Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Lancip Menikmati Surga di Surga Dunia
Banyak orang bilang Pulau Bali adalah salah satu surganya dunia. Keeksotisan laut, pantai, objek wisata, dan atmosfirnya mampu menarik banyak orang dari dalam negeri, bahkan luar negeri untuk datang berduyun-duyun ke sana. Hasilnya, Pulau Bali diinjak-injak banyak orang. Oopss, maksudnya, banyak orang menginjakkan kaki di Pulau Bali. Tapi bagi Lancip, itu semua masih sekadar "katanya …". Benar, Lancip belum pernah ke Bali, setidaknya sampai sekolahnya mengadakan "study tour" ke Bali waktu si Lancip berumur belasan. Jadi, kata "katanya …" tidak berlaku lagi bagi Lancip, kini Lancip bisa berkata "kataku …" saat menuturkan pengalamannya menikmati surga di surganya dunia.
Lancip merasa beruntung dapat menginjakkan kaki di Pulau Bali, karena meski judulnya adalah "study tour", namun bagi Lancip, itu adalah "fun tour". Cukup banyak objek wisata yang ia dan rombongan teman-temannya kunjungi. Namun ada satu tempat yang sangat berkesan bagi Lancip. Bahkan, "pemandangan" di Pantai Kuta pun tidak dapat menggantikannya. Padahal, "pemandangan" itu sudah menjadi topik pembicaraan paling hangat di antara Lancip dan teman-teman laki-lakinya sejak mereka tahu mereka akan segera ke Bali. Tempat yang dimaksud adalah Bedugul.
Tidak ada yang spesial dalam perjalanan naik bis menuju ke Bedugul setelah selesai mengunjungi sebuah objek wisata lain yang ada di Bali. Biasa-biasa saja. Namun kebiasa-biasasajaan itu buyar saat Lancip kemudian mendengar keluhan sakit perut sahabatnya yang duduk di sebelahnya persis.
Sahabat Lancip ingin puk, rasanya sudah tidak dapat tertahan lagi. Tapi mau bagaimana, sahabat Lancip hanya bisa menahan. Menahan sampai tiba di tempat tujuan - Bedugul, sambil berharap ada toilet di sana. Untunglah, sakit perut itu menyerang bukan pada saat yang benar-benar tidak tepat. Maksudnya, sakit perut itu memang menyerang pada saat yang tidak tepat - di tengah perjalanan naik bis. Namun kalau dikatakan menyerang pada saat yang benar-benar tidak tepat, juga tidak sepenuhnya benar. Pasalnya, bis yang membawa Lancip dan rombongannya sudah akan sampai di tempat tujuan.
Lancip tidak dapat berbuat apa-apa. Ia hanya dapat melihat muka sahabatnya tadi merah hitam dan kulit sekujur tubuhnya jerukan (kulitnya bintul-bintul kecil menyerupai kulit jeruk seperti kalau kita semua menahan "bergulirnya bom" saat tombol "launch" sudah tertekan).
Dan benar, saat bis sedang maju mundur ke kiri dan ke kanan untuk memposisikan diri di tempat parkir, sahabat Lancip tadi segera berdiri dari duduknya dan matanya menjelajah tempat di sekitar bis. Dan, dilihatnyalah sebuah WC umum yang terdiri dari dua atau tiga bilik kamar mandi. Setelah bis benar-benar berhenti, sahabat Lancip tadi langsung bergegas turun kemudian menuju ke WC umun tadi dengan perasaan hampir lega diikuti Lancip dan satu lagi sahabatnya yang lain, Sam.
Tapi apa daya, ternyata pintu-pintu WC umum tadi terkunci! Sahabat Lancip seperti jatuh dari langit. Perasaan sudah agak membumbung tinggi karena sudah merasa agak lega saat melihat "tempat bernaung", tapi kemudian harus jatuh lagi saat menemui "tempat peraduannya" terkunci rapat. Sahabat Lancip bingung, mondar-mandir tidak jelas dengan tangan kanan meremas perut dan tangan kiri menahan "jalan keluar musuh-musuhnya saat itu". Lancip dan Sam tidak dapat berbuat apa-apa selain hanya bisa menahan tawa dan menutupinya dengan wajah prihatin.
Akhirnya, karena sudah tidak mampu lagi menahan serangan, sahabat Lancip tadi nekat. Ia masuk menyelinap ke tengah ilalang-ilalang yang tumbuh tinggi di sekitar WC umum sambil berteriak, "Jaga, ya, jangan sampai orang lewat sini." Lancip dan Sam tahu apa yang akan dilakukannya, dan mereka pun berjaga-jaga di sisi kanan tempat sahabatnya "melepas napas lega". Lancip dan Sam benar-benar seperti pengawal, pengawal yang menjaga seorang raja yang sedang puk di tengah hutan.
Tak disangka, dari sisi kiri, muncul seorang bapak-bapak dengan caping yang sedang meminggul sebuah cangkul. Lancip dan sahabatnya yang berjaga hanya dapat saling menatap, dan kemudian berkata, "Mati tu anak …!" saat melihat bapak tadi melewati dan menoleh ke "hot spot". "Maaf, Pak, sudah ngga tahan," terdengar suara berasal dari "hot spot" itu. Bapak itu pun cuma tersenyum sambil geleng-geleng kepala melanjutkan perjalanan.
Tak lama kemudian, terdengar suara Sam yang sedang berjaga bersama Lancip, "Sam, tolong ambilkan CD-ku di tas dong, ada di bis." Segera, Sam menuju bis, mengambil CD, mengapitnya dengan ujung telunjuk dan jempol tangan kirinya, dan dengan muka berpaling sambil tangan kanan memencet hidung, memberikannya kepada … ya … tahu sendirilah.
Dari kejauhan, Lancip hanya dapat melihat CD warna merah yang ditenteng tadi seperti lenyap ditelan ilalang, padahal sebenarnya disambar oleh tangan seseorang yang sedang jongkok di antara ilalang tadi.
Tak lama setelah itu, paling sekitar dua menitan, sahabat Lancip tadi keluar dengan perasaan lega. Wajahnya benar-benar cerah. Dan dia senyam-senyum tidak jelas sambil mengumpat macam-macam. "Wuakakka …" tawa Lancip dan sahabat yang satunya tadi.
Mereka bertiga pun akhirnya menyusul rombongan teman lain yang sudah terlebih dahulu ke Bedugul.
Sungguh, Lancip sangat terkesan dengan pengalamannya itu, selama berjalan kaki ke danau Bedugul dari tempat bis parkir, ia terus tertawa sendiri membayangkan kejadian yang baru saja dialaminya.
Dan, kisah Lancip, yang saat itu masih jomblo dan membawa uang saku pas-pasan, di Bedugul itu pun diakhiri dengan manis saat seorang teman wanitanya berkata, "Cip, mau naik jetski? Tak bayari, tapi kamu boncengin aku, soalnya aku takut naik sendiri!"
Benar, kebersamaan dengan sahabat dan teman yang diiringi dengan pengalaman konyol di Bali itu dirasakan oleh Lancip sebagai surga di surganya dunia.
Oopss … sampai lupa. Lalu untuk apa sahabat Lancip tadi meminta CD baru? Bagaimana nasib CD-nya yang lama? Yah, simpulkan sendirilah …, tidak ada rotan, akar pun jadi :p
- lanskip's blog
- 6989 reads
Berbagi sebuah kisah
We can do no great things; only small things with great love -- Mother Theresa