Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Selembar Uang 100 Ribu Palsu!
Selembar uang seratus ribu berjalan dengan pongahnya menghampiri selembar uang lima ribu. Dengan bertolak pinggang dan dengan gaya retorikanya dia bertanya, "Hei! Apakah kau tahu uang terbesar di negara ini?"
Si lima ribu tersenyum, "Ya..., aku tahu! Tapi aku juga tahu, dia paling takut keluar dari dompet ketika kantong persembahan diedarkan di gereja!"
"Jangan menyindir!" Si seratus ribu berkata. "Aku tergantung pada ijin tuanku. Lagipula tuanku seorang majelis gereja, pasti dia sudah mempersiapkan yang terbaik!"
"Jadi kau bukan yang terbaik?"
*****
Suatu hari saya mendapatkan uang seratus ribu palsu dari klien saya. Mbak Nova, teller Bank Ekonomi tempat saya setor uang mengembalikan uang tersebut pada saya, "Tolong dong Oom, yang ini ditukar!"
"Kenapa, Mbak? Apa palsu?"
"Ya! Kelihatannya!"
Aduh! Saya buka dompet saya. Saya tukar uang palsu itu dengan uang yang ada di dompet saya. Untung cukup. Jadilah uang palsu itu masuk ke dompet saya menemani beberapa ribu uang asli saya.
"Kok nggak teliti tho, Oom?"
Saya tersenyum, kecut!
*****
Tiba-tiba saja saya sadar sesadar-sadarnya, ada uang seratus ribu rupiah palsu di dompet saya. Dan itu telah menjadi milik saya yang sah, karena saya sudah menukarnya dengan yang asli. UANG PALSU YANG SAH MILIK SAYA! Aneh! Tiba-tiba saja. Tanpa saya kehendaki, tanpa saya inginkan. Lalu buat apa? Bikin pusing saja!
Tapi saya mengakui, dia memang 'besar', setidaknya jika dibandingkan dengan gaji saya yang 'kecil'.
Ah, kapankah kita bisa bersyukur dengan tulus?
*****
Tapi tidak bolehkah saya jujur, dan berkata bahwa saya merasa sangat kehilangan? Dan sangat jengkel? Saya merasa ada yang tega pada saya.
Apa yang harus saya lakukan?
Saya curhat dengan seorang teman. Dan teman saya berkata begini: "Buat beli besin aja! Belinya magrib, jadi nggak ketahuan! Atau kasih ke aku aja, biar aku belanjakan. Atau... mau kutukar? Lima puluh ribu, boleh? Kan lumayan, kamu rugi nggak terlalu banyak!"
Saya tidak tertarik dengan usulan teman saya. Saya tidak ingin orang lain jengkel dan akhirnya jadi pelaku kejahatan seperti usulan teman saya. KORBAN yang cinta uang, akhirnya akan menjadi PELAKU kejahatan. Dan itu sangat mengerikan! Karena setiap penerima uang palsu itu sangat berpotensi menjadi pelaku kejahatan berikutnya, yaitu menjadi PENGEDAR UANG PALSU.
Lalu?
*****
Saya putuskan untuk tidak melanjutkan tongkat estafet yang diberikan iblis pada saya. Saya memilih untuk jadi follower dalam hal kebaikan, seperti yang sudah dilakukan oleh banyak pemilik toko yang memajang uang palsu yang mereka terima di etalasenya. Saya tidak malu menjadi follower, sekalipun mereka tidak seiman dengan saya. Itu keputusan saya. Ya, sekalipun saya harus membayar harganya: Seratus ribu rupiah.
*****
Ketika saya sudah memutuskan, dan iklas dengan keputusan saya, saya justru mendapat kejutan. Atasan saya memanggil saya. "Katanya kamu dapat uang palsu, ya?"
Saya meng'iya'kan. Sedikit terkejut, karena selama ini saya tidak pernah laporan tentang hal ini; apalagi cerita dengan harapan dapat ganti. Saya memang cerita ke salah satu rekan kerja saya, dengan harapan dia lebih berhati-hati dan tidak mengalami seperti yang saya alami. Rupanya cerita saya sampai ke atas.
"Bawa sini, saya tukar!"
Saya menyerahkan uang palsu itu, dan saya mendapat ganti selembar uang asli dengan nominal yang sama.
Anti klimaks yang tidak pernah saya angankan. Seperti ketika saya menerima uang palsu itu, saya tidak menduganya sama sekali.
*****
Seperti mimpi saja! Tapi seringkali kita memang dihadapkan pada pilihan untuk tetap dapat berbuat baik sekalipun banyak pilihan untuk berbuat jahat. Ada harga memang yang harus dibayar untuk itu. Dan tidak selalu kita mendapat ganti seperti pada cerita saya di atas, tapi ada kebahagiaan jika kita melakukannya (Yak 1:12).
Apakah Anda percaya?
Seperti pembalakan liar, dosa menyebabkan kerusakan yang sangat parah dan meluas. Akibatnya sampai ke generasi-generasi sesudah kita. Aku akan menanam lebih banyak pohon!
- Pak Tee's blog
- Login to post comments
- 4567 reads
menarik
Selamat datang Pak Tee, tulisan Anda menarik sekali, sederhana tapi insightful :)
Terima kasih dan salam kenal
Terima kasih, Daniel. Maaf, sy masih merasa tersesat di pasar ini. Maklum, gaptek abis. Salam kenal, terima kasih atas keramahan Anda. Buat teman-teman yang laen: Salam kenal juga.
Seperti pembalakan liar, dosa menyebabkan kerusakan yang sangat parah dan meluas. Akibatnya sampai ke generasi-generasi sesudah kita. Aku akan menanam lebih banyak pohon!
yang terbagus
om Tee : Apakah Anda percaya?
ya dengan segenap hati :)
Salam kenal om Tee,
jadi ingat om The di gereja saya di Solo, om yang selalu membuat saya terus melayani karena doa-nya yang tak kunjung henti. Sekarang beliau di Jakarta.
"Aku tergantung pada ijin tuanku. Lagipula tuanku seorang majelis gereja, pasti dia sudah mempersiapkan yang terbaik!"
"Jadi kau bukan yang terbaik?"
Yang terbaik???
"Yang terbagus" kata my daughter.
Jadi ingat pada Clair anak-ku, selalu minta uang baru dan bagus untuk persembahan sekolah minggu, memberi yang terbaik tuk di persembahkan :)
apakah itu yang diajarkan guru sekolah minggunya atau atas inisiatifnya sendiri, aku lupa menanyakannya..
Memang sebaiknya begitu.
Memang sebaiknya begitu. Anak diajar memberi yang terbaik / terbagus, bahkan pada seorang pengemis sekalipun! Implikasinya dia akan belajar untuk menjadi sempurna. Memberi ortunya nilai terbaik sekolahnya, belajar terbaik, hidup terbaik, beriman terbaik de el el; bener nggak...? Dia belajar menghargai orang lain dengan baik... dan dia akan dihargai dan disayangi orang lain juga. Syukur kalau dia punya inisiatif sendiri. Itu artinya ortunya sudah memberi contoh yang baik (mungkin tidak disadari). Berbahagialah!
Seperti pembalakan liar, dosa menyebabkan kerusakan yang sangat parah dan meluas. Akibatnya sampai ke generasi-generasi sesudah kita. Aku akan menanam lebih banyak pohon!