tadi.

Entah apa yang sedang aku saksikan saat itu, teriakan kami bertambah
histeris, kobaran api itu sedang membakar sesuatu yang bergerak. Sadar
bila sesuatu itu adalah seorang anak sebayaku, aku terpaku, tak mampu
berteriak dan bergerak lagi.

Beberapa orang terlihat berusaha mematikan api yang berkobar membakar
baju anak tersebut. Kini badan ku terasa sangat lemah, hanya mampu
menatap beberapa orang yang berusaha memadamkan api, tak berapa lama
api telah padam. Tubuh yang tak lagi berdaya itu kini diangkat naik ke
sebuah rumah yang terletak di sebelah rumahku, menyisakan tangisan
menyayat dan bau rambut terbakar, entah mungkin juga daging masak.
Masih mematung tiba-tiba seseorang menarik tanganku membawaku melangkah mengikuti langkahnya menuju ke arah rumahku, orang  yang kemudian aku ketahui adalah mamaku itu langsung memberiku minum air putih ketika telah berada di dalam rumah. Mama sepertinya baru saja pulang dari gereja sehabis mengikuti ibadah tutup tahun. Mungkin waktu itu sudah lewat pukul 00.00, karena samar-samar aku mendengar suara orang-orang ramai dijalan depan rumahku, pasti mereka baru pulang dari gereja juga.

Entah bagaimana suara-suara ramai di jalan itu perlahan hilang dan aku
kembali tertidur lelap ‘mungkin tak sadarkan diri. Keesokan hari ketika terjaga, aku langsung ingat dengan kejadian semalam, aku berdiri  menuju ke arah jendela untuk melihat keadaan rumah
tetangga sebelah. Banyak orang berkumpul di sana. Mama yang baru
terlihat dari sana kini menghampiri dan berdiri disampingku, kemudian
berbicara perlahan memberitahuku jika Luat temanku yang juga tetanggaku itu, telah terbakar karena tersiram bensin oleh seorang teman tanpa disengaja, saat sedang meniup api didalam meriam bambunya. Waktu itu seorang teman yang menaiki cabang pohon sambil membawa potongan jeringen 5 liter berisi bensin dan saat naik ternyata salah satu kakinya terpeleset dari pijakan membuat badannya tidak seimbang  sehingga menggoyangkan sebelah tangannya yang saat itu sedang memegang potongan jerigen dan bertumpu pada sebuah cabang, tumpuan tangan yang tidak memegang jerigen terlepas membuat jerigen ditangan sebelahnya tergoyang dan menumpahkan bensin tepat di belakang badan Luat yang saat itu barada dibawah pohon, tanpa dapat dihindari api dari dalam bambu menyambar membakar baju dan rambutnya.

Mendengar cerita mama, teringat dengan jelas kejadian senja kemarin
sewaktu disuruh mama mengambil beberapa batang serai yang ditanam di
belakang rumah untuk bumbu masakan makan malam kami. Ketika telah
menyabut beberapa batang serai, sekilas aku melihat Luat menumpahkan
bensin dari jerigen 20 liter ke dalam potongan jerigen 5 liter, aku
hanya diam karena saat itu aku sedang sibuk. Hanya sempat terdengar dia mengajakku menyaksikan meriam bambu miliknya yang akan terdengar lebih nyaring dari meriam bambu teman lain karena menggunakan bahan bakar bensin.

Setelah menyelesaikan tugasku, aku kemudian bergabung dengan Luat dan
teman-teman lain untuk menyaksikan kebenaran kata Luat. Memang benar
apa yang dikatakan Luat, meriam miliknya berdentum lebih keras dari pada milik teman-teman lain yang hanya menggunakan minyak tanah. Anak-anak perempuan tidak memiliki meriam, kami hanya berlari kian kemari untuk menjauh menghindari suara ledakan kemudian mendekat ketika suara
berhenti.

Seandainya bukan bensin tentu kejadiannya tidak sampai seperti
itu,  kata mama lagi. aku masih terdiam, tetap memandang kerumah
sebelah, aku mengerti maksud mama, orang-orang biasanya hanya
menggunakan minyak tanah untuk membuat meriam bambu menjadi panas.
Samar-samar aku mendengar suara rintihan, rintihan kesakitan, aku tau
itu suara Luat. Rasa penasaran akan keadaannya membuat aku memberanikan diri melangkahkan menuju rumahnya. Orang-orang tua dan anak-anak telah memenuhi rumahnya. Karena badanku yang kecil maka aku dengan mudah menyusup sampai ke pintu kamar dimana Luat sedang dibaringkan.

Beberapa kali menarik nafas tak juga membuatku tenang. Sulit dipercaya, aku melihat tubuh berbalut kulit merah melepuh berbaring di atas helaian daun-daun pisang. Beberapa orang terlihat sedang mengipas-ngipas tubuh Luat yang merintih terlihat sangat kesakitan. Tak tahan melihat lebih lama aku kemudian keluar dan kembali ke rumah. Dirumah aku bertanya kepada mama kenapa Luat dibaringkan diatas daun pisang, mama menjelaskan bila dibaringkan di atas daun pisang maka kulit-kulitnya tidak akan lengket, berbeda bila dibaringkan pada tikar atau kasur, kulitnya yang melepuh dan sebagian terlihat mengelupas akan tegesek dan lengket bisa terkena benda meresap atau keras, mendengarkan penjelasan mama aku akhirnya mengerti mengapa Luat dibaringkan di daun pisang.

Karena di kampung hanya ada puskesmas untuk pengobatan-pengobatan
penyakit ringan, maka keluarga Luat memutuskan untuk membawanya ke kota supaya bisa mendapatkan perawatan dan pengobatan yang lebih baik. Tidak ingin menunggu terlalu lama, tubuh Luat pun segera diangkat dengan tandu dari bambu hijau berlapis daun pisang. Aku dan teman-teman lain telah berjejer di sepanjang jalan setapak yang merupakan jalan dari rumah Luat ke arah sungai, ingin menyaksikan pengangkatan itu. Aku tak akan pernah lupa dengan wajah-wajah tegang teman-temanku yang berdiri disampingku saat itu. Tanpa ingin berpaling sedikit pun kami  menyaksikan iringan tandu yang lewat di depan kami. Sosok tubuh melepuh berwarna kemerahan dan hanya menyisakan sedikit rambut dikepala Luat membuat aku tak dapat menahan air mata, tak menyangka baru kemarin kami bermain, tertawa dan berteriak bersama.

Setiap kali yang berdiri dipinggir jalan setapak terpatung, kami tak
ada yang bergerak hingga terdengar suara mesin ketinting di sungai,
pertanda perahu yang membawa Luat telah meninggalkan tepian untuk
menyeberang. Setiap orang yang mengiringi penyeberangannya pun kini
masing-masing meninggalkan tempat itu, tertunduk seolah ikut merasakan
apa yang dirasakan Luat.

Bersambung