Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Penyelamat Yang Tertolak
Sejak kecil dia sudah mengalami penolakan. Sampai pada hari kematiannya juga. Sang 'calon ayah' hendak memutuskan pertunangan dengan ibunya karena dia. Sang ibu, dengan was-was dan mungkin juga malu namun tetap tegar, menyimpan rahasia tentang dia. Belum lagi komentar dari tetangga dan kerabatnya (kecuali mungkin dari salah seorang bibinya).
Ketika hendak lahir, tidak ada penginapan yang tersedia. Semua terisi penuh, di tengah musim dingin dan diapun lahir di tempat yang hina, tanpa kemewahan dan pesta pora. Siapa sangka dia akan menjadi tokoh besar dalam sejarah dunia. Baru beberapa hari kelahirannya, dia sudah diincar oleh penguasa daerah itu yang sangat ketakutan dan tamak kekuasaan. Bersama orang tuanya, dia mengungsi ke luar negeri.
Orang tuanya tidak berani membawanya ke kampung halamannya sepulang dari pelariannn di luar negeri. Masa kecilnya pun dijalaninya di daerah yang agak 'terbelakang'. Namun di sini dia bertumbuh dan disukai banyak orang. Barulah saat dia dewasa, saat dia mulai melakukan pelayanannya, orang-orang di kampung halamannya sendiri malah menolak dia. Dalam pernyataannya di awal pelayanan, di 'gereja lokalnya' sendiri, dia ditolak. "Bukankah dia anak Yusuf, si tukang kayu? Bukankah saudara-saudaranya ada di antara kita?" mereka meragukannya. Dia ditolak, diusir, bahkan hendak dibunuh. Dengan tenang dia berkata, "Tidak ada nabi yang dihargai di tempat asalnya." Pihak keluarganya sendiri, saudara-saudara yang tinggal serumah dengan dia juga menolak dia. Saat mereka menantangnya untuk membuktikan diri, dia cuma berkata, "Waktuku belum tiba."
Semakin lama pelayanannya berkembang. Banyak orang mengikuti dia. Dan banyak pula yang mundur, kecewa dan bersungut-sungut, karena mereka tidak menemukan apa yang mereka cara, yang mereka inginkan. Menghadapi hal itu, dia tidak merasa tak aman (insecure). Dia tahu dari mana sumber rasa amannya, dan itu hanya ada di dalam Bapanya. Diapun tahu bahwa "tidak seorangpun datang kepadanya kalau Bapa tidak mengaruniakannya." Malahan terhadap murid-murid yang masih tertinggal, dia bertanya, "Apakah kamu tidak mau pergi juga?" Bukan karena kecewa atau tidak aman dia mengatakan hal itu, justruu karena rasa aman yang dimilikinya.
Para ahli teologia dan pemuka-pemuka agama (yang munafik) berkali-kali berusaha menjebak dan mencari kesalahannya. Mereka, yang menaruh rasa amannya pada manusia, sangat membenci dia dan menganggapnya sebagai saingan. Dengan tegas dia menegur mereka karena "kemunafikan, ketakutan dan ketidakamanan" yang tersembunyi di balik jubah keagamaan mereka.
Dia dikelilingi oleh orang-orang yang tersingkir, yang tertolak oleh masyarakat, yang mungkin dianggap sebagai "sampah masyarakat", yang hina, dan juga 'kafir'. Dia tidak menolak mereka. Dia tidak risi dengan mereka, malahan untuk merekalah dia datang. Dia telah menang dari "roh penolakan" sehingga bisa menyambut orang-orang yang tertolak itu dan menyembuhkan mereka. Undangan yang lembut disampaikan bagi mereka. "Marilah kepadaku, hai kamu yang letih lesu dan berbeban berat, dan aku akan memberimu kelegaan."
Kotbahnya keras, tanpa kompromi. Seruannya lantang, "Kasihilah musuhmu, berdoalah bagi orang yang menganiaya kamu. Mintalah berkat bagi orang yang mengutuk kamu. Jangan melawan orang yang berbuat jahat kepadamu." Dan lagi "Ampunilah saudaramu, bahkan jikalau dia tujuh kali sehari berbuat salah kepadamu dan tujuh kali dia menyesal, engkau harus mengampuni." "Bukan tujuh kali melainkan tujuh kali tujuh puluh kali kamu harus mengampuni." katanya kepada seorang murid. Itu bukanlah suatu hal yang mudah diucapkan, apalagi dilakukan, oleh orang yang penuh penolakan. Tapi dia sudah melewatinya. Syarat untuk mengikut dia pun berat dan kotbahnya tajam. Ini menunjukkan bahwa dia tidak mau "man-pleasing". Tidak pandang bulu.
Kasihnya yang besar memandang jauh ke depan. Dia tahu pengkhianatan dan penyangkalan yang akan dialaminya. Tapi tetap dengan rendah hati, dia melayanii pengikutnya, yang keadaannya seperti tidak tahu diri dan "bebal". Dia memberi contoh dengan sabar, mengajar mereka sambil membagi hidupnya, dan menunggu sampai mereka berubah. Terus-menerus dia menunggu dengan lemah lembut. Peringatan-peringatan keras sering diberikan kepada mereka agar mereka berubah. Perlakukannya terhadap mereka sama, dengan suatu harapan bahwa mereka akan melanjutkan misinya, yang akan menggoncang dunia. Meski perubahan tampak lambat, dia tetap berharap dan tekun.
Pada puncak pelayanannya, menjelang akhir hidupnya di dunia, masih juga dia mengalami penolakan. Setelah semua pekerjaan luar biasa yang dilakukannya, dia masih ditolak. Tidak tanggung-tanggung, dari orang terdekatnya sendiri, yang selama itu selalu beserta dengannya, menyaksikan kebaikannya. Satu orang menjualnya, yang lain menyangkal mengenal dia (bahkan dengan sumpah) padahal semula dia sesumbar untuk membela sampai mati. Ketika menghadapi depresi, tak seorangpun yang menemaninya untuk turut menghibur dan menguatkan dia. Tiga "orang kuat" pilihannya tertidur, memikirkan keadaan mereka sendiri. Semua murid akhirnya melarikan diri ketakutan, meninggalkannya seorang diri menghadapi tuduhan-tuduhan menghadapi satu regu pasukan Romawi. Pemuka-pemuka agama bersekongkol mengajukan tuduhan-tuduhan palsu, menyesahkan dia dan memberi hukuman yang tidak layak ditanggungnya. Yang mengadilinya tidak berani menentang suara mayoritas, dan dia "mencuci tangan" agar tidak ikut dipersalahkan. KETIDAKADILAN.
Prajurit-prajurit yang beringas menelanjanginya, mempermalukan dan menyiksa dia tanpa belas kasihan. Orang-orang awam yang selama ini mendengar kebesarannya, turut mencibir dan menghujat dia. "Selamatkan dirimu, agar kami percaya," cemoohan para pemuka agama. Hanya beberapa perempuan dan murid terkasihnya yang menemani dia di ujung kematian.
Dia tahu bahwa ini harus dilaluinya. Malam sebelumnya dia telah menang dalam pergumulan melawan "dirinya sendiir". Saat itulah dia diuji. Dan tetap dia adalah Pemenang. Penganiayaan dan penghinaan yang berat dia tanggung dan tetap mulutnya mengucapkan pengampuan (selaras dengan kotbahnya). "Bapa ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat." Dan pada saat-saat terakhir, kehilangan terbesar dia rasakan ketika Bapanya sendiri meninggalkan dia. Dia benar-benar sendirian, meskipun beberapa orang ada di dekatnya. Kesakitan dia tanggung sendiri, sampai hidupnya diakhiri dengan "SUDAH SELESAI." Kemenangan itu membawa kemenangan berikutnya: KEBANGKITAN.
Dia melewati semuanya itu dengan satu tujuan dan satu alasan - MANUSIA. Ya. Kita, manusia. Kasihnya pada manusia membuat dia melakukan semua itu. "We were the reason that He gave His life. We were the reason that He suffer and died." demikian ungkap sebuah lagu. Penderitaannya adalah untuk kita. Karena dia, Allah tetap sabar menghadapi penolakan dari dunia ini, bahkan dari umat kepunyaanNya sendiri.
Benar. Yesus mengasihi saya dan Saudara. Dia tidak menolak Saudara. Dia menerima Saudara apa adanya. Dia tetap mengampuni Saudara ketika Saudara menyesal dan bertobat. Terimalah itu! Semua penderitaan sudah Dia lewati karena kita dan untuk kita. Kita - saya dan Saudara. - berharga di hadapanNya. Kasih tanpa syarat, telah dicurahkanNya bagi kita.
Bandung, 1 Oktober 1998
Just as i am,
kurnia
- kurnia's blog
- 5593 reads