Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Storytelling untuk Memulihkan Trauma
Dengan sepeda motor milik kantor ini, saya alami kecelakaan
Suatu hari, saya melakukan peliputan korban tanah longsor pada lereng di dekat puncak sebuah bukit. Saya berkendara sepeda motor dengan memboncengkan adik saya. Pulangnya, kami menuruni jalan yang terjal dan curam. Sepeda motor meluncur dengan deras. Rem depan dan rem belakang tak mampu lagi menahan lajunya. Saat itu hanya ada dua pilihan: terjun ke jurang di sebelah kanan atau menabrak tebing di sebelah kiri. Saya putuskan menabrakkan sepeda motor ke kiri.
"Braaaak!!!"
Bagaimana kelanjutan kisah ini? Jangan kemana-mana karena akan saya lanjutkan setelah informasi yang akan lewat ini!
Kisah ini saya ungkapkan pada pelatihan trauma healing yang diselenggarakan oleh Mindanao Peacebuilding Institute di Davao, Mindanao, Filipina selatan, Mei 2012. Salah satu materi dalam pelatihan ini adalah penggunaan storytelling dalam pemulihan trauma. Dalam pendekatan ini, komunitas yang mengalami trauma diberi kesempatan untuk membuat cerita.
Manfaat yang didapat dengan metode storytelling adalah:
- Mendorong komunitas untuk menuliskan sejarah traumatik mereka.
- Mencegah trauma menyakiti mereka.
- Membantu mereka untuk membuat rencana pemulihan.
- Memberi keyakinan kepada komunitas bahwa mereka sendiri yang harus mengambil tindakan untuk memulihkan terhadap trauma mereka.
- Memperkuat kekuatan yang ada di dalam diri mereka untuk pulih dari trauma mereka.
Meskipun storytelling bermanfaat dalam pemulihan trauma, namun metode ini juga mengandung risiko. Orang yang mengungkapkan kisah traumatiknya dapat menjadi bahan tertawaan, digosipkan, dihakimi, disalahpahami dan sebagainya. Karena itu, sebelum bercerita, maka orang tersebut harus memahami risikonya bahwa begitu dia membagikan rahasia pribadinya kepada publik, maka dia tidak punya kendali untuk mengontrol bagaimana cerita itu akan beredar. Karena itu jika belum siap, maka disarankan untuk tidak bercerita lebih dulu. Di sini lain, komunitas juga harus dipersiapkan. Mereka juga harus mendukung proses ini. Sekiranya kisah tersebut hanya untuk mereka, maka mereka juga berkomitmen untuk tidak menyebarkannya pada orang lain.
Agar storytelling tersebut dapat efektif, maka Al Fuertez, selaku fasilitator pelatihan menawarkan format cerita yang terdiri dari empat fase. Pada setiap pergantian antar fase diselipkan transisi.
Fase 1: Partisipan menceritakan bagaimana kehidupan sebelum peristiwa traumatik itu terjadi. Misalnya, seperti apakah kehidupan partisipan sebelum Tsunami menyapu kampung halamanya.
Transisi A: Pada bagian ini partisipan menceritakan gejala awal yang muncul sebelum peristiwa traumatik itu terjadi. Misalnya, pada korban pembantaian, partisipan bercerita bahwa sebelum terjadi pembunuhan massal, dia melihat helikopter berputar-putar di atas di kampungnya.
Fase 2: Selanjutnya partisipan menceritakan kejadiannya. Bagaimana peristiwa itu terjadi?
Transisi B: Partisipan mengisahkan dimana posisinya ketika hal itu terjadil Apa yang dilakukannya sesaat setelah kejadian itu.
Fase 3: Pada bagian ini, partisipan menceritakan keadaan hidupnya setelah kejadian. Perubahan apa yang terjadi?
Transisi C: Partisipan membagikan nilai atau ajaran agama yang diyakininya saat ini.
Fase 4: Partisipan membagikan mimpi atau harapan atas kehidupan yang ingin didapatkannya pada masa datang.
Dalam kenyataannya, proses penceritaan tidak bisa berurutan. Misalnya dimulai dari fase 4, lalu melompat ke fase 2, lalu ke fase 3 dan seterusnya. Hal itu tidak menjadi masalah karena storytelling tidak harus berjalan secara linier.
Pada beberapa orang, ada kemungkinan mengalami kesulitan dalam bercerita. Pada penyintas yang traumatik hambatan mereka bertambah lagi karena mereka harus mengingat kembali kejadian yang tidak menyenangkan itu.
Simbol
Untuk itu dapat penggunaan benda simbolik dapat menjadi pintu masuk dalam bercerita. Pada dasarnya setiap hari kita menggunakan metafora untuk menjelaskan sesuatu yang sulit untuk digambarkan. Aktivitas: Setiap partisipan membawa simbol tentang penyembuhan. Setiap hari kita menggunakan metafora untuk menjelaskan sesuatu yang sulit digambarkan. Dalam trauma healiang, metafora dapat digunakan untuk mulai dari anak-anak sampai dengan usia lanjut. Metafora membantu manusia untuk mengekspresikan diri sendiri.
Pada pelatihan ini, partisipan diajak untuk menunjukkan benda yang menjadi simbol bagi peristiwa yang berkaitan dengan trauma mereka. Ada yang memilih bunga, makanan, alat komestik, kitab suci, air, dll. Lalu apa simbol saya? Saya memilih SIM untuk menyimbolkan trauma saya di atas.
Selain storytelling, Al juga menunjukkan metode lain yaitu dengan mengajak anak-anak menggambar. Al lalu menunjukkan beberapa gambar yang dibuat oleh pengungsi suku Karen di Myanmar dan anak-anak di Aceh.
***
Kembali ke kisah di awal cerita:
Setelah menabrak tebing, saya tidak ingat lagi kejadiannya. Meski saya tidak pingsan, namun saya mengalami amnesia kejadian sejak menabrak tebing hingga dibawa ke rumah sakit di Klaten.
Sejak saat itu, saya mengalami trauma jika menuruni jalan yang curam menggunakan sepeda motor. Keringat dingin dan jantung berdebar adalah gejala yang muncul jika melewati jalan yang menurun meskipun tidak begitu curam.
Hingga akhirnya saya putuskan untuk menghadapi trauma itu. Dengan sepeda motor baru, saya menuruni kembali jalan tempat saya mengalami kecelakaan dulu. Perasaan cemas masih muncul saat perlahan-lahan menyusuri jalan itu. Adrenalin terpompa kencang. Keringat mengucur seiring roda sepeda motor meluncur turun. Hingga akhirnya saya sampai di kaki bukit dengan aman. Sejak saat itu, trauma saya perlahan-lahan mulai memudar.
****
Ini adalah akhir dari catatan pelatihan minggu ketiga. Pelatihan ini sangat bermanfaat bagi saya. Sebagai relawan tanggap bencana, saya kadang menemui orang-orang yang mengalami trauma. Di Klaten, ada bayi yang takut untuk tidur di dalam rumahnya yang bertembok. Ketika gempa terjadi, rumah mereka luluh lantak dan rata dengan tanah. Beberapa bulan kemudian, kami membuatkan rumah inti bagi keluarga anak ini. Namun sang anak itu menolak untuk tidur di rumah barunya. Dia memilih tidur di rumah di dalam rumah sementara.
Saya bersyukur mendapat kesempatan pelatihan ini. Untuk itu saya sangat berterimakasih kepada pak Iskandar Saher dari P3H dan pak Nick Armstrong dari CRWRC yang mensponsori pelatihan ini.
Partisipan dan fasilitator kelas Trauma Healing
Baca juga:
- Catatan Perjalanan: Kesasar di Singapura
- Storytelling untuk Menyembuhkan Trauma
Catatan Pelatihan “Peace Building” (1)
Peace Zone di Filipina | Catatan Pelatihan “Peace Building” (2)
Menyerap Metode Partisipatif dalam Pelatihan Peace Education
Menyemai Perdamaian Batin [Oleh-oleh dari Filipina]
Belajar Tentang Prinsip Belajar Orang Dewasa
Pemulihan Trauma Berbasis Masyarakat
------------
Communicating good news in good ways
- Purnawan Kristanto's blog
- Login to post comments
- 6156 reads