Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Ateisme Berkedok Pluralisme

Erfen Gustiawan Suwangto's picture

Judul yang aneh? Tentu saja aneh karena orang umumnya mengganggap positif istilah pluralisme, sedangkan ateisme umumnya mendapat konotasi negatif , tetapi mengapa keduanya digabungkan? Tentu saja bagi mereka yang kritis akan segera menemui jawabannya, yaitu karena yang mendapat konotasi negatif itu ingin menyamar dalam bentuk yang lebih positif. Ya, ateisme memakai kedok pluralisme untuk menutupi misinya. Lagipula, apakah ateisme senegatif itu? Dan apakah pluralisme sepositif itu? Setidaknya itulah yang terjadi di masyarakat, walau bisa saja ada yang menganggap sebaliknya.

Mungkin ada lagi yang bertanya, “Bukankah sah-sah saja orang menjadi ateis?” Tentu saja sah secara HAM walau di negara ini tidak diizinkan, tetapi akan menjadi berbahaya jika ia menjalankan misi tertentu di luar ateismenya itu sendiri, misalnya ateisme yang ditujukan untuk kepentingan politik.

Politik dapat dikuasai jika manusia dapat dikuasai, sedangkan selama ini bisa dikatakan agama menjadi “penguasa” manusia. Agama menjadi “penguasa” karena telah mendarah daging turun temurun dan menjadi tuntutan pola tingkah laku manusia. Sehingga inilah pemikiran politik busuk saat ini bahwa jika ingin menguasai manusia, harus menghilangkan agama.

Timbul lagi pertanyaan, “Bukankah justru agama yang sering dijadikan kedok politik sehingga wajar jika ada gerakan untuk menghilangkan agama?” Jawabnya benar bahwa agama juga sering dijadikan komoditas politik. Dan benar bahwa orang juga sudah mulai bosan dengan agama karena hal-hal ini. Namun, bukankan penganutnya yang salah dan bukan agamanya? Oleh karena itu, para penganut agama juga harus berbenah diri dan sadar bahwa agama bisa dipolitisasi. Dalam bahasan ini, kita fokus bukan pada politisasi agama yang telah diketahui banyak orang, tetapi fokus kepada politisasi terhadap ateisme dan pluralisme. Wah, mengapa terjadi hal ini? Bukankah ateisme dan pluralisme justru menjadi pengimbang kaum agamis yang konon suka mempolitisasi agama? Karena itu mari kita simak uraian di bawah ini.

Bagi para politikus busuk, ia harus mengubah strategi dengan memakai kesempatan untuk menggunakan ateisme sebagai kendaraan politik setelah puas memakai agama sebagai kendaraan politik. Timbul suatu gerakan balik yang menarik bukan? Dari menggunakan agama sebagai kendaraan politik, sekarang karena masyarakat dunia banyak yang bosan dengan agama malah berganti memakai ateisme sebagai kendaraan politik.

Akan tetapi, para politikus busuk ini menyadari bahwa yang melanda para pemeluk dunia saat ini bukanlah ateisme, tetapi hanya karena para penganut agama kecewa dengan agama. Padahal ini juga disebabkan oleh para politikus busuk itu sendiri yang suka mempolitisasi agama. Ini menyebabkan para politikus busuk memakai kedok pluralisme untuk menjerat orang-orang yang kecewa dengan agamanya tersebut supaya masuk dalam perangkap ateisme. Dengan isu ateisme, masyarakat akan lebih mudah dikuasai. Ya, ternyata politik bisa memakai semua kesempatan, baik itu agama bahkan yang ekstrim melawan agama, yaitu ateisme.

Apakah ini hanya asumsi tanpa bukti? Banyak data yang bisa ditelusuri dan banyak fakta di lapangan yang tidak terbantahkan. Orang-orang ini menyusup ke tiap agama dan tetap beragama padahal mereka berbeda dengan ajaran agama yang dianut. Mereka selalu menghasut pemeluk agama untuk tidak mempercayai pemimpin agama, institusi agama, dll. Padahal kalau pun memang ada yang salah, jelas yang salah adalah oknum pemimpin agama, bukan agama secara keseluruhan. Tetapi mereka ini membesar-besarkan isu bahwa agama adalah perusak dan harus dihilangkan.

Ini dilakukan pelan-pelan dengan halus karena mereka tidak ingin didepak di fase awal. Mereka harus bisa membujuk, terutama dengan isu kasih universal. Lucunya, sumbangsih mereka terhadap kemanusiaan saja tidak bisa menyaingi pemeluk agama tauhid seperti Ibu Teresa, tetapi mereka sok lebih mengasihi. Yang ada justru mereka menimbulkan perpecahan internal umat beragama karena perbedaan ajaran tersebut. Yang lebih berbahaya adalah mereka bisa mengadu domba antarpemeluk agama yang berbeda pula.

Bagaimana bisa mereka mengadu domba antarumat beragama? Misalkan saja mereka menyusup ke gereja dan menyebarkan paham liberalisme ke dalam gereja sehingga banyak juga umat gereja yang terpengaruh. Lama-lama budaya liberalisme berkembang sehingga meresahkan teman-teman muslim yang dalam ajarannya tidak mengajar liberalisme. Ini menyebabkan rekan muslim mengidentikkan liberalisme dengan kekristenan. Padahal liberalisme bukan ajaran gereja, bahkan gereja juga terancam dengan paham ini karena Kristus sendiri memang mengajarkan demokrasi dan HAM, tetapi bukan liberalisme. Tetapi sekali lagi mereka berkilah bahwa seakan Kristus juga seliberal itu. Benar-benar memperbesar jurang kesalahpahaman kaum nasrani dengan kaum muslim. Dan yang paling parah, mereka terang-terangan mengaku nasrani tetapi mencaci rekan muslim secara kasar.

Yang paling populer adalah mereka mengangkat isu demokrasi, HAM, emansipasi wanita, gerakan pelestarian lingkungan, meditasi, vegetarian, pseudosains, kembali ke ajaran nenek moyang (seperti mistisisme, pengobatan alternatif). Tentu saja tidak ada yang salah dengan semua ini, tetapi dipakai sebagai kedok dan disalahgunakan. Pola ini dipakai untuk menyusup ke semua agama sehingga tidak susah mendeteksi keberadaan mereka.

Yang menarik adalah pseudosains. Ya! Mereka memakai pengetahuan palsu untuk mendukung paham-paham mereka. Ilmu kedokteran saraf dan ilmu fisika kuantum yang paling sering disalahgunakan oleh mereka. Yang paling terkenal adalah teori evolusi yang sering dipakai oleh mereka juga. Namun, bagi ilmuwan sejati tentu langsung bisa mengetahui bahwa teori ilmiah yang diajukan oleh mereka hanyalah omong kosong belaka. Mereka menyela umat beragama karena tidak logis padahal mereka sendiri tidak logis, tetapi berpura-pura logis dengan memakai pseudosains.

Bagaimana pula mereka mengadu domba umat beragama yang seagama? Mereka mengajak umat untuk tidak mempercayai pemimpin agama, institusi agama, ajaran agama, bahkan kitab suci. Mereka mengajak orang-orang untuk tidak sholat tetapi malah meditasi (khusus agama Islam), tidak ke gereja dan meditasi menyimpang (khusus agama nasrani), meditasi yang menyimpang (untuk agama Buddha, Hindu, Kong Hu Cu, dan aliran kepercayaan lain). Masalah penyusupan ini, telah diklaim oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI), Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), Perwalian Umat Buddha Indonesia (Walubi), dan Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI). Di luar negeri juga sedang “berperang” melawan hal ini. Koordinasi di dalam negeri juga sedang digalakkan.

Mereka mencampur semua ajaran agama dengan dalih semua agama adalah sama. Awalnya memang terdengar indah, tetapi akhirnya mengarah kepada ateisme. Tentu saja bagi mereka, semua agama adalah sama karena bagi mereka agama itu tidak ada. Semua agama sama konyolnya bagi mereka. Jadi jangan dikira mereka menghargai persamaan agama secara hakiki, tetapi agama justru dalam arti sama-sama ditertawakan oleh mereka.

Di satu sisi mereka memang benar bahwa agama tidak sebatas ritual ibadah dan doktrin, tetapi nyatanya agama juga memang hanya menggunakan ritual ibadah dan doktrin sebagai media. Namun, mereka menggembor-gemborkan bahwa agama hanya sebatas ritual ibadah dan doktrin. Ini tentu fitnah.

Di sini akan memakai contoh penyusupan mereka di dalam gereja karena penulis sebagai nasrani. Sedangkan penyusupan mereka di tempat ibadah lain, tentu umat beragama yang bersangkutanlah yang lebih berhak menceritakan.

Misalkan saja mereka menyela pentingnya bangunan gereja karena Tuhan Mahaada. Tentu saja dalam ajaran nasrani, Tuhan Mahaada. Akan tetapi, bangunan gereja diperlukan sebagai sarana berkumpul umat seiman untuk bersekutu dan saling menguatkan. Lagipula, setelah kebaktian selesai, bangunan gereja dapat dipakai untuk keperluan lain. Bahkan, di kota-kota besar gereja memakai auditorium hotel yang jika kebaktian usai, auditorium itu dipakai untuk keperluan lain. Jadi, jelas bahwa ajaran gereja juga mengajarkan gereja hanyalah sarana, tidak seperti yang dituduhkan.

Lucunya, mereka sendiri memakai tempat-tempat pertemuan, punya doktrin, serta “kitab suci” sendiri di luar gereja. Ya! Mereka memakai standar ganda, di satu sisi menyela gereja, ajaran gereja, dan injil, ternyata mereka sendiri memakai komponen-komponen itu dalam pertemuan mereka. Mereka juga tetap mengambil ajaran Kristus, tetapi “dimodifikasi”. Hal ini juga dikeluhkan rekan-rekan muslim di mana mereka juga memakai Alquran yang “dimodifikasi”. “Dimodifikasi” sesuai versi mereka. Mereka sering menyela umat beragama padahal mereka sendiri lebih munafik!

Ajaran dan kitab suci mereka adalah gabungan dari semua ajaran agama. Padahal sudah jelas agama-agama berbeda secara doktrin dan masing-masing berhak mengklaim kebenaran agama masing-masing yang dijamin UU. Namun, mereka melarang pengklaiman kebenaran dari agama. Ya! Mereka melarang agama, tetapi memaksa paham mereka untuk diterima. Standar ganda lagi yang dipakai oleh mereka.

Lagipula lucu sekali, mereka mengklaim “doktrin baru” mereka tersebut sebagai kebenaran mutlak di saat mereka sendiri menolak agama untuk mengklaim kebenaran agama masing-masing. Standar ganda lagi yang dipakai oleh mereka. Alasannya karena jika masing-masing agama mengklaim ajarannya benar, maka inilah yang menjadi akar perpecahan bangsa dan perpecahan dunia. Padahal jelas tidak masalah jika pengklaiman itu dilakukan masing-masing ajaran sejauh tidak melanggar hukum yang diatur UU. Lagipula mereka sendiri mengklaim pahamnya yang paling benar. Tidak dapat diterima secara logika.

Sebenarnya siapa mereka ini? Tanpa bermaksud menghakimi, kita tentu mengetahui siapa di balik ini semua. Yang penting umat beragama harus bersatu karena perpecahan antarumat beragama menjadi celah empuk sasaran mereka. Sesungguhnya dalam kitab-kitab sudah ada nubuat akan munculnya gerakan ini. Dinubuatkan bahwa mereka akan makin berjaya, tetapi kita tetap tidak akan pernah gentar untuk melawan!

Namun, bagaimana melawannya? Tentu bukan dengan kekerasan karena justru kekerasan yang dilakukan umat beragama dewasa inilah yang membuat bertambah suburnya gerakan ini. Ibarat pengentasan narkoba yang sulit memberantas jaringannya, maka kita harus menangkal supaya diri kita tidak terjebak dalam narkoba. Maka ini juga berlaku untuk mengatasi gerakan ini, yaitu dengan penegasan doktrin tiap agama dan senantiasa merangkul rekan-rekan yang “menyeleweng” tersebut. Perkuat juga kerukunan internal maupun antarumat beragama. Dengan demikian terlihat jelas perbedaan mereka dari ajaran agama induk dan kita tidak terpecah belah sesuai keinginan mereka.

Sesungguhnya tulisan ini tidak mendukung fanatisme dan tidak anti terhadap pluralisme dan ateisme , tetapi mengingatkan akan bahaya politisasi terhadap gerakan pluralisme atau ateisme. Karena seperti yang dibahas di atas, bahwa politik bisa memakai semua kendaraan, baik kendaraan agama, ateisme, maupun pluralisme. Selama -isme tidak melanggar UU atau menimbulkan keresahan, tentunya tidak menjadi masalah. Akan tetapi, sebenar-benarnya gerakan pluralisme untuk melawan fanatisme sempit, sesungguhnya kedua paham tersebut tidak ada. Oleh karena keadaan plural (keanekaberagaman) adalah suatu fakta, sedangkan fanatisme sempit juga tidak diajarkan dalam agama. Sesuatu yang menjadi -isme sesungguhnya sudah mewakili kelompok tertentu dengan kepentingan tertentu pula sehingga rentan dipolitisasi.

Sekarang yang terpenting adalah menganut agama secara proporsional, tidak ekstrim kanan atau kiri, tetapi juga tidak berada di wilayah abu-abu. Tidak mengarah ke fanatisme sempit, ateisme, ataupun indiferentisme, tetapi murni dengan hati ikhlas merangkul semua. Oleh karena satu gerakan muncul karena kekecewaan terhadap gerakan yang lain sehingga timbul dua kutub berlawanan yang tidak akan bertemu di satu titik. Bagaimana sekarang kita menyatukan kembali kutub pluralis dengan kutub fanatik sempit? Tentu dengan memperbaiki masing-masing kesalahan sehingga tidak lagi menjadi dua kutub, tetapi satu kutub menuju tujuan yang sama, yaitu beragama dengan benar.

sandman's picture

@dokter Welcome...

Tanpa basa-basi anda langsung saja menggebarak pasar klewer ini dengan dagangan anda, semoga anda sebelumnya sudah membaca POLICY disini.

Selamat datang di sabdaspace dimana sering disebut pasar klewer, semoga anda menemukan kenyamanan disini.

 

Selamat datang...

 

__________________

Erfen Gustiawan Suwangto's picture

Trims, sandman :)

Trims, sandman :)

y-control's picture

bingung

halo Erfen,

kalo membaca tulisan anda, saya kok jadi bingung, sebenarnya agama itu apa sih? saya malah jadi nggak bisa nemu hubungan antara pluralisme sama ateisme seperti yg ditulis di judul blog anda... solusi anda sejujurnya juga sama membingungkannya..  

Erfen Gustiawan Suwangto's picture

@ y-control: tidak bingung

@ y-control: tidak bingung jika Anda sudah aral melintang di dunia persilatan hehehehe.

y-control's picture

beneran

saya bingung beneran nih bung..

Erfen Gustiawan Suwangto's picture

@ y-control: coba baca

@ y-control: coba baca pelan-pelan. Lalu apa pendapat Anda? Trims ;)

y-control's picture

netral

pendapat saya: di luar isinya, mungkin karena terlalu ingin netral sehingga beberapa kalimat justru membingungkan.. ibaratnya setelah memukul lalu anda bilang "ups, gak sengaja", lalu memukul lagi dan bilang, "maaf", memukul lagi lalu bilang "maksud saya bukan mau memukul".. hehehe.. 

dennis santoso a.k.a nis's picture

+1 buat "netral"

+1, gue juga menangkap kesan yang sama.

tonypaulo's picture

kalau boleh berpendapat

apakah yang dimaksudkan dengan prularisme itu adakah sama dengan pengertian sinkritisme atau sekulerisme?

karena prulalisme seperti yang dihembuskan oleh Gus Dur, menurut pendapat pribadi saya baik adanya, prulalisme dapat memberikan ruang terpisah antara kebermasyarakatan dan kepercayaan, tanpa ada suatu upaya hegemoni yang terlalu mendesak dari pihak mayoritas kepada pihak minoritas...

sehingga se-minoritas apapun suatu kelompok sepanjang tidak melanggar hukum dan norma-norma sosial yang ada, tetap memiliki kesetaraan hak dalam setiap aspek kebermasyarakatannya

karena memang esensi dari pruralisme tersebut adalah kesetaraan hak bagi semua orang, dengan impian "one man, one voice".

cocok ketika saudara membenturkan prulalisme dengan fanatisme, justru prulalisme suatu isme yang merupakan suatu solusi terhadap ekses fanatisme...

setidaknya prulalisme sudah melahirkan suatu kebermanfaatan, setidaknya buat saya pribadi, dengan bertambahnya hari libur nasional

karena itu menurut saya agak rancu konotasi prulalisme yang saudara gunakan, malah saya melihat yang mau dibahas adalah sinkritisme atau sekulerisme

mungkin saja saya bisa salah mengartikannya...

 

salam

 

Erfen Gustiawan Suwangto's picture

Ya, Pak Toni. Tulisan di atas

Ya, Pak Toni. Tulisan di atas sebenarnya netral tp hy mengingatkan bahaya penyalahgunaan pluralisme itu sendiri yg mengarah ke sinkretisme dan ateisme sampai kpd adu domba. Trims.

PlainBread's picture

Michael Jackson

Tepat setahun Michael Jackson meninggal dunia.