Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

ALLAH MENGAMBILKU DI MANA IA MENEMUKAN AKU DAN MEMBAWAKU KEPADA DIRI-NYA.

arharahadian's picture

Aku terlahir bukan Kristen itu karena takdirku Ia “menitipkan” aku pada sebuah keluarga yang belum percaya, semua itu adalah masa persiapan dan penggemblengan Tuhan yang mana Ia ijinkan agar aku belajar dari pengalaman hidupku dan mengambil intisari dari pengajaran tersebut untuk menggenapi akan rencana-Nya. Aku pun tidak memilih pasangan hidup yang mana Tuhan telah memilihkan dia dan menghantarkannya dalam lingkaran kehidupanku dan menjadi bagian dalam sejarah kehidupanku. Dia yang telah memilihku juga memilihkan pasangan hidup yang ‘sepadan’ bagiku dan karena dia jugalah aku mengenal Allahku yang kini aku imani dengan sepenuh keyakinan. Apkah aku yang telah merencanakan semua ini? Jangankan merencanakan mengkhayalkan pun tidak, semua itu adalah rencana dan rancangan Tuhan yang mana tidak akan pernah terjangkau oleh pikiran manusia.

 

 

“Sebab jikalau kita, ketika masih seteru, diperdamaikan dengan Allah oleh kematian Anak-Nya, lebih-lebih kita, yang sekarang telah diperdamaikan, pasti akan diselamatkan oleh hidup-Nya! Dan bukan hanya itu saja! Kita malah bermegah dalam Allah oleh Yesus Kristus, Tuhan kita, sebab oleh Dia kita telah menerima perdamaian itu”(Rm. 5:10-11). Allah menarik kita ke dalam persekutuan dengan diri-Nya melalui rute yang berbeda-beda, adalah suatu kesalahan mengharapkan perjalanan seseorang ke dalam iman sebagai tiruan dari orang lain. Tuntutan bahwa pengalaman-pengalaman pertobatan bersesuaian hanya mencampurbaurkan kekhawatiran-kekhawatiran yang salah tempat dan menyesatkan. Kita semua adalah orang-orang yang berbeda-beda dengan titik awal yang berbeda-beda, dan Allah menangani kita seperti apa adanya dimana Ia menemukan kita. Allah memecahkan hati semua orang secara tidak sama, namun pada satu titik, semua jalan kepada Kristus bertemu; pada saat kita menyadari bahwa seseorang salah melangkah dan keluar dari persekutuan dengan Allah, dan tidak mempunyai pengharapan kecuali rekonsiliasi yang dibawakan Kristus sendiri. Kekristenan yang sesungguhnya adalah hidup mengenal Allah, yang dibedakan dari hidup yang disediakan untuk mengenal Allah,  dimulai di sini, pada apa yang Paulus sebut sebagai menerima rekonsiliasi; di sini bukan di tempat lain.

 

 

 “Aku senantiasa mengucap syukur kepada Allahku karena kamu atas kasih karunia Allah yang dianugerahkan-Nya kepada kamu dalam Kristus Yesus”(1Kor. 1:4). Ia yang telah menyelamatkan kita bukan karena usaha kita, kita jangan pernah menyalahkan kesempatan atau kecelakaan yang telah menyebabkan kita di bawah pengaruh agama Kristen dan kita mengikuti gereja Kristen, mendengar Injil, mempunyai sahabat-sahabat Kristen, keluarga Kristen, melihat kebutuhan kita akan Kristus dan datang mempercayai-Nya sebagai juruselamat kita. Semua itu adalah bagian-bagian dari Kehendak dan kasih karunia-Nya kepada kita. Kita tidak menganggap pertobatan dan iman kita sebagai kebijasanaan, atau kepandaian, atau penilaian yang sehat, atau perasaan kita sendiri yang baik. Tindakan iman kita ketika dekat dengan Kristus adalah milik kita dalam arti bahwa kitalah yang melakukannya; tetapi itu tidak berarti bahwa kita telah menyelamatkan diri sendiri.  Kita memberi kepada Allah semua kemuliaan untuk semua yang menyebabkan keselamatan kita, dan kita tahu bahwa akan merupakan hujatan jika menolak untuk bersyukur kepada-Nya karena membawa kita kepada iman. Jadi, kita mengenali kedaulatan kasih karunia Illahi. Di samping itu, setiap orang Kristen lain yang hidup di dunia ini melakukan yang sama.

 

 

Hati orang-orang yang telah diselamatkan akan selalu meneguhkan bahwa pertobatan mereka atau kelahiran baru  atau pembaruan (orang-orang yang berbeda menggunakan istilah yang berbeda) adalah karya Tuhan dari pertama sampai yang terakhir. Semua pencarian dan pergumulan yang menyertainya akan dirasakan kurang diatur secara Illahi daripada bagian akhir dari keyakinan, komitmen dan jaminan. “Terpujilah Allah dan Bapa Tuhan kita Yesus Kristus...sebab di dalam Dia Allah telah memilih kita sebelum dunia dijadikan, supaya kita kudus dan tak bercacat dihadapan-Nya”(Ef. 1:3-4). Perasaan bahwa Allah sudah demikian menghadirkan kegelapan dan kesesatan seseorang untuk membawakan keselamatan secara alami mendesakkan pertanyaan yang secara terus terang dalam lagu “Tetapi, Yesus, mengapa kami?” Perjanjian Baru menghadapi dan menjawab pertanyaan ini dengan menunjuk ke belakang dan ke atas kepada suatu maksud abadi dari kasih Illahi yang berdaulat kepada individu-individu yang berdosa tentang maksud yang sumbernya terletak pada keputusan bebas Allah sendiri. Para penulis Perjanjian Baru tidak memberitahu kepada aku mengapa Allah memilih untuk menyelamatkan aku, mereka hanya memberitahu aku untuk bersyukur  karenanya.

 

 

Dalam mimpi-mimpi dan keinginan-keinginan kita, bahkan sebaliknya dalam sikap luar, orang Kristen juga mempunyai rasa kehilangan dalam berkeinginan, bernafsu, serakah, licik dan tipu muslihat. Orang-orang Kristen, seperti orang-orang lain, dicobai untuk menyenangkan diri sendiri, menyiksa dan mengesploitasi sesama mereka, mempergunakan kekuasaan sebagai hak dalam dunia hubungan antar manusia dan kadang-kadang menginginkan orang-orang lain meninggal benar atau tidak, Allah dalam pemeliharaan-Nya menjaga kita dari tindakan ini. Intinya adalah bahwa keinginan-keinginan yang tidak benar ada di sana, dan ketika hati kita mengikuti mereka, hati kita bersalah, itulah yang perlu kita pertobatkan. “Sesungguhnya, Engkau berkenan akan kebenaran dalam batin, dan dengan diam-diam Engkau memberitahukan hikmat kepadaku. Bersihkan aku daripada dosaku dengan hisop, maka aku menjadi tahir, bersihkan aku, maka aku menjadi lebih putih dari salju”(Mzm. 51:8-4). 

 

 

Sementara menyerahkan diri terhadap dosa-dosa di mana kita secara sengaja terhanyut tidaklah begitu sukar, melakukan apa yang disebut oleh kaum puritan “mengepung” dosa-dosa, dosa-dosa watak yang membuat kita bertemperamen dan dosa-dosa kebiasaan yang sudah menjadi kecanduan dan kuat, secara teratur menjadi perjuangan yang panjang dan mengakibatkan luka-luka. Tak seorang pun yang bersifat religius pernah berpura-pura menjadi yang lain. “Jika tanganmu atau kakimu menyesatkan engkau, penggallah dan buanglah itu, karena lebih baik bagimu masuk ke dalam hidup dengan tangan kudung atau timpang daripada dengan utuh kedua tangan dan kedua kakimu dicampakkan ke dalam api kekal”(Mat. 18:8), meniadakan keinginan untuk mati dan berjuang keras untuk melawan kecenderungan-kecenderungan, idaman-idaman dan kebiasaan-kebiasaan yang sudah lama berada dalam diri kita merupakan masalah yang tiada habisnya. Rasa sakit dan kesedihan, erangan dan keluhan, pasti akan selalu ada karena dosa-dosa kita tidak ingin mati dan juga tidak ingin menikmati proses pembunuhan itu. Yesus memberitahu kita, bahwa mempermalukan dosa dapat dirasakan seperti mencukil mata atau memotong tangan atau kaki, dengan kata lain, mutilasi diri. Kita akan merasa seperti kita harus mengatakan selamat tinggal kepada sesuatu yang sudah merupakan bagian dari diri kita yang tanpa dia kita tidak dapat hidup.

 

 

“Ingatlah kepada seluruh perjalanan yang kaulakukan atas kehendak TUHAN, Allahmu, di padang gurun selama empet puluh tahun ini dengan maksud merendahkan hatimu dan mencobai engkau untuk mengetahui apa yang ada dalam hatimu, yakni, apakah engkau berpegang pada perintah-Nya atau tidak”(Ul. 8:2). Alkitab berbicara baik tentang percobaan Allah dan setan (atau “menggoda”) yaitu, percobaan terhadap orang-orang untuk melihat apa yang ada dalam diri mereka. Kita membaca bahwa Yesus dicobai oleh iblis (Mat. 4:1) dan bahwa Allah mencobai Abraham (Kej. 22:1) dan kebenarannya adalah bahwa dalam setiap situasi pencobaan baik setan maupun Allah terlibat, Allah menguji kita untuk menghasilkan kesempurnaan dalam kemuridan. Setan, sebaliknya, menguji kita dengan pandangan kepada kebobrokan dan kehancuran kita. Pencobaan selalu memiliki dua pihak dalam cara ini, jadi, kapan pun kita sadar bahwa setan berusaha menjatuhkan kita, kita harus mengingatkan diri bahwa Allah hadir juga untuk menjaga kita tetap tegak dan membangun kita melalui pengalaman yang menyiksa itu, itulah sesuatu yang tidak boleh kita lupakan.

 

 

“Sebab, jika kamu hidup menurut daging, kamu akan mati; tetapi jika oleh Roh kamu mematikan perbuatan-perbuatan tubuhmu, kamu akan hidup”(Rm. 8:13). Bagaimana kita “dengan Roh...mematikan kesalahan-kesalahan tubuh?” tindakan-tindakan luar dari dosa datang dari desakan dosa di dalam, oleh sebab itu kita harus mengurangi desakan-desakan ini dari apa yang merangsang mereka (majalah dan film porno, misalnya jika desakannya nafsu; kunjungan ke pujasera, jika desakannya rasa lapar; berjudi dan lotere, jika desakannya keserakahan; dan seterusnya). Disamping itu, ketika desakan itu berada pada kita, kita harus belajar apapun dia, untuk lari kepada Tuhan kita dan berteriak minta tolong, memohon kepada-Nya untuk memperdalam perasaan kita akan hadirat-Nya yang kudus dan kasih penebusan-Nya, untuk memberi kepada kita kekuatan berkata tidak terhadap hal-hal yang hanya akan tidak menyenagkan-Nya. Roh kuduslah yang menggerakkan kita untuk bertindak secara ini, yang menjadikan perasaan kita akan kasih Kristus yang kudus nyata, yang menanamkan kekuatan yang kita minta, dan yang sebenarnya mengeringkan hidup keluar dari dosa-dosa yang kita dambakan.

  “Celakalah orang-orang yang pergi ke mesir minta pertolongan, yang mengandalkan kuda-kuda, yang percaya keretanya yang begitu banyak, dan kepada pasukan berkuda yang begitu besar jumlahnya, tetapi tidak memandang kepada Yang Mahakudus, Allah Israel, dan tidak mencari Tuhan”(Yes. 31:1). Banyak dan kebanyakan dari kita dalam segala sesuatu senantiasa hanya mengandalkan kekuatan manusia, lebih ekstrim lagi mengatakan bahwa apa yang ada pada dirinya adalah hasil kerja keras dirinya semata. Kepintaran dan kekuatan dirinyalah yang dapat menjadikan dirinya hebat, apalah diri kita?, sehebat apakah diri kita? Kemampuan kita serba terbatas bahkan hidup kita pun terbatas tak ada yang kekal di bumi ini, semua akan ada masanya untuk melemah bahkan lenyap di bumi ini. Salah besar apabila dalam hidup kita hanya mengandalkan diri pribadi dan kekuatan manusia, sebagaimana Lot yang terpedaya oleh mata dan pikirannya dimana ia memandang bahwa negeri Gomora adalah suatu negeri yang indah dan makmur bak taman firdaus (Kej. 13), itulah pandangan mata dan pikiran manusia mudah sekali dikelabui dengan pandangan sesaat yang semua adalah karya setan agar manusia tergelincir dan hanya mengandalkan kekuatan diri dan pengetahuan manusia yang serba terbatas serta dapat kita lihat akhir dari kesudahan pada Lot yang hanya mengandalkan kekuatan manusia. Namun kita dapat melihat bagaimana kesudahan dari orang yang totalitas hanya mengandalkan Tuhan dalam hidupnya, bagaimana Abraham yang memilih tanahnya bukan menurut pengetahuannya namun ia berserah diri kepada Allah dan memberikan kuasa penuh agar Tuhan yang memilihkannya dan ia hanya menjalankan apa yang harus ia lakukan selaku manusia sesuai dengan perintah Tuhan (Kej. 13).  Begitu banyak pelajaran yang Tuhan berikan dalam Alkitab mengenai hal ini, bahkan dalam kehidupan di  sekitar kehidupan kita pun banyak pelajaran berharga yang dapat kita pelajari dan kita ambil hikmah dari semua itu.

 

 

__________________

Thank and GBU

Www.Arsyimanuel.blogspot.com